Dari Padang Gurun hingga Kehidupan Modern
Metafora “kambing hitam” bukan sekadar idiom, melainkan cermin psikologis yang dalam. Berakar dari ritual Yahudi kuno pada Hari Yom Kippur, seekor kambing ditunjuk untuk menanggung dosa seluruh umat sebelum diusir ke padang gurun. Ritual ini, yang secara harfiah mentransfer kesalahan kepada entitas yang tidak bersalah, ternyata masih hidup dan berkembang biak dengan subur dalam nalar kolektif bangsa Indonesia.
Secara psikologis, mekanisme kambing hitam adalah bentuk pertahanan diri yang primitif. Alih-alih menghadapi kompleksitas suatu masalah yang seringkali melibatkan introspeksi dan tanggung jawab pikiran manusia mencari jalan pintas dengan menunjuk seorang atau sesuatu. Ini memberikan ilusi penyelesaian, rasa kontrol, dan kohesi kelompok yang semu karena memiliki musuh bersama. Dalam skala nasional, ini bukan lagi sekadar bias kognitif, melainkan sebuah epidemi ketidakdewasaan berpikir.
Stratifikasi Penyalahgunaan: Dari Rakyat Jelata hingga Istana
Penggunaan kambing hitam di Indonesia mengikuti sebuah hierarki yang ironis. Di strata akar rumput (masyarakat awam), praktik ini dapat dipahami, meski tidak dapat dimaklumi. Keterbatasan akses informasi, pendidikan kritis, dan tekanan hidup membuat pencarian “penjahat” yang mudah menjadi mekanisme pertahanan yang logis. Menyalahkan kelompok tertentu atau “penguasa yang tak terlihat” atas segala masalah adalah bentuk pelampiasan frustasi.
Namun, bahayanya justru semakin membesar ketika naik ke strata yang lebih tinggi. Di tingkat akademisi, instansi, dan pemegang kebijakan, praktik ini berubah dari sekadar pelampiasan menjadi strategi manipulatif. Mereka yang seharusnya menjadi penjaga nalar dan akuntabilitas justru menjadi peternak-peternak paling produktif dari “kambing hitam” ini. Gelar akademis, otoritas keagamaan, dan kekuasaan politik yang mereka miliki memberikan “legitimasi semu” pada kesalahan logika yang mereka sebarkan.
Wajah-Wajah Kambing Hitam dalam Elite Bangsa
1. Akademisi Bergelar dengan Bahasa Preman:
Seorang sarjana yang seharusnya
mengedepankan argumen berdasarkan data dan logika, justru memilih bahasa umpatan dan serangan ad hominem di media sosial. Di sini, lawan debat dijadikan kambing hitam untuk menutupi kedangkalan argumen dan ketidakmampuan mengontrol emosi. Ini adalah pengkhianatan terhadap intelektualisme dan bukti bahwa gelar tidak otomatis mencetak karakter yang dewasa.
2. Instansi yang Bersembunyi di Balik Jubah Takdir:
Tragedi pondok pesantren atau bangunan publik yang runtuh ahir-ahir ini diikuti pernyataan, “Ini sudah takdir Tuhan.” Takdir, yang sakral, dikorbankan sebagai kambing hitam untuk menutupi dosa profan: kelalaian, mismanajemen, atau bisa jadi korupsi di sektor pembangunan suatu instansi. Alih-alih melakukan audit teknikal yang transparan, oknum ini menyembunyikan kealpaan manusiawi di balik dalil ketuhanan. Ini bukanlah bentuk ketawakalan, melainkan kedurhakaan yang berselimut agama.
3. Pemegang Kebijakan yang Memusuhi Ekspektasi Rakyat:
Ketika sebuah kebijakan gagal seperti pergantian pelatih timnas sepak bola yang justru membawa hasil buruk yang disalahkan adalah “ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi.” Rakyat yang berharap dijadikan kambing hitam. Mekanisme ini memutar logika: kegagalan kebijakan bukan karena kesalahan perencanaan, melainkan karena keberanian rakyat untuk berharap. Ini adalah puncak dari arogansi kekuasaan, di mana publik diposisikan sebagai musuh hanya karena menginginkan yang terbaik bagi bangsanya.
Dari Peternakan menuju Pertanggungjawaban
Bangsa Indonesia saat ini seperti sedang “mengembangbiakkan” budaya kambing hitam. Dari kampus, kantor instansi, hingga istana kepresidenan, mekanisme primitif ini tidak hanya ditolerir, tetapi seringkali dipraktekkan secara sistematis.
Solusinya bukanlah dengan menghapus metafora kambing hitam dari kamus, malah justru mempertanyakannya kita dapat belajar akan:
- Membangun Budaya Akuntabilitas: Setiap strata, terutama elite, harus dilatih untuk mengatakan, “Ini kesalahan saya, dan ini yang akan saya perbaiki.”
- Menghidupkan Kembang Nalar Kritis: Mendorong masyarakat untuk selalu bertanya, “Apa akar masalahnya?” alih-alih “Siapa yang bisa kita salahkan?”
- Memuliakan Integritas Intelektual: Menghargai pemimpin dan cendekiawan yang berani terbuka dengan kegagalannya sendiri dan fokus pada solusi sistemik.
Kita harus berhenti menjadi bangsa peternak kambing hitam dan bertransformasi menjadi bangsa pembangun yang berani memikul salib tanggung jawab. Karena hanya dengan mengusir kambing hitam itu ke padang gurun dan tidak mengembalikannya, kita bisa membangun peradaban yang lebih matang, adil, dan bermartabat.