Minggu, Oktober 13, 2024

Terjebak dalam Keluarga yang Berbeda Pandangan Politik

restu baskara
restu baskara
i'm a student.

Sekarang sudah berganti tahun baru, yaitu tahun 2019. Acara tahun baru pun telah usai. Di tahun 2019 ini juga dikatakan tahun politik, karena Indonesia mempunyai hajatan besar yaitu pemilhan umum.

Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Bicara tentang politik adalah menarik, karena sejatinya manusia adalah makhluk politik. Menyangkut juga tentag keberlangsungan alam semesta ini, karena tergantung dari perspektif dan tindakan politik dari manusia itu sendiri. Karena politik adalah cara manusia untuk mendapatkan sesuatu di dunia ini.

Saya dibesarkan dari sebuah keluarga yang sederhana. Bapak saya adalah seorang guru SMK jurusan elektronika. Sedangkan ibu saya seorang ibu rumah tangga.  Saya adalah anak sulung dan mempunyai dua adik kandung laki-laki dan perempuan, adik saya yang besar yang laki-laki sudah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jogja dan adik saya yang terakhir bekerja di sebuah perusahaan kecantikan. Saya lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil pinggiran kota Jogja, yaitu Kotagede.

Bapak saya ketika menjadi PNS waktu zaman Orde Baru dipaksa untuk masuk Golkar, sesuatu yang tiak dia sukai saat jaman Soeharto. Dan ketika reformasi dia ngefans sama Amien Rais yang katanya bapak reformasi.

Semenjak reformasi lahir  dia memilih menjadi simpatisan PAN sampai sekarang. Kotagede sebagai kampung halaman saya dan orang tua saya juga menjadi basis partai Islam seperti PPP dan PAN. Bahkan dalam pemilu 2014 kemarin dia memlih Prabowo.  Bapak juga ikut dalam proses pemenangan Prabowo-Sandi dalam pemilu 2019 ini.

Sedangkan ibu saya adalah pengikut kaum abangan, di dalam darah keluarganya mengalir ajaran Soekarno. Keluarga ibu saya yaitu tante saya adalah salah satu pendiri dari sebuah partai yang bernama Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) di Jakarta.

Waktu itu tante saya  dikhianati oleh Megawati karena dijanjikan jabatan menteri saat Megawati berkuasa menjadi presiden,tetapi hanya janji palsu sehingga dia bersama teman-temannya seperti Eros Djarot dll mendirikan PNBK. Sekarang partai itu tidak masuk dalam partai peserta pemilu.

Pernah dulu waktu kecil dirumah saya dikunjungi oleh sekretaris pribadinya Soekarno, yang karena peristiwa G 30 S dia harus lari ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. Orang itu sempat menginap di rumah satu malam. Mengenai politik  Ibu saya adalah pendukung Jokowi.

Perbedaan pandangan politik inilah yang kemudian menyebabkan banyak pertengkaran dirumah. Hampir setiap hari ibu saya berdebat dengan bapak  mengenai politik.  Ibu saya marah mengetahui bapak menjadi tim sukses pemenangan Prabowo-Sandi. Menyayangkan uang hanya dihamburkan untuk urusan politik praktis saja.  Perdebatannya pun juga berujung tentang pandangan agama dan politik.

Ibu saya sepakat dengan ceramahnya Gus Mus (Mustofa Bisri) yang mengatakan bahwa agama dan politik itu sebaiknya dipisahkan. Sedangkan bapak saya sebaliknya, orang beragama itu harus berpolitik. Pertengkaran itulah yang membuat saya tidak betah dan muak berada dirumah.

Sedangkan saya sendiri dididik di dalam sebuah organisasi buruh yang bernama FPBI (Federasi Perjuangan Buruh Indonesia) yang tergabung dalam KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia).

Setelah lulus SMK, saya memutuskan merantau menjadi buruh pabrik di daerah Bekasi, tepatnya di Cikarang.  Tahun 2008 adalah awal saya mengenal dunia gerakan,yaitu gerakan buruh. Akhir tahun 2008 di pabrik saya berdiri sebuah serikat buruh yang berafiliasi dengan FPBJ (Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek) yang sekarang bernama FPBI. Melakukan mogok spontan.

Setelah itu saya didaulat menjadi pengurus pusat FPBJ di departemen pendidikan dan propaganda. Semenjak itulah saya belajar tentang filsafat, yaitu Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis, marxisme, belajar tentang hukum perburuhan, dan organisasi.

Selain itu juga belajar dan berdinamika dengan gerakan lainnya yaitu gerakan tani dan gerakan mahasiswa. Dunia aktivisme seperti itulah yang masih dilakukan hingga sekarang. Dan sejak tahun 2011 saya kembali ke Jogja dan masih berdinamika dengan dunia gerakan di Jogja.

Mengenai pandangan politik sampai sekarang saya masih percaya bahwa yang mendominasi dunia ini adalah kelas borjuis dengan sistem kapitalisme. Begitu juga dengan sistem politik dan partai politik di Indonesia saat ini yang merupakan cerminan dari kelas borjuis. Saya percaya bahwa manusia adalah makhluk politik, menggunakan jalan politik untuk berkuasa.

Tetapi kekuasaan itu sudah dipegang kendalinya oleh kaum modal. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan tidakkurang untuk memperlancar arus modal dan melanggengkan sistem kapitalisme. Rakyat  ditindas oleh kapitalisme global, alam raya dihancurkan oleh keserakahan korporasi atas nama pembangunan. Sehingga butuh sebuah perjuangan politik yang berbasiskan pada perjuangan kelas.

Untuk itulah rakyat butuh penyadaran tentang bagaimana berpolitik yang baik dan benar. Sebuah politik alternatif, yaitu politik yang membebaskan manusia dari ketertindasannya oleh manusia lain, politik yang bisa memenuhi kemauan alam dan lingkungan dengan menjaga dan melestarikannya.

Bukan politik yang berkepentingan dengan kaum modal.  Bukan politik yang merusak alam. Tapi bagaimana caranya mewujudkan politik alternatif itu? Dengan membangun alat politik alternatif. Bagaimana caranya?

Sementara ibu dan bapak saya masih sangsi kalau buruh bisa berpolitik, karena memang belum ada partai buruh atau partai yang memang benar-benar berkepentingan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Sebuah partai yang memang menjadi oposisi sejati dari partai-partai borjuis dan sebuah partai yang mampu menjawab kebuntuan dari kapitalisme itu sendiri.

Apakah partai itu ada? Memang butuh bukti, bukan janji atau mimpi. Karena masyarakat butuh yang realistis dan signifikan. Jika tidak realistis dan insignifikan, maka jangan harap akan mendapat dukungan dari masyarakat.

Jangan harap negara ini berubah. Kedua orang tua saya masih mempertahankan pendiriannya, yang menurut saya baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo itu sama. Sama-sama mewakili kepentingan kelas borjuis dan tetap mempertahankan status quo yaitu menjaga kapitalisme agar tetap eksis.  Perbedaan politik inilah yang sering membuat pertengkaran dan pertumpahan darah. Membuat keadaan di masyarakat menjadi intoleran.

Membuat hubungan keluarga,saudara,persahabatan menjadi hancur. Hancur karena permainan politik yang berbasiskan pada kepentingan uang dan modal. Masing-masing oligarki politik yang ada sekarang berlomba-lomba dalam memperebutkan politik kekuasaan negara, demi kepentingan modal besar jika bisa menguasai negara.

Dan saya pun masih bermimpi.  Mimpi akan adanya tatanan masyarakat yang terbebas dari kapitalisme dan imperialisme. Adanya sebuah alat politik alternatif yang membebaskan manusia dan alam ini dari penindasan dan pengrusakan.

Mimpi akan adanya sebuah revolusi. Sebuah perubahan yang membebaskan manusia. Sebuah cinta akan kemanusiaan di negeri yang penuh ironi ini. Mencintai revolusi dan merevolusikan cinta. Tapi yang namanya mimpi itu kelak bisa saja menjadi kenyataan. Semoga menjadi kenyataan.

restu baskara
restu baskara
i'm a student.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.