Kita bisa sehebat China membangun rumah sakit dalam hitungan hari dan secanggih Amerika dalam menemukan vaksin Covid dengan cepat.
Namun, virus ini merobohkan negara adikuasa Amerika dan memporak-porandakan Italy yang maju dunia medisnya dan menghentikan laju perekonomian China yang menjadi sorotan dunia. Virus ini bukan hanya menyerang kesehatan semata, tapi stabilitas ekonomi, politik, sosial, di setiap tatanan pemerintahan menjadi taruhannya.
Sejah wabah ini menyebar di Indonesia, Perawat menjadi bagian integral dalam pelayanan kesehatan terdepan yang menghadapi wabah ini. Himbauan untuk melaksanakan work from home tidak berarti bagi mereka yang memiliki kewajiban untuk ikut serta dalam melayani masyarakat. Profesi perawat tidak pernah memperdulikan risiko dari pekerjaan yang dijalaninya apalagi hanya mengindamkan insentif yang tidak seberapa.
Masyarakat ingin cepat sehat dan Perawat juga harus aman dan selamat. Sangat penting untuk memberikan informasi kepada kami seluas-luasnya maka kami akan janjikan kerahasiaan yang sudah sewajarnya.
Pandemi ini bukan bualan belaka, dari kelas menteri sampai rakyat jelata semua bisa kena imbasnya, termasuk kami (perawat) yang tidak tahu bila anda juga bisa terkena. Gunakan masker bila tahu kondisi anda sedang tidak baik-baik saja, dan beri keterangan yang sudah sepatutnya. Karena kami bekerja bertaruh nyawa bukan untuk mengharap gaji semata.
Hal ini terkadang sering diabaikan yang mana pada semua pelayanan kini sudah diwajibkan memakai masker bila membutuhkan layanan kesehatan. Karena petugas kesehatan bukan hanya mereka yang bekerja di ruang isolasi dan perawatan pasien saja.
Namun kini, perawat rentan tertular di area-area seperti ruang rawat umum ataupun di puskesmas yang tak tahu penularan yang bisa terjadi karena informasi yang diberikan tidak mendeskripsikan pasien sendiri.
Tugas ini tidak setimpal dengan fasilitas hotel bintang 5 atau tersedianya akses antar-jemput ke lokasi kerja. Perawat harus meninggalkan keluarga, kerabat, dan sahabat demi berjuang menuntaskan masalah kesehatan yang sudah ditetapkan sebagai kedaruratan masyarakat di Indonesia ini.
Semua aktivitas diawasi dan hubungan sosial dibatasi. Bila lagi orang membahas enak karena banyak dapat komisi, coba saja kalian ada di posisi ini. Maka bayangkanlah, kunjungan makam sudah dibatasi saat jasad sudah tak bisa bergerak lagi, maka uang sudah tak ada arti.
Jumlah perawat yang meninggal saat berjuang dalam tugas kemanusian terus bertambah. Hingga kini (11/4/2020) data yang dikeluarkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) ada 11 orang perawat yang gugur dalam tugas. Semoga dedikasi teman-teman sejawat dalam menangani wabah ini menjadi inspirasi bagi kami (perawat) yang ditinggalkan. Sungguh pengorbanan yang luar biasa.
“Saya hidup untuk orang yang saya sayangi dan mati untuk orang yang saya sayangi termasuk profesi (perawat) saya”. Inilah kutipan dari sejawat kami Ners Tutik sesaat sebelum menghadap Sang Maha Pencipta kepada suaminya.
Ners Tutik meninggalkan suami dan dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan penuh keharuan, suaminya harus mengatakan pada kedua anaknya “Mereka harus bangga punya ibu seorang pahlawan”. Apakah tidak terbesit di hati kecil kita melihat kejadian ini?
Dan lagi, semangat juang kami harus di uji berulang-ulang kali dalam melayani. Wabah ini bukan hanya menyiksa fisik, namun mengikis kekuatan psikis secara perlahan. Banyak sejawat perawat yang mengalami penolakan seperti tidak diterima di lingkungan kemasyarakatan, di usir dari tempat tinggal (kost, kontrakan), bahkan yang paling parah yang saat ini kami merasa batin kami di tebas yaitu penolakan jenazah perawat di Ungaran Jawa Tengah. Sudah tak terbayang lagi bila jasad ini sudah tak bergerak lagi pun, kami dipaksa untuk coba mengerti.
Sungguh di manakah hati nurani itu?
Memakai baju putih bak astronot yang terlihat keren bila di foto menggunakan kaca mata besar bersepatu boots dan sarung tangan sama sekali tidak sekeren yang dilihat. Keadaan pengap ditambah peluh mengalir deras, tidak boleh makan minum, apalagi pergi ke kamar mandi untuk sekedar ke kakus tak bisa lagi.
Apalagi, teman sejawat kami yang tidak memiliki ketersediaan APD yang mumpuni sehingga harus memakai jas hujan saat melawan pandemi ini. Perawat otomatis menjadi orang yang harus dipantau dan memisahkan diri dari hangatnya kumpul bersama keluarga. Lalu dimanakah hati nurani itu?
Orang tua mana yang tidak khawatir bila melihat anaknya turun dan menjadi bagian penanganan wabah ini. Orang tua mana yang tidak ingin mencium, memeluk, dan menghantarkan anaknya ke peristirahan terakhir.
Namun Covid-19, harus memaksa sejawat kami harus menyesuaikan protokol kesehatan yang ada hingga menghantarkannya ke liang lahat. Orang tua mana yang kuat melihat jasad anaknya ditolak saat dimakankan yang mana ia wafat dalam keadaan Syahid! Lalu di manakah hati nurani itu?
Perjuangan sejawat ini sangat tak ternilai harganya. Bila dibandingkan dengan hanya memberikan apresiasi, penghargaan, dan penghormatan pun tidak berarti apa-apa saat jasad tidak berespon pada sanjungan.
Terima kasih atas dedikasinya rekan-rekan sejawat dalam menangani wabah ini, semoga perjuanganmu menjadi inspirasi bagi kami yang kau tinggalkan. Kami mendoakanmu ditempatkan di surga-Nya. Dan semoga keluarga yang kau tinggalkan selalu diberikan ketabahan dan pertolongan. Amin. Doa dari sejawatmu.