Jumat, Maret 29, 2024

Tata Cara Menjalankan Peraturan Perundang-Undangan

Satrio Alif
Satrio Alif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pertalian yang ada dari peraturan-peraturan tersebut berasal dari keberadaan hierarki yang menjadi penghubung/konektor antar peraturan. Oleh karena itu, Peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di atas merupakan sumber dari peraturan perundang-undangan lain di bawahnya.

Secara awam, peraturan yang merupakan amanat dari undang-undang untuk dibuat seringkali disamaratakan sebagai peraturan pelaksana. Namun, sebenarnya terdapat peraturan delegasi di samping peraturan pelaksana yang keduanya sama-sama merupakan penjabaran dari amanat undang-undang. Perbedaan tersebut muncul karena pembentukan peraturan sendiri pada hakikatnya terdiri atas kewenangan delegasi dan atribusi yang masing-masing memiliki konsekuensi berbeda. Dengan demikian, kedua jenis peraturan ini memiliki sumber kewenangan yang berbeda.

Peraturan delegasi adalah peraturan yang keluar/dihasilkan dari kewenangan delegasi. Sedangkan, peraturan pelaksana adalah peraturan yang dibentuk dari kewenangan atribusi. Peraturan delegasi sendiri memerlukan peraturan di atasnya sebagai dasar pembentukan, sedangkan peraturan atribusi tidak perlu keberadaan peraturan perundang-undangan di atasnya sebagai sumber pembentukan karena pembentukannya merupakan cerminan kewenangan yang telah diberikan.

Sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya, sumber hukum yang terkuat dari peraturan delegasi adalah pengaturannya di dalam konstitusi. Peraturan Delegasi sendiri pada praktiknya di Indonesia sudah disebutkan bentuknya pada Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pasal tersebut, bentuk dari peraturan delegasi adalah Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.

Kewenangan ini muncul kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan undang-undang di mana dalam melaksanakan kewajiban tersebut Presiden melakukannya dengan membentuk peraturan di ruang internal eksekutif sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Namun, praktik di dalam undang-undang yang telah ada seringkali langsung mendelegasikan pembuatan peraturan ke peraturan menteri/lembaga dan bahkan peraturan daerah. Hal ini sebenarnya dilandasi oleh kebiasaan yang telah terjadi pada undang-undang sebelumnya.

Kebiasaan ini kemudian dilegalisasi oleh Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa undang-undang boleh langsung membuat ketentuan yang mendelegasikan pembentukan peraturan ke lembaga/kementerian tanpa perlu adanya peraturan pemerintah.

Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sendiri pada akhirnya menimbulkan obesitas peraturan perundang-undangan di Indonesia karena banyak sekali kementerian/lembaga yang mendapatkan kewenangan secara legal untuk membentuk peraturan. Hal tersebut tentu berimplikasi pada jumlah peraturan yang semakin banyak di tataran peraturan teknis yang membuat pelaksanaan sesuatu menjadi ringkih.

Selain itu, keberadaan Pasal tersebut juga menimbulkan permasalahan filosofis yaitu terdapat banyak regulasi yang dibentuk tanpa persetujuan masyarakat lewat wakil-wakilnya di parlemen. Hal tersebut pada akhirnya mengurangi partisipasi rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen dalam pembentukan peraturan yang tentunya akan merugikan rakyat sendiri di kemudian hari. Sehingga, keberadaan peraturan delegasi di dalam suatu undang-undang perlu dipikirkan masak-masak oleh wakil rakyat di parlemen pada saat pembahasan suatu undang-undang.

Keberadaan peraturan delegasi sendiri pada praktiknya dapat dibentuk secara tegas dengan disebut dalam undang-undang dan dapat pula dibentuk secara tidak tegas. Pembentukan peraturan delegasi secara tidak tegas muncul ketika presiden dalam menjalankan kekuasaan eksekutif merasa bahwa perlu sebuah regulasi teknis untuk menjalankan ketentuan yang ada di dalam suatu undang-undang.

Penyebutan pembentukan peraturan delegasi di dalam undang-undang sendiri dalam praktiknya seringkali berjumlah lebih dari satu buah. Kondisi tersebut seringkali ditafsirkan sebagai keperluan untuk membuat peraturan delegasi yang banyak pula. Namun, beberapa ketentuan peraturan delegasi tersebut pada hakikatnya bisa saja digabungkan menjadi satu peraturan delegasi yang sesuai dengan semangat untuk efisiensi jumlah peraturan perundang-undangan.

Selain praktik yang biasa terjadi, terdapat pula kondisi di mana terdapat satu peraturan delegasi yang menjalankan berbagai undang-undang. Hal tersebut memang sah-sah saja, namun terdapat permasalahan filosofis di baliknya karena dua undang-undang tentu memiliki landasan berpikir dan semangat yang berbeda. Dengan demikian, apabila disatukan satu sama lain maka tentunya akan kehilangan esensi dari undang-undang asalnya sendiri.

Satrio Alif
Satrio Alif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.