Jumat, Oktober 11, 2024

Setelah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja Disahkan

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.

Apa mau dikata, Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, yang pro-pemilik modal, sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang ternyata lebih berpihak pada kepentingan kelas pemilik modal (kaum borjuis/pengusaha). Para pengusaha, baik secara individual, maupun secara organisasi, menyambut girang, disahkannya Omnibus Law atau Undang-Undang Sapu Jagat tersebut.

Tak usahlah saya jabarkan secara panjang lebar, berbagai pasal dan poin yang kontroversial dari Undang-Undang tersebut, karena sudah banyak yang mengupas hal tersebut. Yang jelas memang, dari pengesahan Undang-Undang tersebut, sebenarnya sudah terlihat dengan gamblang, bahwa negara Indonesia, bukanlah negara kesejahteraan, seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri negara Indonesia, melainkan sudah diobral murah SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam)-nya, pada para kapitalis dalam dan luar negeri.

Persoalannya kemudian, sampai kapan kah perlawanan rakyat terhadap Undang-Undang Sapu Jagat ini akan berlangsung? Selain itu, apakah perlawanan tersebut, akan memiliki dampak yang berarti? Sederhananya, apakah perlawanan tersebut akan mengubah keadaan? Atau hanya akan menjadi riak-riak kecil saja, yang akan dengan mudah dijinakkan dengan ilusi dan represi oleh pemerintah, yang dalam hal ini adalah Presiden dan jajaran eksekutif lainnya, legislatif (DPR, MPR, DPD, dan DPRD), beserta yudikatif (MA, MK, KY, dan lainnya).

Dari pilihan kata seruan perlawanannya, kitapun bisa melihat, bahwa narasi yang dominan adalah narasi elitis. Salah satu contoh, adalah tagar #MosiTidakPercaya, yang bagi saya, adalah ekspresi dari perlawanan yang malu-malu. Mengapa tidak menggunakan seruan perlawanan, yang dalam sejarah Indonesia, sudah terbukti berhasil menjungkalkan kekuasaan rezim-rezim zalim, seperti “Gulingkan!”, “Turunkan!”, “Bubarkan!”, dan lain-lain.

Oleh karena itu, saya kok agak kurang yakin ya, kalau gerakan perlawanan ini akan berhasil mengubah keadaan. Memang, di lapangan, sekilas terlihat berbagai demonstrasi kemudian berujung pada bentrokan dan huru-hara. Akan tetapi, narasi perlawanan, ternyata tidaklah segahar perlawanan fisik. Mungkin hal ini disebabkan oleh ketiadaan kepemimpinan dari organisasi revolusioner dalam perlawanan yang sekarang, entahlah.

Dugaan saya, negosiasi di balik layar, antara elit borjuis dan para pimpinan massa, tengah berlangsung, hal ini terlihat dengan dipanggilnya pimpiman dua serikat buruh dengan massa besar, yaitu Said Iqbal (KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan Andi Gani Nena Wea (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), ke istana untuk menemui Presiden Jokowi.

Artinya, jika saat ini massa dua serikat buuh besar tersebut masih ikut dalam aksi-aksi menentang Undang-Undang Cipta Kerja, maka kemungkinan hal tersebut tak akan berlangsung lama. Proses negosiasi memang membutuhkan waktu, tarik ulur, kompromi, dan lainnya.

Akan tetapi, kalau sudah tercapai kesepakatan, maka kedua belah pihak harus menjalankannya. Pemerintahan yang dikuasai oleh kelas borjuis, tentulah tak akan mau jika keuntungan mereka berkurang, dan akan lebih tidak mau lagi, jika tidak untung sama sekali. Berbagai konsesi pasti ditawarkan pada kedua pimpinan massa tersebut, akan tetapi konsesi tersebut tentulah dalam kerangka kepentingan pemilik modal (borjuis).

Bagaimana dampaknya jika kedua pimpinan massa tersebut telah bersepakat dengan pemerintah? Ada beberapa hal mungkin yang akan terjadi, pertama, bisa saja konsesi terkait kepentingan ekonomis, seperti poin upah minimum, berbagai cuti yang menjadi hak kaum buruh, ditawarkan oleh pemerintah, dan disepakati oleh kedua pimpinan massa tersebut. Akibatnya massa buruh yang hanya memiliki kesadaran ekonomis, tentu akan menghentikan keterlibatan mereka dalam aksi-aksi menentang undang-undang sapujagat tersebut.

Kedua, jika mereka ditawarkan jabatan, atau konsesi lain, yang menguntungkan mereka secara pribadi, maka mereka tentulah akan memerintahkan massa buruh organisasi pimpinan mereka, untuk menghentikan aksi, walaupun belum ada konsesi terkait kepentingan ekonomis. Akibatnya, sebagian buruh mungkin menolak, dan tetap melanjutkan aksi-aksi tanpa kepemimpinan, pada akhirnya, aksi-aksi seperti ini, biasanya hanya sebentar saja berlangsung, dan akan mudah dipatahkan oleh aparat penjaga modal milik kelas borjuis.

Saran saya, jika mayoritas rakyat benar-benar ingin sejahtera, atau mewujudkan keadilan sosial, maka tentulah undang-undang sapujagat tersebut harus dibatalkan atau dicabut secara keseluruhan, bukan hanya poin-poin tertentu saja. Negosiasi dengan kelas borjuis, boleh-boleh saja sebenarnya, hanya saja hal tersebut harus tetap dalam kerangka kepentingan mayoritas rakyat secara menyeluruh. Artinya poin-poin yang disepakati dalam negosiasi, haruslah yang menguntungkan seluruh sektor rakyat, buruh, tani, mahasiswa, dan kaum miskin perkotaan.

Jika pemerintahan borjuis tetap ngotot memaksakan pemberlakuan undang-undang tersebut, dengan tindakan represif, maka untuk ini tidak ada pilihan lain bagi rakyat selain melawan dengan sekuat-kuatnya. Caranya bagaimana? Harus ada organisasi revolusioner yang sangat solid, yang bisa mengambil kepemimpinan dan mengorganisasikan perlawanan rakyat.

Dengan demikian, bentuk perlawanan tidak hanya berujung pada kerusuhan atau huru-hara, tetapi berubah menjadi aksi-aksi perebutan dan pendudukan aset-aset kaum borjuis, seperti pabrik, mall, hotel, gedung-gedung milik pemerintahan borjuis, seperti gedung DPR, Istana Negara, DPRD, kantor Gubernur, Bupati, dan Walikota.Unit Pertahanan Diri, atau Self-Defence Unit, yang sangat dibutuhkan dalam aksi-aksi perlawanan, akan digalang secara rapi dan terorganisir dibawah kepemimpinan organisasi revolusioner yang solid dan disiplin tersebut.

Organisasi ini pulalah yang akan mengarahkan massa rakyat, untuk tidak terlibat konflik horizontal, seperti kerusuhan SARA (Suku, Agama, dan Ras), yang diprovokasi oleh agen-agen kelas borjuis, seperti yang terjadi pada tahun 98 dulu.

Bagaimana jika organisasi revolusioner yang rapi dan disiplin tak kunjung terbentuk, atau tidak bisa mengambil kepemimpinan perlawanan rakyat? Maka rakyat berhentilah bermimpi tentang negara kesejahteraan, dan keadilan sosial, karena itu semua hanya angan-angan belaka, yang tak akan mungkin terwujud dalam negara borjuis seperti Indonesia saat ini.

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.