Hipotesis
Fenomena taaruf online sering kali dibungkus dengan narasi solusi Islami bagi kaum muda yang kesulitan menikah. Namun, di balik kemudahannya, tersimpan sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Hipotesis penulis adalah: bagaimana jika taaruf online malah mendatangkan pasangan yang jauh dari komitmen, yang secara halus menggerogoti nilai kesakralan tanggung jawab pernikahan itu sendiri. Platform digital, dengan mendatangkan ilusi pilihan tak terbatas, berpotensi mengubah proses suci ini menjadi aktivitas window shopping yang tidak substansial.
Kecenderungan ini selaras dengan konsep dalam psikologi yang disebut “paradoks pilihan” (the paradox of choice). Schwartz (2004) dalam bukunya yang seminal, The Paradox of Choice: Why More Is Less, berargumen bahwa ketika individu dihadapkan pada terlalu banyak pilihan, mereka justru mengalami kecemasan, penyesalan yang lebih besar, dan kelumpuhan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks taaruf, kondisi ini memicu apa yang penulis sebut sebagai “mentalitas shopaholic” merasa ada opsi yang lebih baik di balik swipe berikutnya, alih-alih memang belum siap untuk berkomitmen.
Fondasi Taaruf Syar’i
Sebelum menyalahkan medium, kita harus kembali kepada fondasi utamanya. Taaruf dalam Islam bukanlah tujuan, melainkan wasilah (sarana) yang diatur oleh nilai-nilai ilahiah. Fondasinya adalah niat yang ikhlas dan kesiapan untuk berkomitmen, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah memiliki kemampuan (al-ba’ah), maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan…” (HR. Bukhari no. 4778 dan Muslim no. 1400).
Kesiapan ini (“al-ba’ah”) adalah prasyarat yang mengubah interaksi antara lawan jenis dari sesuatu yang dilarang menjadi ibadah. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nur ayat 32: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” Perintah ini jelas ditujukan kepada mereka yang telah “layak” dan siap, bukan yang masih dalam tahap “mencoba-coba.” Taaruf sejati, dengan demikian, adalah manifestasi praktis dari kesiapan ini, sebuah proses linear yang bertujuan tunggal: menuju akad nikah yang sah.
Evolusi Taaruf di Zaman Modern
Lantas, apakah teknologi harus ditolak? Justru sebaliknya. Masalahnya terletak pada desain dan penggunaan platform, bukan pada teknologinya sendiri. Evolusi taaruf yang sehat mensyaratkan transformasi platform digital dari sekadar marketplace calon pasangan menjadi gatekeeper yang memperkuat prinsip-prinsip syar’i.
Penelitian oleh Cacioppo et al. (2013) dalam makalah yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menemukan bahwa pernikahan yang dimulai secara online memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan tingkat perceraian yang lebih rendah dibandingkan yang dimulai melalui pertemuan offline. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada konteks. Studi tersebut menekankan bahwa individu yang menggunakan platform dengan tujuan serius cenderung memiliki hasil yang lebih baik.
Ini sejalan dengan prinsip Islam tentang “Sadd adz-Dzari’ah” (menutup jalan menuju kemudharatan). Platform taaruf ideal harus didesain untuk menerapkan prinsip ini dengan:
1. Filter Berbasis Komitmen: Kuesioner pendaftaran yang menekankan kesiapan finansial, visi keluarga, dan pemahaman agama, bukan hanya penampilan fisik.
2. Integrasi Wali/Mediator Digital: Fitur yang memungkinkan wali mengawasi proses komunikasi sejak dini, sebagaimana tuntunan syariat, terlebih bisa menjaga dan memberikan keamanan untuk pihak perempuan.
3. Mendorong Komunikasi Bermakna: Algoritma dan juga sistem harus diarahkan untuk mempercepat komunikasi yang sehat bukan sekedar “haha hihi” untuk tujuan yang nyata.
Dengan demikian, teknologi berevolusi dari sekadar alat menjadi amplifier keseriusan, yang menyaring mereka yang benar-benar siap dan mengeliminasi mereka yang hanya iseng.
Penutup
Kesimpulannya, kontroversi taaruf online adalah cermin dari krisis komitmen dalam masyarakat modern. Dalil syar’i dan penelitian ilmiah justru bersinergi memberikan jalan keluar: keberhasilan taaruf online ditentukan oleh sejauh mana ia berhasil menanamkan dan memfilter berdasarkan fondasi kesiapan berkomitmen.
Oleh karena itu, tantangannya bukan pada teknologi, tetapi pada integritas pengguna dan integritas platform. Marilah kita menuntut platform taaruf online untuk tidak sekadar menjadi aplikasi kencan berlabel “syariah,” tetapi menjadi mitra yang sungguh-sungguh membimbing penggunanya menuju pernikahan yang penuh barakah. Dengan kembali kepada khittah kesiapan dan komitmen, taaruf online dapat benar-benar menjadi jembatan suci bukan labirin yang menyesatkan yang memudahkan jalan generasi Muslim menuju keluarga sakinah.