Sejak pandemi Covid-19 melanda di berbagai belahan dunia, maka pola berkehidupan manusia mengalami perubahan yang nyata. Berbagai dinamika pola kerja perusahaan dan organisasi, ekonomi, sosial dan budaya berubah mengikuti kondisi tidak terduga sebelumnya.
Siap atau tidak siap menghadapi kenormalan baru yang ditandai dengan peningkatan teknologi digital yang berkembang dengan sangat pesat. Selain itu, kondisi ini diperparah dengan masalah perubahan iklim global yang semakin tinggi dampaknya bagi kelangsungan hidup manusia dan ekosistem. Bahkan fenomena ‘atlantis’ diprediksi akan melanda sebagian kota di pulau Jawa.
Namun demikian, faktanya manusia berinteraksi dengan sumber daya hutan melalui banyak cara untuk berdaptasi dengan perubahan zaman. Hal ini terlihat melalui upaya manusia melalukan eksplorasi sumber daya hutan.
Perubahan era melahirkan perbedaan cara manusia mengolah sumber daya hutan, mulai dari mengumpulkan sebatas kayu bakar, menebang hasil hutan kayu, berburu, membakar dan mengkonversi lahan, hingga menanam dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Semua perilaku ini terjadi melalui proses di mana individu dan kelompok membuat keputusan, terlibat dalam praktik dan ambil tindakan untuk mendapatkan maanfaat dengan berbagai pertimbangan.
Semakin kompleks perkembangan zaman, maka perilaku manusia berupaya memediasi atau mengambil jalan tengah interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial (Byers, 1996). Seorang rimbawan perlu melakukan strategi yang adaptif untuk memajukan kontribusi hutan untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di era disrupsi ini. Oleh karena itu, maka diperlukan beberapa langkah untuk mencapai tujuan tersebut.
Pertama, Pemberdayaan Masyarakat (Social empowering). Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membentuk komunitas masyarakat yang kokoh sehingga setiap individunya mengalami perasaan memiliki sumber daya hutan sesuai tujuan bersama.
Akan tetapi, belum cukup terbentuk komunitas tersebut. Perlu adanya integrasi, atau pemenuhan kebutuhan yang menunjukkan bahwa anggota masyarakat percaya bahwa kebutuhan mereka akan dipenuhi oleh sumber daya yang tersedia di masyarakat dengan proposional dan optimal. Hubungan emosional menyiratkan bahwa anggota masyarakat memiliki dan akan berbagi motivasi, pengalaman, dan sikap membangun kelestarian hutan bersama (Dung 2007).
Kedua, Pengelolaan yang Adaptif (Adaptive Management). Manajemen yang adaptif hanya mengacu pada proses terstruktur belajar dengan melakukan perubahan, dan beradaptasi berdasarkan apa yang dipelajari. Hal ini didasarkan bahwa sistem sumber daya biasanya hanya sebagian dipahami, dan ada nilai dalam pelacakan kondisi sumber daya dan menggunakan apa yang dipelajari. Pembelajaran dalam manajemen adaptif terjadi melalui praktik informatif manajemen itu sendiri, dengan manajemen strategi disesuaikan saat pemahaman meningkat.
Tindakan manajemen didasarkan pada tujuan, status sumber daya, dan pemahaman atau penguasaan ilmu dan teknologi. Selanjutnya, data dari pemantauan tersebut selanjutnya digunakan untuk menilai dampak dan memperbarui pemahaman peristiwa yang akan datang dan hal tidak terprediksi (uncertainty). Hasil dari penilaian memandu pengambilan keputusan pada titik keputusan berikutnya. Semakin kompleks ekosiatem hutan dan manusia, maka semakin banyak ruang yang akan terus dipelajari dan mengubah mindset manusia menghadapi global warming.
Beberapa prinsip yang dapat dipelajari dari adaptive management. Pengambilan keputusan yang fleksibel yang dapat disesuaikan dalam menghadapi ketidakpastian peristiwa menjadi lebih dipahami. Pemantauan yang cermat terhadap perubahan, kemajuan pemahaman ilmiah dan menyesuaikan kebijakan atau operasi sebagai bagian dari iterative learning procces pembelajaran proses berulang seperti loop dengan kondisi semakin meningkat bukan trial and error.
Ketiga, Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan (New Renewable Energy Resources). Perubahan paradigma menggunakan energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi penggunaan energi bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) dengan menguatkan daur ulang dan efisiensi energi.
Emisi gas karbon yang terakumulasi ke atmosfer banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Saat ini biogas menjadi hal yang baik dan perlu dikembangkan, misalnya dari sampah organik, energi matahari, air, angin, dan bio-energi seperti biji tanaman jarak, nyamplung dll. Selain itu, Indonesia yang berada di wilayah tropis sangat potensial untuk mengembangkan energi tenaga surya.
Keempat, Etika Lingkungan (Enviromental Ethics). Perlu adanya nilai-nilai seperti menghormati hutan dan lingkungan (respect for nature); nilai berupa sikap tanggung jawab terhadap alam; prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (the principle of compassion and care for nature); prinsip hidup yang selaras dengan alam (the principle of living in harmony with nature); prinsip keadilan dan integritas moral untuk keberlanjutan alam (Rahastri, 2020).
Hal ini menjadi perhatian dalam menjaga seluruh komponen ekosistem hutan dan masyarakat. Selain itu, konsep kelestarian kehutanan dilakukan penyesuaian terhadap keadaan biofisik hutan, ekonomi, sosial, serta perubahan-perubahan yang terjadi akibat pembangunan yang berdampak pada global warming. Seluruh ilmu, teknologi, inovasi manusia dalam konsep ilmu pengetahuan selara dan harmoni dengan lingkungan, sejalan dengan prinsip-prinsip kelestarian sistem yang bersifat universal.
Referensi :
Byers BA. 1996. Understanding and Influencing Behaviour in Conservation and Natural Resources Management. African Biodiversity Series, No.4. Biodiversity Support Program/World Wildlife Fund, the Nature Conservancy and World Resource Institute, Washington D.C., USA. (pp.32-41)
Dung NV, Nguyen TL, Thuy HX, Tinh ND. 2007. Community behaviours towards nature conservation: A theoretical analysis for practical approaches. Proceeding. PanNature – People and Nature Conciliation, October 2007.
Rahastri F, Wiyatmi. Learning Environmental Ethics. Journal of Language and Literature. 20(1): 159-168.
Williams, BK. 2011. Adaptive management of natural resources framework and issues. Journal of Environmental Management, 92(2011):1346-1353.