Indonesia adalah negara terbesar ke- 4 di dunia dan juga memiliki hutan terluas kedua di dunia setelah Brazil. Hutan Indonesia menjadikan negara kita yakni Indonesia sebagai negara strategis di dalam menghentikan laju perubahan iklim. Reputasi Indonesia menjadi tercoreng ketika deforestasi dan degradasi hutan Indonesia terus terjadi dan mengalami laju peningkatan kerusakan yang begitu cepat setiap tahunnya.
Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana lingkungan bagi hutan Indonesia yang sering terjadi setiap tahun bahkan hanya hitungan beberapa bulan saja sudah terjadi lagi dengan merugikan masyarakat Indonesia dan komunitasi Internasional. Emisi karbon terbesar di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan.
Terdapat banyak faktor penyebab kerusakan hutan Indonesia. Faktor utama adalah kebijakan Pemerintah Indonesia yang melegalisasi aktivitas ekonomi yang merusak hutan. Pada era Pemerintahan Presiden Suharto, hutan Indonesia mengalami kerusakan yang begitu parah akibat kebijakan transmigrasi yang mendorong perluasan lahan pertanian,perkebunan dan tempat tinggal di area kehutanan.
Pemerintahan Suharto mendorong transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra dan mengkonversi lahan hutan di kedua Pulau tersebut menjadi area pertanian, perkebunan dan tempat tinggal.
Salah satu kebijakan Suharto yang dikritisi oleh masyarakat sipil adalah kebijakan pertanian lahan gambut di Kalimantan. Kebijakan pertanian lahan gambut mengeringkan lahan gambut dan hal tersebut tidak sesuai dengan ekosistem gambut yang membutuhkan pasokan air yang melimpah.
Pertanian lahan gambut menjadikan lahan gambut rawan terhadap kebakaran lahan. Apabila lahan gambut menjadi kering maka lahan gambut rawan terhadap kebakaran hutan. Akibatnya, kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi begitu parah pada tahun 1997 dan 1998 ketika pula indonesia mengalami krisis ekonomi. Kebijakan transmigrasi dan pertanian lahan gambut menjadi kritik keras terhadap komitmen politik Pemerintah Indonesia dalam perlindungan hutan.
Selain komitmen politik pemerintah pusat, kerusakan hutan Indonesia juga disebabkan oleh komitmen pemerintah daerah yang lemah di dalam pelaksanaan perkebunan yang 35 lestari. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Perusahaan perkebunan kelapa sawit memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan bagi masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah daerahpun mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit seluas-luasnya tanpa memperhatikan aspek tata ruang dan konservasi lingkungan.
Perkebunan lestari dan berkelanjutan tidak menjadi prioritas utama bagi perusahaan dan pemimpin pemerintahan daerah. Otonomi daerah menjadi topik penting dalam politik kehutanan Indonesia. Kekuasaan yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan justru berpeluang menjadi ancaman bagi konservasi hutan karena praktek pemilihan kepala daerah yang cenderung koruptif. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangkap begitu banyak kepala daerah karena kasus korupsi izin pengelolaan hutan. Hal ini menimbulkan skeptisisme dan pesimisme terhadap politik kehutanan Indonesia.
Menurut Berenschot (2015)mengatakan bahwa politik kehutanan Indonesia merupakan“the haze of democracy” (Kabut Demokrasi) karena demokrasi pemilihan langsung daerah menjadi ancaman bagi konservasi lingkungan hidup.
Studi kasus kedua dalam politik kehutanan Indonesia adalah pembentukan dan kinerja dari Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG dibentuk Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Januari 2015 sebagai badan temporer di dalam merespons kebakaran hutan yang terjadi di lahan gambut. BRG bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tugas utama yang dilakukan oleh BRG adalah melakukan restorasi lahan gambut yang telah rusak dan mempertahankan keutuhan 48 wilayah gambut Indonesia.
BRG menjadi sebuah kekuatan politik baru di dalam memberdayakan masyarakat lokal dalam pengelolaan gambut dan mempromosikan perkebunan yang lestari. Presiden Joko Widodo menetapkan target restorasi lahan gambut seluas dua juta hektar dalam lima tahun. Untuk mencapai target tersebut, BRG menggunakan strategi 3R yaitu rewetting, revegetasi dan revitalisasi mata pencaharian penduduk.
Strategi 3R ini sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sejalan dengan kebijakan pengelolaan gambut Indonesia. Selain itu, BRG juga membentuk BRG Daerah dengan tujuan mempercepat koordinasi antara pimpinan pemerintahan daerah dengan BRG.