Jumat, Maret 29, 2024

Krisis Iklim, Kesehatan, dan Adaptasi

Qonita Hanafiah
Qonita Hanafiah
Mahasiswi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

We deserve a safe future and we demand a safe future.” perkataan Gretta Thunberg pada aksi Global Climate Strike di New York tahun 2019, hingga kini masih sesuai dengan keadaan yang sangat kita butuhkan. Sebagaimana pernyataan para ilmuwan, krisis iklim yang terjadi saat ini sudah berada dalam kondisi darurat. Itu artinya, masa depan dan kualitas kehidupan manusia berada dalam kondisi terancam.

Krisis iklim yang semakin meningkat, menyebabkan kondisi kualitas kesehatan semakin menurun, ini merupakan permasalahan yang serius dan harus segera ditangani. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bahwa krisis iklim menjadi satu-satunya ancaman terbesar bagi kesehatan manusia.

Salah satu penyebab krisis iklim adalah polusi udara. Laporan tahunan IQAir 2020, menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat sembilan sebagai negara dengan kualitas udara yang buruk. Peringkat ini menurun tiga peringkat dibandingkan dengan tahun 2019. Akan tetapi, tetap saja ini tidak mengubah status tidak sehat kualitas udara Indonesia.

Sehubungan dengan itu, rata-rata tahunan konsentrasi polutan mikroskopis—PM 2.5—Indonesia, termasuk kategori memprihatinkan dengan persentase berada di angka 40,7% per meter kubik udara. Artinya, 8,1 kali lebih tinggi dibandingkan standar baru kualitas udara tahunan yang ditetapkan oleh WHO.

Menurut WHO, semakin sering kita terpapar dan menghirup polusi udara maka semakin rentan menderita infeksi sistem pernapasan, kanker, gangguan kognitif pada bayi dan anak-anak, stroke, penyakit jantung, hingga kematian dini. Setiap tahunnya,  polusi udara membunuh sebanyak tujuh juta penduduk dunia dengan kondisi sembilan dari sepuluh orang di dunia menghirup udara yang tidak sehat. Mortalitas dini per tahun akibat polusi udara di Indonesia sebanyak 123.753 kematian. Angka ini lebih tinggi dibandingkan mortalitas kasus TB di tahun yang sama.

Sebagaimana kita semua ketahui, polusi udara berasal dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Terutama emisi karbon yang dihasilkan dari transportasi, kegiatan industri, karhutla, deforestasi, dan PLTU. Sektor PLTU terutama batubara menjadi kontributor CO2 nomor satu, disusul dengan sektor transportasi di urutan kedua. Selain itu, kegiatan rumah tangga pun dapat menghasilkan emisi karbon, seperti penggunaan kayu bakar atau LPG, penggunaan barang elektronik, dan memakan daging sapi karena 1 kg daging sapi setara dengan 60 kg CO2. Ternyata hal yang selama ini kita anggap sepele, berkontribusi juga dalam merusak bumi.

Polusi udara yang kian meningkat, sangat mempengaruhi perubahan derajat suhu di bumi. Banyak masyarakat Indonesia yang mengeluhkan mengenai tidak nyaman saat bernapas, polusi dimana-mana, cuaca kian tak menentu, dan  udara yang terasa panas tidak memandang waktu. Di samping itu, suhu rata-rata bulan Oktober tahun ini menjadi suhu tertinggi sepanjang tahun 2021 dengan kenaikan 1,1°C dibandingkan dengan bulan Januari 2021. Memang terlihat angka yang kecil, tetapi ketahuilah dampaknya tidaklah kecil. Kita sudah merasakan banyak terjadi bencana alam yang kian intens dan krisis kesehatan dimana-mana. Tentu saja jika perubahan derajat suhu ini semakin tinggi maka ancaman yang terjadi pun akan semakin parah.

Keterkaitan yang dapat kita lihat dalam hal ini adalah manusia berperan sebagai subjek sekaligus objek dalam krisis iklim. Kegiatan manusia menghasilkan emisi GRK, kemudian menyebabkan polusi udara, lalu menyebabkan krisis iklim dengan meningkatnya suhu bumi, dan pada akhirnya akan berujung pada krisis kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan teori ekologi kesehatan baik kondisi sehat maupun kondisi sakit dipengaruhi oleh perilaku interaksi manusia dengan lingkungannya.

Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk terus mengingat dan memperjuangkan bahwa kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap manusia berhak menghirup udara  dan tinggal di lingkungan yang sehat agar tercapai kualitas hidup dengan kondisi kesehatan yang baik. Manusia juga berkewajiban menjaga dan meningkatkan kesehatan setiap individu. Konsepnya adalah dari manusia untuk manusia sehingga manusia yang menemukan, manusia yang merusak, dan manusia juga yang memulihkan.

Tentunya krisis iklim tidak boleh disepelekan karena berdampak juga pada kualitas kehidupan generasi mendatang. Bumi butuh penanganan dan pencegahan khusus dengan segera. Tidak hanya lisan, tetapi juga perbuatan. Tidak hanya jargon, tetapi juga respon. Bukan hanya tuntut, melainkan harus turut. Bukan hanya taktik, melainkan harus praktik. Oleh karena itu, penanganan ini akan mengarah pada mengubah perilaku manusia. Jika manusia merawat dan menjaga alam maka akan menghasilkan kondisi sehat. Sebaliknya, saat manusia acuh tak acuh dan serakah pada alam maka akan menghasilkan kondisi sakit.

Diperlukan kontribusi nyata dan berkesinambungan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim. Sektor pemerintah berperan penting dalam menentukan kebijakan karena sebagai acuan masyarakatnya dalam bertindak. Sebagaimana peribahasa dari Bali buka paete, nagih getok ‘kebanyakan masyarakat memiliki inisiatif yang rendah dan cenderung harus ada perintah yang mengikat’. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus bersifat tepat, tegas, dan mengikat agar penanganan berjalan secara maksimal.

Presiden Joko Widodo pada COP26, menyampaikan bahwa Indonesia beralih dari energi fosil menjadi energi biofuel untuk mencapai emisi nol-bersih. Pada dasarnya, langkah ini tidak efektif karena energi biofuel membuka peluang pada deforestasi besar-besaran. Jika ingin mencapai emisi nol-bersih, Indonesia harus meninggalkan energi fosil dan beralih pada energi terbarukan yang bersumber pada pasang surut air laut, surya, air, angin, panas bumi, dan lainnya. Indonesia dengan kekayaan alamnya, memiliki potensi tinggi untuk memanfaatkan energi tersebut. Untuk itu, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakannya dengan tepat.

Pelestarian dan restorasi pun harus dilakukan secara bersamaan tanpa pandang bulu. Pemerintah harus terus meningkatkan reforestasi, bukan deforestasi. Tak terlupakan juga harus adanya skenario logis disertai observasi yang sistematis. Hal penting lainnya, yaitu menghentikan izin pembangunan PLTU dan pemerintah harus mulai beralih pada ekonomi hijau sesegera mungkin.

Sebenarnya, poin penting dalam kontribusi ini adalah kesadaran dan tindakan. Banyak hal mudah yang bisa lakukan tanpa menunggu kebijakan pemerintah, seperti beralih menggunakan sepeda dengan catatan jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh atau menggunakan transportasi umum, mencabut stopkontak dan steker yang tidak lagi digunakan, beralih pada makanan nabati dan tidak membuang-buang makanan, meminimalisir barang sekali pakai, dan membuang sampah pada tempatnya.

Jangan sampai kita menjadi orang yang buka cicinge ngongkong, tuara pingenan nyegut ‘orang yang hanya berani bicara dan menggertak, tetapi takut mengambil tindakan’. Mengutip dari perkataan Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres bahwa “Krisis iklim adalah pertarungan yang bisa kita menangkan.” tentu hal ini bisa terwujud jika saya, kamu, kita semua turut serta dalam menangani krisis iklim.

Qonita Hanafiah
Qonita Hanafiah
Mahasiswi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.