Kesadaran tentang kesehatan jiwa di Indonesia terkesan masih kurang mendapatkan perhatian dibandingkan negara-negara lain. Kesehatan jiwa dianggap suatu hal yang tabu dan juga ‘sepele’ karena tidak tampak secara langsung.
Padahal, manusia sebagai makhluk holistik dapat dianggap sehat apabila memenuhi kebutuhan nya secara utuh meliputi fisik, psikis, sosial, spiritual, dan ekonomi. Mayoritas masyarakat hanya memfokuskan pada aspek fisik, sedangkan di sisi psikis juga sangat penting. Hal inilah yang membuat stigma dapat berkembang.
Stigma muncul dari pikiran dan pandangan negatif terhadap suatu hal yang dianggap menyimpang ataupun yang tidak sesuai dengan nilai-nilai berkehidupan. Pelabelan stigma sering diidentikkan pada orang ataupun kelompok yang dianggap ‘berbeda’ dari lingkungan sosial.
Sehingga, stigma memberikan dampak negatif seperti diskriminasi, menarik diri dari lingkungan sosial, kurangnya motivasi, dan tidak percaya diri. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan seseorang ataupun kelompok merasa tertekan atas pandangan terhadap dirinya. Fatalnya, bila berakhir dengan depresi.
Fenomena yang sering terjadi saat ini, penempatan stigma terhadap suatu individu maupun kelompok diidentikan pada isu-isu sosial dan juga kesehatan. Pelabelan stigma pada penderita penyakit yang khas seperti HIV/AIDS, pada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dan juga Covid-19 sebagai virus yang tengah berkembang di tiongkok masih menjadi trending isu yang ada di Indonesia.
Para penerima stigma sudah sangat berat untuk menerima kondisi yang mereka alami, hal ini juga ditambah dengan adanya penolakan-penolakan terhadap stigma masyarakat yang membuat ketakutan seakan menambah beban kondisi mereka saat ini.
Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah melakukan evaluasi terhadap kejadian stigma terhadap pengembangan virus yang terjadi di dunia. Hal ini berkaca pada kejadian lalu seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) ataupun Flu Babi.
Imbasnya adalah menimbulan stigma terhadap nama tertentu seperti MERS yang disebutkan wilayah Timur Tengah di namanya membuat masyarakat dunia berespon terhadap suatu ras atau golongan tertentu untuk menghindari kontak langsung. Hal ini juga terjadi pada penyebaran Flu Babi yang menyebutkan nama hewan secara langsung seakan menyiratkan semua babi memiliki virus tersebut.
Pelabelan citra negatif terhadap suatu lokasi, kaum atau golongan, suku, bangsa, maupun binatang tertentu akan terasa menyudutkan pada hal yang terdampak tersebut. Stigma tersebut juga akan memberikan respon beragam dari masyarakat seperti penolakan-penolakan secara langsung. Inilah yang juga ditemui di Indonesia dalam menanggapi Covid-19 yang sebelumnya banyak dikenal dengan virus wuhan atau virus corona ini.
Covid-19 yang berasal dari Tiongkok ini membangun stigma terhadap masyarakat yang berada di wilayah tersebut. Isu Covid-2019 harus ditanggapi serius oleh pemerintah tentu dengan langkah preventif yang kuat dan juga pemberian informasi secara masif kepada masyarakat. Apalagi banyaknya berita-berita yang ‘menyesatkan’ opini publik yang terus bermunculan, khususnya di media online.
Bentuk stigma muncul dari virus ini berupa penolakan dan pandangan negatif terhadap pekerja migran. Bentuk penolakan terhadap Covid-19 ini telah ditemui di beberapa daerah di Indonesia seperti beberapa waktu lalu ada wisatawan dari Tiongkok yang berkunjung untuk berwisata dan masyarakat yang menolak tempatnya dijadikan tempat observasi sementara bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang baru pulang dari Tiongkok. Beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki pekerja migran dari Tiongkok apabila sedang menderita flu dicurigai sebagai pembawa virus.
Waspada juga merupakan hal yang sewajarnya dan juga bentuk mawas diri bila kita menemui hal-hal yang dirasa atau dicurigai tentang penyebaran penyakit. Namun, langkah preventif yang benar harus menjadi prioritas dibanding memberikan pelabelan stigma yang kurang tepat.
Penanganan Stigma
Pengaruh secara psikis yang dialami masyarakat yang terdampak mendapatkan penolakan dan perlakuan yang berbeda sehingga sulit untuk mencari pertolongan segera. Kondisi fisik mereka yang rentan ditambah beban psikis memberikan dampak pada kondisi kesehatan mental mereka. Diskriminasi semakin terasa dengan maraknya berita-berita hoaks yang menyebar semakin memperparah keadaan untuk menguatkan pandangan dan pikiran negatif yang diperoleh.
Bahaya dari kesehatan jiwa ini harus mendapat perhatian penuh untuk seluruh masyarakat. Peningkatan kesadaran tentang kesehatan jiwa juga harus didukung secara penuh melalui pendidikan dan penyebaran informasi melalui media sosial ataupun kampanye secara langsung. Sistem yang ada di Indonesia harus didukung dengan pelayanan yang komprehensif.
Stigma negatif harus ditangani dengan baik agar tidak menimbulkan polemik dan memberikan beban psikis bagi penerima stigma. Masyarakat harus diberikan kesadaran secara utuh meliputi kesehatan jiwa, bagaimana membangun lingkungan masyarakat yang suportif, membangun pola sauh yang tepat, dan dibutuhkan fasilitas layanan kesehatan jiwa. Hal ini sangat penting mengingat kesehatan jiwa merupakan bagian inti dalam kondisi sehat yang holistik.
Melawan stigmatisasi harus dimuai dari sendiri dan diajarkan dengan baik dalam keluarga. Mulai dari ‘positive think’ akan melahirkan pandangan untuk menyikapi hal-hal dengan perspektif yang lebih luas dan masuk akal. Mulailah dari langkah yang terkecil yaitu ‘care atau peduli’ maka jarak dengan stigma akan sangat jauh. Perhatikanlah dari kesehatan jiwa mu sendiri dan orang terdekat dan segera sikapi dengan baik bila ada gejala-gejala yang mengarah ke sisi negatif.