Tahun 2024 menjadi puncak politik di Indonesia, sama seperti lima tahun sebelumnya dan seterusnya. Di penghujung tahun ini, arena Pemilu dan Pilkada di Indonesia telah usai, tetapi jejak polarisasi tak kunjung damai. Generasi muda memegang peran kunci yang signifikan terhadap kelangsungannya. Dalam hal ini, wawasan kebangsaan perlu digalakkan.
Periodisasi setiap lima tahun pengadaan Pemilu dan Pilkada memang kerap kali memunculkan polarisasi. Sebut saja, di tahun 2019 kita mengenal istilah cebong dan kampret saat masa kampanye Pemilu dan riuhnya Pilkada Jakarta dengan pembagian dua kelompok yang cukup ekstrim. Bagaimana dengan Pemilu dan Pilkada tahun ini?
Ketua DPR RI, Puan Maharani, seperti dikutip dalam RRI mengaku bangga karena Pilkada 2024 tak menimbulkan polarisasi. Nampaknya, pernyataannya tersebut cukup akurat, tentu hanya dalam Pilkada 2024. Apabila kita mengetik frasa “Polarisasi Pilkada 2024” di mesin pencari misalnya, hampir tak ada pemberitaan terkait peristiwa tersebut, kolom hasil dipenuhi dengan strategi pencegahan polarisasi pada Pilkada 2024.
Berbeda dengan itu, polarisasi pada Pemilu tahun ini masih terjadi, menyentuh berbagai kalangan, terutama generasi muda. Tak hanya ketika Pemilu, polarisasi politik bahkan tetap mencuat pasca Pemilu. Temuan penulis menemukan frasa “Anak Abah” dan “Warga 58%” kerap kali menjadi basis sindiran ketika isu mencuat, bahkan pada isu-isu yang tak berhubungan dengan politik itu sendiri.
Peristiwa yang terbaru misalnya, kasus Penjual Es Teh dan Gus Miftah diwarnai polarisasi yang sangat kuat. Banyak netizen mencurigai bahwa Clara Shinta yang menyebarkan video hinaan Gus Miftah tersebut adalah “Anak Abah” karena ditengarai pernah berfoto dengan Anies Baswedan. Ia mendapat berbagai ancaman dari netizen karena “Anak Abah” itu menyebarkan video Gus Miftah, yang sebelumnya merupakan staf khusus Presiden RI Prabowo Subianto.
Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Universitas Diponegoro, Wijayanto, menemukan bahwa pasukan siber telah melanggengkan polarisasi pada Pemilu 2024. Penelitian yang dilakukannya bersama tim riset dari Belanda terkait analisis jejaring sosial (Social Network Analysis) terhadap percakapan di platform X (dahulu Twitter) selama Pemilu 2019 dan 2024 menunjukan skema polarisasi mewarnai dinamika demokrasi di Indonesia.
Survey APJII 2024 menemukan bahwa X yang merupakan platform media sosial ini cukup digandrungi generasi muda khususnya Generasi Z, setelah Facebook, Instagram, dan TikTok. Selain X, penulis juga menemukan polarisasi politik yang cukup kuat pada TikTok di kalangan generasi Z, mereka membagikan video dan komentar yang kerap kali saling menyudutkan dengan penggunaan frasa “Anak Abah”, sedangkan X banyak menggaungkan “Warga 58%”.
Polarisasi di kalangan generasi muda ini perlu diperangi karena mereka merupakan aset masa depan bangsa Indonesia. Jika perpecahan terus terjadi, niscaya pembangunan nasional tak jua tercapai. Oleh karena itu, generasi muda harus memahami dan menerapkan wawasan kebangsaan dalam setiap tindak-tunduknya.
Wawasan kebangsaan merupakan cara pandang bangsa Indonesia terkait diri dan lingkungannya yang mengutamakan kesatuan dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Wawasan kebangsaan mengedepankan aspek tujuan yang sama, keadilan, kerjasama, kejujuran, dan kesetiaan terhadap kesepakatan. Aspek solidaritas inilah yang perlu ditonjolkan generasi muda dalam memerangi polarisasi.
Ada empat pilar bangsa dan negara Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada Pancasila, salah satu fungsinya adalah sebagai pemersatu bangsa, setiap warga negara diharapkan menghargai perbedaan dan mengedepankan persatuan. Generasi muda perlu menghargai perbedaan pandangan politik yang ada demi terciptanya persatuan.
Sebagaimana Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, generasi muda juga seharusnya mencari titik temu dari perbedaan pandangan politik yang ada bukan malah menjadikannya sebagai alat pemecah belah bangsa. Mengapa ini penting untuk dilakukan? Sebab, jika polarisasi terus terjadi, bukan hanya demokrasi saja yang terhambat, tetapi juga pembangunan nasional sebuah bangsa.
Generasi muda khususnya Generasi Z dapat mulai memupuk rasa persatuan dan kesatuan dengan mengedepankan sikap toleransi, inklusivisme, dan konvergensi. Ketika seseorang menyuarakan pendapat atau temuannya, seharusnya kita dapat menghargainya dan memberikan kritik dan saran yang membangun guna terciptanya kesatuan, bukan malah mencemoohnya dengan sebutan “Anak Abah” atau “Warga 58%”.
Wawasan kebangsaan menjadi kunci keberhasilan demokrasi yang damai tanpa perpecahan. Tak hanya dalam urusan politik, ketika karakter wawasan kebangsaan diimplementasikan oleh generasi muda dengan baik, niscaya kualitas SDM akan semakin kuat, begitu kata Wakil Kepala BRIN, Amarulla Octavian dalam Brin.go.id. Kualitas SDM yang kuat ini tentunya dapat memperkokoh pembangunan nasional melalui kerja sama dan kolaborasi.