Sabtu, April 20, 2024

Stereotipe Perempuan: Antara Ruang Publik dan Domestik

Amar Muhyi Diinis Sipa
Amar Muhyi Diinis Sipa
Nama saya Amar Muhyi Diinis Sipa, saya lahir di Pemalang 05 Desember 1996, sekarang saya sedang melanjutkan studi S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, saya juga aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) dari tahun 2019 hingga saat ini.

Sebagian masyarakat umum seringkali terjebak dalam memaknai realitas, dalam relasi perempuan dan laki-laki dikenal dengan istilah sex dan gender. Beberapa sarjana dalam studi gender memahami keduanya demikian, sex adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang sifatnya alamiah (pemberian tuhan) atau bisa disebut kodrat, sedangkan gender adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang dibentuk oleh konstruksi sosial, budaya, adat istiadat, kultur, ataupun pemahaman keagamaan.

Namun yang menjadi problem dalam memaknai istilah tersebut adalah, seringkali sebagian masyarakat menganggap bahwa gender juga merupakan takdir dari Tuhan (kodrat), sehingga kemudian melahirkan paradigma yang kecenderungannya melegitimasi salah satu jenis kelamin dalam konteks ini adalah perempuan.

Paradigma yang lahir di dalam masyarakat umum seringkali membatasi ruang gerak perempuan untuk masuk ke dalam ranah publik. Kondsi tersebut seringkali melahirkan stereotipe atau pelabelan terhadap perempuan, dalam beberapa kasus perempuan dianggap lebih cocok sekedar berada pada wilayah domestik (di rumah), melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, mencuci, memasak, mengasuh anak, dan lain sebagainya, dan yang tepat untuk berada pada wilayah publik adalah laki-laki (suami).

Tentu pandangan seperti itu tidak diadopsi oleh semua kalangan, pada masyarakat lebih moderat mungkin paradigmanya sudah lebih mencair antara peran di ruang publik dan domestik.

Akan tetapi pada beberapa masyarakat pedesaan (tradisional) mungkin sebagian kecil atau sebagian besar masih memegang stereotipe tersebut atau pelabelan tersebut, penulis ambil contoh di desa penulis sendiri, sebagian besar pandangan masyarakat masih menganggap perempuan lebih pas untuk mengurusi urusan rumah tangga saja, sehingga sering kita dengan istilah “dapur, sumur, kasur”. Sedangkan pada ranah strategis, pada wilayah publik, pada pengambilan keputusan, dan berbagai macam kebijakan di ruang publik (desa), laki-laki masih lebih dominan dalam hal tersebut.

Dikutip dalam Saguni (2014), perempuan seringkali dilabelkan sebagai subjek yang selalu mengandalkan perasaannya ketimbang rasionya, untuk itu dalam hal-hal yang melibatkan peran rasio dalam ruang publik, perempuan seringkali hanya tampil di balik layar dan jarang dilibatkan dalam ranah pengambilan keputusan di ruang publik. Dibeberapa keadaan di desa penulis sendiri, peran perempuan seringkali hanya sebatas support untuk segala macam kepentingan laki-laki.

Dalam setiap agenda kegiatan entah itu rapat, musyawarah desa, menentukan kebijakan bersama, dominasi laki-laki dalam posisi utama selalu menjadi arena yang kuat untuk perempuan hanya masuk dalam wilayah domestik. Artinya perempuan seringkali hanya tampil di balik layar, mempersiapkan segala hal yang laki-laki butuhkan.

Stereortipe ini atau pelabelan tersebut, seringkali menempatkan perempuan dalam posisi terbatas, tidak bebas, dan perempuan hanya dianggap sebagai support bagi laki-laki. Dampak dari realitas tersebut seringkali berimbas kepada objektivikasi terhadap perempuan, peran-peran perempuan sedemikian rupa sudah dikonstruksi, dibatasi ruang geraknya, dan pada akhirnya stereotipe tersebut dianggap sebagai kodrat. Peran-peran yang semestinya bersifat kompleks, dinamis, dan dapat berubah karena itu merupakan faktor-faktor yang dibentuk oleh kultur, budaya, dan sosial, seolah menjadi sesuatu yang sudah ditakdirkan Tuhan, dan menjadi kodrat alamiah.

Sehingga akhirnya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan sering terjadi, pengaruh budaya patriarki yang cukup kuat seringkali justru mengakibatkan relasi antara perempuan dan laki-laki sebagai arena persaingan bukan kerja sama atau partnership.

Dibeberapa kasus yang penulis jumpai laki-laki seringkali merasa gengsi atau malu dengan perempuan yang mungkin memiliki status sosial yang lebih tinggi, logika yang digunakan seringkali adalah logika persaingan. Realitas ini juga pada akhirnya menciptakan stereoripe, bahwa perempuan yang status atau derajatnya sosialnya lebih tinggi dianggap menjadi tidak umum, dan beberapa keadaan menciptakan narasi “jangan mau tersaingi oleh perempuan, kita laki-laki harus selalu menjadi pemimpin”.

Beragam stereotipe tentang perempuan dapat berdampak terhadap konsep diri dari perempuan itu sendiri, perempuan seringkali dianggap memiliki konsep diri yang lebih rendah dibanding laki-laki, perempuan dianggap memiliki kecenderungan lebih banyak menggunakan perasaan, dan lain sebaginya (Ismiati, 2018).

Perempuan kemudian seringkali hanya diobjektifikasi dari apa yang terlihat, perempuan dilihat hanya dari fisiknya, kecantikannya, gayanya, harus selalu tampil cantik, bersih, wangi, dan segala macamnya. Konstruksi-konstruksi tersebut yang dilabelkan pada perempuan tidak ditujukan juga untuk laki-laki.

Sehingga dalam statement dari Nawal seorang peneliti kajian gender, ia berpedapat bahwa perempuan dilihat dan dipandang sebagai objek untuk laki-laki, perempuan cantik untuk laki-laki, perempuan berpenampilan menarik untuk laki-laki, serta beragam tanggung jawab kultural lain yang dikonstruksi oleh masyarakat, dan laki-laki tidak memiliki tanggung jawab tersebut seperti perempuan.

Stereotipe ini merupakan tanggung jawab kita bersama, dalam beberapa kondisi kesadaran tentang kesetaraan gender di tengah masyarakat mulai terbentuk, ideologi dari R.A Kartini tentang emansipasi sering dinarasikan, hal ini tentu sedikat banyak akan membentuk konstruksi baru yang diharapkan akan lebih adil terhadap gender.

Bahwa gender bukan suatu kodrat yang mutlak dari Tuhan, namun gender adalah konstruksi sosial yang suatau saat dapat berubah. Dan tugas kita bersama untuk menempatkan perempuan dalam level yang setara, bukan dalam segala hal, namun dalam perannya di ruang publik, dan lebih melihat perempuan sebagai subjek yang sama dengan laki-laki, sama-sama memilki kreatifitas, kecerdasan, pemikiran, dan ide-ide kreatif.

Amar Muhyi Diinis Sipa
Amar Muhyi Diinis Sipa
Nama saya Amar Muhyi Diinis Sipa, saya lahir di Pemalang 05 Desember 1996, sekarang saya sedang melanjutkan studi S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengambil konsentrasi Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, saya juga aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) dari tahun 2019 hingga saat ini.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.