Jumat, April 26, 2024

Squid Game dan Naluri “Rekayasa” ala Penguasa

Ana Dwi Itsna Pebriana
Ana Dwi Itsna Pebriana
Suka baca dan ngelamunin apa aja, yang penting halal.

Setelah cukup “gerah” melihat trending topic di Twitter dan postingan beberapa kawan, akhirnya saya pun ikut mengkhatamkan Squid Game, serial teranyar dari Netflix pertengahan September lalu.

Selain menguji adrenalin, serial ini juga sarat akan nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan, terutama soal tingginya hasrat manusia dalam mempertahankan hidupnya. Dibanding dengan beragam permainan mematikannya, saya justru lebih terfokus pada permasalahan individual setiap pemainnya. Kompleks.

Bukan berbicara soal adegan bunuh-bunuhannya, setidaknya ada lima hal, yang menurut saya, disinggung dalam serial ini.

Squid Game vs Pinjol

Squid Game ini ibarat pinjol. Pinjol adalah penyelenggara game-nya, dan nasabahnya adalah para pemain yang terlibat di dalamnya. Keduanya sama-sama berpotensi untuk “membunuh” para pemainnya.

Dalam pinjol, jika si nasabahnya tidak bisa melunasi utang, dia berisiko diteror, dibocorkan data pribadinya, dan lain-lain. Sedangkan dalam Squid Game, jika tidak bisa melanjutkan permainan, betul-betul bisa “dibunuh” secara harfiah. Wafat di tempat dalam waktu yang amat singkat.

Patriarki dan Diskriminasi

Dalam serial ini juga memperlihatkan dengan kontras praktik diskriminatif terhadap perempuan. Dalam salah satu game, para pemain diminta membentuk tim yang terdiri atas 10 orang. Dua karakter utama, Cho Sang Woo dan Seong Gi Hun berada di tim yang sama, dan mereka masih kurang 5 orang anggota lagi agar genap menjadi 10.

Ada dialog menarik berisi sindiran antara keduanya. Sang Woo meminta Gi Hun, agar dia mencari anggota lain dari kalangan laki-laki, karena di timnya sudah ada satu perempuan dan orang tua. Gi Hun menjawab, “Kita belum tahu permainan apa yang akan dimainkan. Bisa saja permainan nanti adalah yang menuntut kelincahan. Dan perempuan tentunya lebih baik dalam hal itu.” Sang Woo menjawab, “Tetap saja. Laki-laki akan jauh lebih baik dalam segala permainan.”

Dalam keseharian para pemain pun diperlihatkan dengan jelas bahwa laki-lakilah yang paling berkuasa. Ini tergambar dalam karakter Deok Su, “pimpinan” gangster yang tak segan-segan membunuh siapa saja tanpa belas kasihan.

Stereotip terhadap Orang Cerdas

Orang cerdas kerap dipandang sebagai kalangan terhormat, terpelajar, yang hidupnya aman, damai, tenteram, dan tentunya tak akan pernah berurusan dengan utang piutang, apalagi jadi buronan.

Tapi nyatanya, karakter Cho Sang Woo yang digambarkan sebagai sosok genius, kuliah di universitas ternama, dan sudah cukup mapan, pada akhirnya justru terjebak dalam lingkaran setan yang membuatnya terpaksa menjadi bagian dari permainan mematikan, demi bisa melunasi utang.

Pantang Kalah, Meski Salah

Dalam salah satu permainan lain, para pemain diminta berpasangan. Tentunya, dari setiap pasangan ini harus ada satu orang yang menang untuk lanjut ke babak berikutnya. Yang kalah? siap-siap “dijemput” oleh petugas ber-jumpsuit dengan membawa peti panjang menuju gerbang keabadian.

Kecurangan atau mungkin “trik cerdik” dari beberapa pemain pun menjadi sorotan. Antara dilema harus menipu atau tidak, jelas adalah pilihan yang sulit.

Salah satunya Cho Sang Woo. Merasa tidak mungkin dirinya bisa kalah, dengan sangat berat hati, Sang Woo mesti menipu kawan (kawan ya, bukan lawan) mainnya, Ali, yang padahal sejak awal, Ali sudah menaruh kepercayaan besar terhadap Sang Woo. Naluri-naluri “jahat” yang digambarkan oleh setiap karakter ini seolah-olah dibentuk oleh sistem, bukan bersifat alamiah.

Alegori Kapitalisme

Sudah jelas, ini menjadi isu utama yang diangkat dalam serial ini. Squid Game ini ada, karena kesenjangan sosial yang amat kentara: adanya orang yang terlalu banyak memiliki uang, dan banyaknya orang yang justru sama sekali tidak punya uang. Dua kondisi yang amat bertolak belakang.

Saya tidak akan membahas secara mendalam terkait konsep dan praktik kapitalisme tersebut. Hanya saja, saya merasa perlu menyampaikan, atau lebih tepatnya sedikit menginformasikan ihwal ide “utama” yang diusung serial ini.

Menurut sutradaranya, Hwang Dong Hyuk, sebagaimana wawancaranya dengan American Variety (24/09/21), serial ini merupakan alegori dari “jahatnya” kehidupan di bawah tatanan sistem kapitalisme, khususnya di Korea Selatan. Di Squid Game, para peserta harus melalui permainan kejam demi mendapat kekayaan, sama seperti dunia nyata yang penuh kekejaman bagi mereka yang miskin. Begitu tuturnya.

Setidaknya, itulah komentar (agak) kritis terkait Squid Game dari sudut pandang saya sebagai penonton. Saya memang bukan penonton setia serial thriller, apalagi kritikus film. Saya hanya merasa perlu merekomendasikan Squid Game ini kepada siapa pun yang sepertinya butuh tontonan yang tidak hanya menegangkan, tapi juga memberi pelajaran.

Serial ini menurut saya sangat menarik. Di samping jumlah episodenya yang tidak begitu banyak, hanya 9 episode, cerita yang disuguhkan juga amat realistis. Saran saya, jangan terburu-buru untuk menyelesaikan serial ini. Santai saja. Nikmati setiap cerita dan nostalgia “permainan” masa kecil yang ditampilkan.

Selamat menikmati suguhan brutal dari Korea Selatan!

Ana Dwi Itsna Pebriana
Ana Dwi Itsna Pebriana
Suka baca dan ngelamunin apa aja, yang penting halal.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.