Tutupnya beberapa gerai toko buku yang dulu sempat berjaya disinyalir berkaitan dengan pola pikir konsumen. Dengan membeli buku secara online, konsumen memperoleh beberapa keuntungan.
Antara lain (1) sebagian besar harganya adalah harga diskon, (2) tidak perlu repot-repot kepanasan atau kehujanan ke toko buku (kecuali yang berniat sekalian rekreasi). Lapak buku online di Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya pun memudahkan konsumen untuk mencari buku-buku lawas. Berbeda jika kita ke Taman Pintar Yogyakarta atau Stadion Diponegoro Semarang, butuh ketekunan untuk mengulak-alik tumpukan buku berdebu untuk sekadar ingin tahu isi sebuah buku lawas.
Lapak-lapak online sekarang memang sudah memenuhi jagat maya. Biasanya adalah kios-kios buku lama yang kemudian membuka lapak online agar jangkauannya makin luas. Beberapa penerbit juga mulai melayani pembelian langsung melalui laman website resmi. Lagi-lagi, harganya seringkali lebih miring disbanding jika ke Gramedia atau toko buku lain—selain di toko-toko buku lawas.
Di Yogyakarta, menurut penuturan Mas Ali, banyak mahasiswa yang “nyambi” jualan buku online. Dan mereka tidak modal stok buku, melainkan kerjasama dengan beberapa toko buku, Social Agency misalnya. Jadi, mahasiswa dipersilakan memfoto buku-buku Social Agency, mengunggahnya di media sosial atau lapak online lainnya. Jika ada pesanan, mereka tinggal ambil dari Social Agency dan kirim ke konsumen. Soal keuntungan, bisa dibicarakan kemudian.
Calon konsumen toko-toko buku semacam Toga Mas, Gramedia, sebenarnya adalah kelas menengah ke atas atau orang-orang yang sadar pentingnya buku. Kampus menjadi sasaran utama karena aktivitas perkuliahan meniscayakan adanya bahan bacaan untuk memperkaya dan memperdalam materi.
Selain itu adalah keluarga kelas menengah yang punya tradisi literasi kuat dan tak segan merogoh kocek berates-ratus ribu “hanya” untuk satu atau dua buah buku tebal untuk anak-anak mereka. Sasaran lain adalah komunitas-komunitas intelektual. Penerbit YOI sadar betul itu, hingga banyak mensuplai beberapa komunitas untuk kerjasama jual-beli buku, termasuk RBSS dulu.
Selama ini sebagian konsumen dari buku-buku di Johar, Diponegoro, adalah Ibu-Ibu yang membelikan buku pelajaran sekolah untuk anak-anaknya, sambil mengeluh “Sekolah saiki ora koyok biyen, biyen bukune mase sih iso dienggo adike, saiki wis raiso, ganti tahun kudu ganti buku.”
Selain itu adalah mahasiswa baru yang masih lugu, mencari buku berharga miring, kalau perlu buku bajakan. Yang penting punya, karena diwajibkan dosennya untuk punya buku-buku dengan pengarang dan judul yang sudah dipastikan sebelumnya.
Biasanya pertanyaan yang muncul adalah, “Mas ada buku xxx pengarangnya xxx yang warnanya xxx?” Mereka tidak mau mencari buku lain, walau isinya sama. Selebihnya adalah mahasiswa tingkat akhir yang dipaksa beli buku untuk referensi skripsi, atau kewajiban mengumpulkan sumbangan buku untuk menambah koleksi perpustakaan kampus.
Nah, kampus sekarang sudah berubah, mahasiswa juga. Sebabnya tiada lain kecuali datangnya internet. Mahasiswa bisa dengan mudah mencari literatur berkualitas hanya dengan berselancar ke Google Scholar, DOAJ, Scopus, Springerlink, Elsevier, atau JSTOR. Kalau sekadar untuk mengerjakan tugas membuat makalah, mahasiswa yang mau “curang” pun seakan dipermudah dengan fasilitasi copy & paste.
Jadi, berburu buku-buku cetak seakan tak lagi menjadi kebutuhan dan prioritas mahasiswa. Perpustakaan kampus seakan menjadi situs kuno yang menakutkan bagi mahasiswa. Promosi besar-besaran pengusaha fotokopi, bahwa fotokopi buku satu dapat dua, juga disinyalir mematikan minat mahasiswa beli buku di toko-toko buku langsung. Beberapa lapak fotokopi bahkan sudah secanggih penerbit, hasil cetak buku dari file pdf cukup bagus. Bahkan melayani untuk memperoleh ISBN.
Menurut Mas Ali, di Semarang, jika dilihat dari daya beli mahasiswa, Undip, Universitas Dian Nuswantoro (Udinus), dan Universitas Katholik Soegijapranata (Unika) adalah tiga kampus yang cukup menjanjikan. Dengan kata lain, minat mahasiswa membeli buku cetak cukup bagus. Pendapat berbeda saya peroleh dari marketing YOI Semarang.
Menurutnya UNNES justru lebih potensial dibanding Undip. Konon karena Undip relatif lengkap koleksi perpustakaannya, hingga mahasiswanya tak lagi perlu beli buku. Terlepas dari itu, mahasiswa Undip menurut Mas Ali diketahui sering saling berkoordinasi untuk membeli secara kolektif buku-buku dari marketing penerbit langsung. Bukan dari toko buku semacam Gramedia dan sejenisnya.
Perkembangan intelektual, literasi, memang tak bisa lepas dari buku-buku. Banyak orang, termasuk saya bahkan tetap saja mencetak buku-buku versi pdf agar lebih bisa saya corat-coret di sana-sini. Dan toko-toko buku, para pedagang buku, lapak-lapak buku lawas, adalah penyedia referensi yang seharusnya perlu juga diperhatikan.
Barangkali di masa depan toko-toko buku yang punya ruang fisik tak lagi laku. Barangkali juga yang datang ke toko-toko buku hanyalah mereka yang ingin nostalgia dengan masa lalu. Bisa jadi, lapak-lapak buku virtual adalah masa depan yang memang lebih menjanjikan, karena tak harus sewa kios yang bisa bikin bangkrut usaha.
Dan barangkali Gramedia akan bilang, “Jualan buku memang berat, kamu nggak akan kuat, biar aku saja.”
Opini terkait:
Senjakala Toko-Toko Buku di Semarang [1]