Kamis, Maret 28, 2024

Seberapa Relevankah Narasi ‘Africa Rising’?

Karmelia Sriyani
Karmelia Sriyani
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia

Kita mungkin pernah atau bahkan sering mendengar istilah “the Paradox of Africa.” Istilah ini digunakan untuk menggambarkan benua Afrika yang sangat kaya akan sumber daya alam, tetapi justru rakyatnya mengalami kemiskinan. Tetapi, apakah dengan hadirnya narasi “Africa Rising” pada awal 2000-an dapat menggeser pandangan kita terhadap Benua Afrika seperti yang terkandung dalam istilah “the Paradox of Africa?” Kemudian, kita berpikir,

“apakah ‘Africa Rising’ ini benar-benar relevan dengan kondisi yang terjadi di benua ini atau hanya sekedar kisah yang didasarkan pada logika yang salah, atau bahkan hanya lelucon belaka?”

Ternyata tidak! Narasi ini bukan sekedar kisah dan lelucon belaka.

“Africa Rising” pertama kali disebutkan oleh The Economist, dengan dasar bahwa beberapa dekade lalu, lima dari 10 negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia berasal dari benua Afrika. Majalah Time juga tampaknya menyetujui pengamatan The Economist dengan menceritakan kisah fotografi anak laki-laki Kenya.

Namun, sebuah publikasi Trust Africa menyatakan bahwa narasi “Africa Rising” bisa saja sama dengan label masa lalu yang diberikan kepada Afrika, the dark continent, yang ditentang oleh komunitas Afrika. Tak hanya itu, pada Mei 2000, The Economist juga pernah mencap Afrika sebagai the hopeless continent, sehingga menimbulkan pertanyaan besar alasan yang mendorong The Economist melakukan perubahan istilah secara drastis dalam perspektifnya tentang Afrika. Alasan utama The Economist untuk sampai pada kesimpulan “Africa Rising” adalah indikator angka pertumbuhan PDB Afrika, meningkatnya jumlah miliarder, dan peningkatan teknologi pintar.

Antara tahun 2000 dan 2014, Afrika tumbuh pada jalur yang kuat sehingga memicu kepercayaan akan narasi “Africa Rising.” Menurut laporan African Development Bank tahun 2014, sejak awal tahun 2000, Produk Domestik Bruto Afrika meningkat sebesar 5 persen pertahun dan pendapatan per kapita meningkat sebesar 2,1 persen pertahun.

Pertumbuhan ekonomi Afrika ini berhasil mengungguli Amerika Latin selama 5 tahun terakhir dan berhasil melalui krisis keuangan global 2008-2009 (Alex Thomson, 2016). Pada tahun 2012, lima dari 10 negara dengan pertumbuhan PDB teratas berasal dari Afrika. Libya menduduki puncak daftar dengan angka 124%, diikuti oleh Sierra Leone dengan 15,2%, Zimbabwe dengan 13,6%, Nigeria dengan 11,8%, dan Pantai Gading dengan angka 10,1% (Clemence, 2018).

Namun, bagaimana kita menarik kesimpulan untuk ketepatan narasi ini hanya dengan melihat perspektif lima negara dari 54 negara Afrika? Setahun kemudian, Sudan Selatan mencapai angka 29,3% dan sejak saat itu perekonomian Angola, Chad, dan Republik Demokratik Kongo mulai tumbuh dengan sangat cepat (Clemence, 2018). Semua ini terjadi karena adanya lonjakan harga komoditas dari permintaan pasar yang kuat, khususnya China. Banyak negara-negara Afrika diuntungkan berkat hal ini mengingat jumlah sumber daya alam mereka yang sangat besar. Investasi asing langsung di sektor infrastruktur dan padat modal juga tinggi setiap harinya.

Namun, apakah hanya dengan pertumbuhan PDB dapat MENJADI indikator PEMBENARAN narasi “Africa Rising”?

PDB tidak memberi tahu kita mengenai kesehatan ekonomi, keberlanjutan permanen, dan dampak keseluruhannya terhadap kesejahteraan manusia? PDB hanyalah sebuah tolak ukur atas konsumsi pasar, sehingga tidak tepat untuk menilai kinerja ekonomi. Apakah pertumbuhan PDB dapat menjelaskan kemiskinan ekstrem yang merajalela di benua ini?

Menurut data dari African Development Bank, proporsi orang hidup dalam kemiskinan telah turun dari 50 persen pada tahun 1981 menjadi kurang dari 45 persen pada tahun 2012 (Thomson, 2016). Meskipun kemiskinan relatif menurun di sebagian besar negara, tingkat kemiskinan absolut tetap meningkat karena tingkat pertumbuhan penduduk mengimbangi penurunan tingkat kemiskinan. Apa yang terjadi justru adalah kelas atas menjadi jauh lebih kaya, keadaan membaik bagi beberapa orang dengan kehidupan biasa-biasa saja, tetapi orang Afrika yang termiskin tetap menjadi anggota masyarakat yang makin rentan.

Untuk membuat “Africa Rising” ini menjadi [lebih] relevan, perlu dilakukan rencana dengan multiple steps untuk mengatasi beberapa tantangan yang terjadi, sehingga membawa keadaan benua ini benar-benar “bangkit” seperti yang dinarasikan oleh The Economist. Tantangan inilah yang membuat beberapa pengamat menilai narasi “Africa Rising” tampaknya agak salah.

Tantangan pertama adalah pertumbuhan penduduk yang pesat, di mana jumlah penduduk perkotaan mencapai sekitar 40 persen dari total penduduk dan kemungkinan akan terus meningkat. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat dapat menciptakan rintangan bagi pembangunan berkelanjutan dan membawa implikasi baru bagi struktur demografis Afrika, mengingat jumlah ini tidak seimbang dengan penduduk pedesaan.

Tantangan kedua adalah kemiskinan ekstrem dan kesenjangan antara kaya dan miskin. Menurut Globalist 2017, 41 persen dari total populasi di Afrika hidup dalam formasi kemiskinan ekstrem dan bertahan hidup hanya dengan 1,90 Dolar AS. Untuk mengentas kemiskinan ini dan memenuhi target prioritas program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB pada tahun 2030, Afrika kemungkinan harus meniru catatan pengentasan kemiskinan China dalam tiga hingga empat dekade terakhir.

Untuk mengentas kemiskinan ini membutuhkan proses transformasi ekonomi yang lebih intensif, seperti meningkatkan produktivitas tenaga kerja di seluruh sektor ekonomi, adanya transisi tenaga kerja yang berkelanjutan dari sektor produktivitas rendah menuju sektor produktivitas tinggi, dan perlu dilakukan distribusi pertumbuhan pendapatan yang merata di mana ini didapatkan dari peningkatan produktivitas tenaga kerja. Proses ini diharapkan dapat membantu seluruh lapisan masyarakat Afrika yang paling miskin mendapat untung yang besar.

Dengan hadirnya teknologi informasi dan telekomunkasi memungkinkan masyarakat, khususnya kaum muda, untuk memperoleh informasi yang lebih baik agar terlibat dalam wacana politik dan menuntut akuntabilitas yang lebih besar dari pemimpin negaranya. Teknologi informasi dan telekomunikasi juga dapat melepaskan gelombang inovasi dan kewirausahaan di seluruh benua. Namun, bukan berarti, Afrika akan terhindar dari tantangan berat di tahun-tahun mendatang. Pembuat kebijakan Afrika harus melihat dengan jeli ke dalam dengan berfokus pada kebijakan untuk memobilisasi sumber daya nasional dan membiayai agenda ekonomi negara mereka.

Namun, terlepas dari kepemimpinan buruk oleh para pemimpin Afrika, pasti ada pemimpin Afrika yang baik di luar sana, melawan kesulitan yang dihadapi benua ini dan menunjukkan kemampuan mereka untuk membangun Afrika dan membawa dampak yang langgeng bagi jutaan kehidupan orang Afrika di luar sana. Tak masalah bila tidak mencapai kemajuan seratus persen, yang terpenting Afrika memiliki tujuan dan komitmen yang kuat dan terus bergerak maju, agar narasi “Africa Rising” ini benar-benar menjadi relevan dan membawa perubahan besar bagi dunia, layaknya “Rising China,” atau bahkan kisah fiksi “Wakanda” akan menjadi kenyataan di keseharian benua Afrika.

Karmelia Sriyani
Karmelia Sriyani
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.