Jumat, Maret 29, 2024

Sastra, Santri, dan Cinta yang Prematur

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Menulis di berbagai media cetak dan daring. Sekarang berdomisili di Sleman, Yogyakarta.

Selain melanggar tata tertib—baik yang tertulis atau tidak—yang menyenangkan dari pesantren adalah menikmati iklim sastra. Sebagian orang di belahan dunia yang lain akan kaget ketika pesantren disandingkan dengan sastra. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin lembaga pendidikan agama yang selama ini kita kenal justru dicampur baur dengan sastra.

Lagi-lagi pikiran semacam itu hanya hadir dari kepala yang masih melakukan klasifikasi ilmu agama dan nonagama. Bagi kepala yang telah berdamain dengan itu, artinya yang sudah tidak mengenal dikotomi, unfikasi sastra dan pesantren adalah hal biasa saja. Bahkan, kemungkinan hal tersebut dipandang tidak menarik.

Ketika akhir tahun lalu ramai perdebatan ihwal sastra pesantren, jujur saya tidak terlibat sedikitpun. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi waktu itu. Sementara tulisan ini hanya dimaksudkan untuk merefleksikan bagaimana santri dan hubungannya dengan sastra—bacaan-bacaan yang diklaim punya nilai sastrawi. Patut dicatat sedini mungkin, bahwa ini bukan hasil penelitian ilmiah dengan referensi yang kaya. Ini hanya semacam usaha nostalgia dari seorang santri yang bermimpi jadi penulis besar. Hanya segitu, tidak kurang dan tidak lebih. Jika dinilai terlalu personal, maka tulisan ini memang dimaksudkan ke situ.

Sebagai informasi tambahan, pesantren di Indonesia ada banyak macamnya. Semua mengklaim sebagai pesantren dan tentunya mengajarkan ilmu agama. Bedanya hanya di sisi di mana ilmu nonagama ditempatkan. Sejujurnya, saya tidak senang dengan lema dikotomis ‘ilmu agama dan ilmu nonagama’. Namun, keterpaksaan telah meruntuhkan ketidaksenangan.

Saya menggunakan dikotomi itu hanya untuk memudahkan pembaca. Di beberapa pesantren yang mendaku salaf murni kecenderungannya adalah menegasi ilmu agama. Sedangkan, di pesantren yang semi modern keduanya hampir bergandeng tangan. Beda cerita ketika sudah di pesantren modern, tentu jangkauan terhadap ilmu nonagama(secara spesifik bahasa asing biasanya) lebih luas.

Jika tidak keliru, saya berani menempatkan posisi pesantren saya pada kelompok nomor dua. Pesantren yang tidak hanya menerapkan sistem pengajaran agama yang murni. Sebagaimana tidak menerapkan pengajaran ilmu nonagama dengan dosis tinggi. Secara ringkas dapat dibahasakan antara ilmu agama dan nonagama di sana seimbang.

Dari ruang longgar seperti itu, Anda mungkin bisa menerka-nerka bagaimana sastra dapat tumbuh. Benar, memang dari ruang celah itulah perhatian terhadap sastra muncul. Beda ceritanya dengan pesantren tempat teman saya melarungkan nasib, yang membaca novel khas remaja puber saja dilarang keras. Anda tidak salah baca. Di beberapa pesantren membaca buku yang diklaim tidak ada kaitannya dengan agama adalah hal tabu dan naif.

Beruntunglah saya tidak di situ, tidak di pesantren yang dilanda alergi terhadap bacaan-bacaan nonagama. Sehingga, bisa menikmati apapaun—termasuk di dalamnya menikmati bacaan sastra—adalah hal yang patut disyukuri. Selama empat tahun di pesantren, tidak pernah saya dapat sekali saja pengurus membakar novel milik santri. Kecuali hanya membakar surat-surat cinta, yang mana surat itu juga erat kaitannya dengan iklim sastra pesantren. Sangat erat bahkan.

Sekali lagi Anda tidak salah baca. Kaitan antara surat cinta dan dinamika sastra di pesantren memang cukup erat. Layaknya remaja pada umumnya, sengaja atau tidak, santri juga bisa kasmaran. Sekat antara santri putra dan santri putri tidak pernah bisa menghalangi afeksi. Kasmaran tidak bisa dibendung apapun, tembok yang tinggi dan tebal sekalipun. Sedangkan, satu-satunya cara untuk mencurahkann adalah dengan bersurat. Ihwal bagaiman surat itu tersampaikan, saya pikir itu tidak penting dijelaskan di sini. Motif utamanya tidak lain adalah bersurat untuk santri sebelah, santri putra untuk santri putri begitu juga sebaliknya.

Akibatnya seorang teman rela menggelontorkan sedikit duitnya untuk membeli buku-buku yang dinilai nyastra. Salah satu buku yang masih terngiang-ngiang di kepala berjudul Catatan Pendek untuk Cinta yang Panjang. Ya, benar penulisnya tidak salah lagi adalah Boy Candra—junjungan para muda-mudi.

Menariknya, di setiap paragraf yang terdapat kalimat romantis justru digaris bawahi olehnya. Kalau sedang tidak dirundung malas, teman saya itu berkenan untuk mencatatnya di buku. Anda bisa menyanggah bahwa buku Boy Candra itu tidak ada nilai sastrawinya. Hal yang patut diingat, bahwa perlakuan seperti itu tidak hanya belaku bagi buku tersebut. Bahkan, Hujan Bulan Juni dan Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?-nya Sapardi juga mengalami nasib serupa.

Selanjutnya, dapat kita analisa secara simplistis bahwa potongan-potongan ungkapan romantis itu adalah bahan mentah surat-menyurat. Hanya dengan cara demikian, surat yang kemudian dikirimkan dengan berbagai cara itu bisa indah dan menawan di tiap sudutnya. Kadang-kadang lucu dan saya pasti terbahak jika mengingat itu di kamar mandi sewaktu buang air besar.  Mereka—atau lebih tepatnya saya dan teman-teman—adalah orang yang tidak mengerti bagaimana cara cinta bekerja. Sepertinya cinta di saat seperti itu adalah cinta prematur.

Mereka tidak mengerti bahwa cinta hanya kerja zat kimia monoamine. Salah seorang neurologis dari Viejo, California, menyampaikan bahwa cinta dan ungkapan ‘tidak bisa berpisah’ hanya bisa bertahan dua hingga tiga tahun. Zat kimia itu yang membuat orang semacam Juliet rela menenggak racun. Bagi Agnes Powlowski, cinta yang meletup pada akhirnya punya batas. Itulah yang tidak pernah dibaca oleh mereka(oleh saya dahulu) di pesantren. Sisi baiknya, hal seperti itulah yang membuat beberapa santri berkecimpung di dunia sastrawi.

Apakah sastra di pesantren sereceh itu? Saya pikir juga tidak. Beberapa teman santri juga menulis dan membaca sastra dengan serius. Mazhab yang serius ini menolak menggunakan bacaan-bacaan sastra untuk bahan mentah bersurat. Kemungkinannya bisa dua: antara ia memang serius berkecimpung di sastra atau memang tidak ada sasaran tembak. Sebagai usaha berbaik sangka, maka kita pilih alternatif pertama, bahwa ia memang bersungguh-sungguh. Dengan gambaran seperti itu, maka jelas sastra di pesantren punya beberapa wajah.

Menariknya, apapun motif kedekatan mereka pada sastra pada akhirnya juga berujung di titik positif. Seminim-minimnya, mereka tidak punya jarak dengan sastra dan sastra sendiri mengakar di pesantren—lebih tepatnya pesantren saya. Seperti yang saya ungkpankan di atas, tidak semua pesantren demikian dan mungkin hanya segelintir saja. Saya adalah bagian di dalamnya, saya pernah menjalaninya.(**)

Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh
Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Menulis di berbagai media cetak dan daring. Sekarang berdomisili di Sleman, Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.