Selasa, April 30, 2024

Santri, Gus Dur, Kiai, dan Hukum

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Masyarakat biasa, pernah ngadem di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, tapi sekarang berdomisili di Tulungagung.

Berawal dari pertemuan disebuah warung kopi, saya bertemu dengan salah seorang teman. Dia bercerita tentang kegelisahan yang dihadapinya. Dia berprofesi sebagai guru di pondok pesantren. Maklumlah, kehidupan pondok pesantren ada aturan-aturan yang harus ditaati.

Aturan-aturan itu sebagai pedoman selama hidup dalam lingkungan pondok pesantren. Jika berada di luar lingkungan pondok pesantren, aturan-aturannya tidak berlaku lagi. Tapi bisa jadi aturan-aturan tersebut menjadi kebiasaan para santri ketika berada di luar pondok pesantren. Misalnya memilih menggunakan sarung dari pada celana jeans.

Salah satu aturan yang berada di dalam pondok pesantren tempat teman saya mengajar yakni para santri tidak boleh membawa alat komunikasi berupa handphone. Alasan menidakbolehkannya karena alat itu akan merusak konsentrasi dan menyita waktu belajar santri. Misalnya saat ngaji kitab tidak boleh sambil bermain handphone, karena ilmu yang diberikan tidak akan bisa diterimanya dengan baik. Akan tetapi ada sebagian santri yang keras kepala tetap membawa handphone di pondok pesantren.

Uniknya, sepandai-pandainya santri menyembunyikan handphonenya, pasti akan ketahuan sama kyai atau pengurus pondok pesantren. Jika sudah ketahuan maka akan dikenai hukuman. Hukumannya macam-macam, tapi yang pasti handphonenya akan disita oleh pihak pondok pesantren.

Teman saya kebetulan menemukan sebuah handphone milik santri yang sedang diisi baterainya. Teman saya tau pemilik handphonenya. Dia menceritakan bahwa tidak mau memarahi santri yang ketahuan membawa handphone tersebut. Dia melimpahkan handphone dan hukuman kepada yang lainnya.

Saat saya menanyai alasannya, dia mengatakan justru kembali bertanya kenapa di dunia ini harus ada menghukum dan dihukum? Dia melanjutkan bahwa kita itu sama-sama manusia. Artinya antara aku, kamu, dia, dan mereka mempunyai peluang untuk melakukan kesalahan. Tidak elok rasanya ketika ada manusia yang salah dihukum oleh orang yang juga pernah melakukan kesalahan. Toh, nanti kita semua dari yang Maha Kuasa.

Dari penjelasannya, saya kemudian mempertanyakan apakah hukum yang dia anggap masih sebatas kontak fisik dan kekerasan verbal? Kontak fisik maksudnya dengan menjewer telingan, mencubit lengan dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan verbal adalah hukuman dengan ungkapan, biasanya dalam bentuk dimarahi. Dia hanya manggut-manggut saja, dan saya anggap manggut-manggutnya dia pertanda bahwa dia masih mengiyakan anggapan hukuman yang demikian.

Saya kemudian berkata bahwa hukuman tidak sebatas hanya kontak fisik dan kekerasan verbal. Ada bentuk-bentuk hukuman lainnya. Misalnya ada cerita bahwa saat Gus Dur menjadi keamanan pondok mendapati salah satu santri laki-laki yang tidak bisa diatur. Tidak bisa diaturnya ini dalam bentuk suka mengintip santri-santri perempuan.

Lantas Gus Dur menemukan pakaian dalam perempuan yang tersimpan di lemari milik santri laki-laki tersebut. Gus Dur mengadukan kepada kiai dan menghendaki untuk mengusir santri laki-laki ini dari pondok pesantren, karena pelanggaran yang dilakukan telah melewati batas.

Kiai justru bertindak lain, kiai tersebut meng-iya-kan perminataan Gus Dur dikeluarkan dari pondok pesantren namun santri laki-laki tersebut dimasukkan ke rumahnya. Artinya santri laki-laki tersebut menjadi abdi dalemnya kiai. Dan segala yang hendak dikerjakan oleh kiai harus dipersiapkan oleh santri tersebut.

Seperti saat hendak mengaji kitab, maka santri tersebut yang mempersiapkan kitabnya. Ketika hendak sholat sunnah maupun sholat fardhu, santri tersebut yang mempersiapkannya. Akhirnya mau tidak mau, santri tersebut mengikuti pola hidup dari kiai dan tidak ada kesempatan untuk bermain-main apalagi mengintip ke asrama santri perempuan. Ini juga merupakan salah satu bentuk hukuman.

Kemudian ada lagi bentuk hukuman selain itu, yakni ceritanya datang dari salah satu kiai di Tulungagung. Beliau bernama Kiai Jalil, pengasuh pondok pesantren PETA (Pesulukan Thoriqot Agung). Pernah suatu ketika ada seorang yang hobinya sabung ayam. Ayamnya sering mengalami kekalahan ketika bertarung dengan lawan-lawannya. Sehingga orang ini lebih banyak ruginya daripada untungnya. Lantas orang ini mendapat kabar bahwa jika ingin menang, maka ayamnya harus disowankan kepada Kiai Jalil.

Singkat cerita, orang ini memberanikan diri sowan kepada Kiai Jalil dan mengutarakan keinginannya. Kiai Jalil mengamini keinginan dari orang tersebut. Dan benar saja, ayamnya selalu menang dalam persabungan. Hingga tidak ada orang yang berani menyabungkan ayamnya dengan ayam milik orang tersebut. Karena peristiwa itu, orang ini kemudian sadar dari dunia persabungan ayamnya. Lantas sowan kembali kepada Kiai Jalil ingin berhenti dan bertobat. Kiai Jalil hanya tersenyum, dan menerima orang tersebut sebagai salah satu santrinya. Model yang seperti ini juga hukuman.

Bahkan diam pun juga bisa disebut hukuman. Misalnya istri yang sedang marah pada suaminya. Salah satu perbuatan yang dilakukan yakni diam, diajak bicara tidak mau. Ini juga bentuk hukuman. Jadi hukuman-hukuman memiliki model yang beragam. Tinggal bagaimana pandai-pandainya kita menerapkan hukuman yang sesuai dengan kesalahan dan lingkungan sekitar.

Kemudian saya melanjutkan pembicaraan bahwa hukuman itu penting untuk dilaksanakan. Karena tujuannya adalah untuk membuat jera si pelakunya. Selain itu, hukuman juga berguna untuk membuat ketertiban dalam lingkungan disekitar kita. Hukuman juga berguna untuk menegakkan keadilan.

Diakhir pembicaraan, saya mengatakan bahwa hukuman tidak digunakan untuk menghukumi semau kita. Artinya mereka yang tidak sepaham, tidak sejalan dengan apa yang kita hendaki lantas kita menghukum mereka. Jika itu dilakukan, maka istilah salah dan benar, kafir dan tidak kafir, dan istilah-istilah kasar lainnya akan mereduksi fungsi hukum itu sendiri. Sampai disitu teman saya kelihatannya sepakat dengan yang saya katakan. Sebab dia manggut-manggut.

Terakhir, perkembangan hukum berjalan linier dengan perkembangan masyarakat. Artinya jika masyarakat berkembang baik kuantitas dan kualitasnya, maka produk-produk hukum, model-model hukum juga turut berkembang. Misalnya saja dahulu jika mencuri akan dipotong tangannya, tapi apakah sekarang hukuman yang demikian juga harus diterapkan? Kiranya topik tersebut dan topik-topik sejenis menjadi kajian bagi mereka yang bergelut di bidang hukum. Sekian.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Masyarakat biasa, pernah ngadem di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, tapi sekarang berdomisili di Tulungagung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.