Jumat, Mei 23, 2025

Saat Jas, Seragam, dan Gelar Menjadi Topeng

Moch. Fauzan Zarkasi
Moch. Fauzan Zarkasi
a Probation and Parole Officer at Indonesia’s Ministry of Immigration and Corrections, with a Master’s degree in Law from Universitas Hasanuddin. His work focuses on offender reintegration and criminal justice, with a deep interest in criminology, juvenile delinquent, and institutional reform.
- Advertisement -

Malam yang sunyi di RSUP Hasan Sadikin, Bandung, seorang perempuan menjaga ayahnya yang terbaring lemah. Namun justru ia disergap kelemahan lain: tubuhnya dibius, suaranya dibungkam obat-obatan, dan kehormatannya direnggut oleh seseorang yang seharusnya menyelamatkan nyawa. Seorang dokter. Residen muda yang bersumpah melayani kemanusiaan, tapi justru merampas tanpa belas kasihan.

Ini bukan kisah tunggal. Ini bagian dari pola. Di negeri ini, kekerasan seksual tidak lagi mengendap di lorong gelap. Ia menyelinap lewat pintu institusi terhormat: kantor polisi, ruang kuliah, ruang praktik. Belum selesai kita menelan getir atas kasus oknum Kapolres yang melecehkan anak di bawah umur, datang lagi cerita tentang oknum dosen kampus ternama yang mengintimidasi mahasiswinya dengan dalih bimbingan akademik.

Kita pun perlu bertanya: mengapa lembaga-lembaga yang mestinya menjadi benteng kehormatan justru berubah menjadi arena kebejatan?

Dalam kajian kriminologi, kekerasan seksual tidak semata persoalan hasrat seksual, melainkan persoalan kuasa. Michel Foucault, filsuf asal Prancis, pernah menegaskan bahwa “kuasa tidak selalu menindas, tetapi ia selalu memproduksi kenyataan.” Ketika seorang dokter, polisi, atau dosen menyalahgunakan otoritasnya, yang mereka lakukan bukan sekadar tindakan individual, melainkan bentuk dari produksi realitas sosial yang menormalisasi ketimpangan.

Dokter dengan jas putihnya, polisi dengan seragam dan senjata, dosen dengan gelar dan otoritas akademiknya, semua simbol itu bukan hanya penanda profesionalisme, tapi juga instrumen legitimasi. Dalam masyarakat kita, simbol-simbol ini terlalu sering diasosiasikan dengan kebenaran, kepercayaan, bahkan kekebalan moral. Maka ketika mereka melanggar batas, masyarakat pun kerap ragu untuk mengupas tuntas.

Glorifikasi Profesi dan Mitologi Moral 

Profesi-profesi seperti dokter, dosen, dan polisi dalam struktur sosial sering kali ditempatkan di atas singgasana moralitas. Kita diajarkan sejak kecil untuk mempercayai dan menghormati mereka, tanpa mempertanyakan. Namun glorifikasi semacam ini menciptakan mitologi moral yang justru berbahaya: ketika mereka melakukan kekerasan, masyarakat cenderung menyangkal atau malah menyalahkan korban.

Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Paulus Wirutomo menyatakan, “masyarakat Indonesia masih terjebak dalam relasi feodal yang menempatkan profesi tertentu sebagai tak tersentuh. Ini menyulitkan demokratisasi ruang keadilan.” Maka, tugas kita bukan hanya mengecam pelaku, tapi juga mendekonstruksi glorifikasi profesi yang menciptakan ruang kekuasaan absolut.

Kita harus mulai menanggalkan anggapan bahwa profesi-profesi tertentu identik dengan kesucian moral. Karena dalam kenyataannya, tidak ada jubah, gelar, atau seragam yang cukup sakral untuk membungkus kekerasan. Hanya dengan membuka ruang kritik, transparansi, dan kesetaraan, kita bisa menjebol mitos kekebalan dan menegakkan keadilan sejati.

Gagasan Reformasi: Dari Reaktif ke Preventif

Kita perlu reformasi, bukan hanya pada prosedur, tapi pada paradigma. Pertama, setiap institusi harus memiliki satuan tugas independen untuk menangani kekerasan seksual, bukan serupa unit yang berada di bawah otoritas pimpinan yang sama. Kedua, mekanisme whistleblower protection harus dijamin secara hukum dan disosialisasikan secara luas. Ketiga, pendidikan kesadaran gender dan etika profesional harus dijadikan kurikulum wajib sejak masa pendidikan awal profesi.

Di luar reformasi teknis, kita butuh perubahan sikap kolektif: menggeser budaya menyalahkan korban menjadi budaya melindungi yang rentan. Mengubah narasi dari sekadar reaksi terhadap skandal, menjadi investasi sosial untuk pencegahan. Karena hanya sistem yang berpihak sejak awal yang mampu memutus siklus kekerasan.

- Advertisement -

Dan yang harus terpahami, institusi tidak pernah netral. Ia bisa menjadi alat pembebasan, atau menjadi tempat penindasan. Ketika lembaga-lembaga yang menyandang predikat kehormatan mulai menunjukkan retakan melalui tindakan kebejatan, maka yang perlu kita selamatkan bukan hanya korban, tapi juga nilai-nilai luhur yang menjadi basis awal saat lembaga itu dilahirkan.

Reformasi tidak akan berarti jika kita masih mendewakan profesi tanpa kritik, menutup telinga atas bisikan korban, dan membiarkan kekuasaan berjalan tanpa kendali etika.

Karena kehormatan sejati bukan terletak pada gelar, jas, atau seragam, melainkan pada kekuatan pengendalian diri, walau memiliki kuasa untuk menyakiti.

Moch. Fauzan Zarkasi
Moch. Fauzan Zarkasi
a Probation and Parole Officer at Indonesia’s Ministry of Immigration and Corrections, with a Master’s degree in Law from Universitas Hasanuddin. His work focuses on offender reintegration and criminal justice, with a deep interest in criminology, juvenile delinquent, and institutional reform.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.