Minggu, Desember 8, 2024

Skandal Pelecehan Seksual Robert Doyle

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
- Advertisement -

Di berbagai negara, para pejabat publik dan orang-orang besar yang terkenal ternyata tidak sedikit yang menjadi pelaku pelecehan seksual. Di Australia, misalnya, Wali Kota Melbourne, Robert Doyle, dilaporkan media massa baru saja mengundurkan diri setelah dihantam terpaan skandal yang menyebut bahwa dirinya telah melakukan pelecehan seksual.

Pria berusia 64 tahun yang telah tiga kali terpilih sebagai Wali Kota Melbourne itu dituduh paling-tidak telah melakukan pelecehan seksual terhadap tiga perempuan, termasuk sebuah tuduhan yang menyebut bahwa dirinya pernah menyentuh payudara rekan kerjanya. Meski Doyle bersikeras dan berulang kali menyangkal tuduhan itu, per Desember 2017 lalu dia memutuskan untuk cuti setelah ada anggota dewan kota, Tessa Sullivan, yang menuduh Doyle meraba-raba dirinya dan membuat komentar yang tidak pantas.

Sementara itu, di Amerika Serikat, siapa yang tak kenal Donald Trump, yang dikenal suka mencuit ucapan yang kontroversional. Presiden AS yang sering menjadi objek kritikan di dunia maya ini kini juga tengah dihadapkan pada kasus pelecehan seksual. Sedikitnya 16 perempuan mengaku pernah dilecehkan Trump. Sejumlah perempuan melaporkan bahwa mereka pernah menjadi korban tindakan buruk Trump, mulai dicium paksa, diintip, hingga digerayangi.

Mencuatnya kasus yang melibatkan orang nomor satu di Kota Melbourne dan Amerika ini tentu tidak lepas dari kepentingan dan muatan politik. Tetapi, terlepas dari kemungkinan ada-tidaknya indikasi kepentingan politik di balik kasus ulah pejabat negera yang terlibat praktik pelecehan seksual, yang pasti kelakuan tidak pantas pejabat publik yang merendahkan derajat perempuan itu patut dikecam dan diproses menurut hukum yang berlaku.

Di berbagai negara maju, keterlibatan para pejabat dalam tindak pelecehan seksual sebetulnya bukan isu baru. Sebelum kasus Walikota Melbourne  terbongkar di media massa, kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Trump jauh-jauh hari telah mencuat ke permukaan.

Tuduhan bahwa Trump pernah terlibat dalam kasus pelecehan seksual telah lama muncul, terutama sejak Trump mulai ikut dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 2016. Tuduhan tersebut berawal saat sebuah video percakapan vulgar Trump dengan salah satu presenter AS pada tahun 2015 terbongkar. Meski Trump kemudian mengklarifikasi dan meminta maaf atas percakapannya yang vulgar itu, Trump mengakui bahwa perbincangan itu hanyalah bagian dari percakapan pribadi yang hanya sambil-lalu dilakukan.

Berbeda dengan kasus perselingkuhan sebagaimana pernah dilakukan Presiden AS lain, seperti Bill Clinton, John F Kennedy, dan sejumlah pejabat elite AS lain, masyarakat AS cenderung menerimanya sebagai problema yang sifatnya personal. Namun, jika tuduhan sejumlah perempuan yang katanya mengaku pernah menjadi korban tindak pelecehan seksual itu benar, maka yang dilakukan Trump tentu tidak sekadar dimaklumi–apalagi dilupakan dan dibiarkan menguap begitu saja seperti bau kentut.

Perselingkuhan adalah relasi seksual yang dilakukan atas suka sama suka, dan di sana tidak terjadi pemaksaan yang berbasis pada kekuasaan. Tetapi, yang disebut pelecehan seksual adalah tindakan pemaksaan, secara terang-terangan maupun hanya tersirat, yang terjadi karena ada satu pihak yang tersubordinasi oleh pihak lain.

Seseorang entah karena kekuasaan, kekayaan, dan sumber daya lain kemudian ditempatkan dalam posisi yang dominan atau superior, dan dengan latar belakang kelebihannya itu kemudian melakukan tindakan seksual tanpa persetujuan korban, maka di situlah telah terjadi pelecehan seksual.

Seorang sutradara film terkenal yang memiliki kekuasaan untuk memilih artis mana yang membintangi filmnya, dan artis mana yang tidak, ketika tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aksi mencium, meraba, apalagi memaksa melakukan hubungan seksual, maka bisa dipastikan hal itu adalah tindakan pelecehan seksual. Dan itu jelas merugikan perempuan.

- Advertisement -

Demikian pula orang yang berkuasa, tersohor, dan memiliki posisi menentukan karir orang lain. Ketika ia memaksakan kehendak mencium perempuan yang tersubordinasi, memegang pantatnya, meremas payudaranya, apalagi mengirim sinyal-sinyal meminta melakukan hubungan seksual, maka hal itu pada dasarnya adalah tindakan pemerkosaan terselubung yang memanfatakan ketidakberdayaan korban.

Michael Rubenstein (1992) menyatakan, yang dimaksud pelecehan seksual adalah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung si penerima. Persamaan antara pelecehan dan perkosaan adalah keduanya sebetulnya sama-sama tidak diiinginkan oleh perempuan yang menjadi korban, namun acapkali kaum perempuan tak bisa berbuat apa-apa. Kenapa? Sebab, di sana terdapat dan sedang berlaku nilai atau kontruksi sosial  masyarakat yang seolah-olah membenarkan peristiwa di atas atau minimal menuntut korban untuk selalu bersikap pasrah.

Pelecehan seksual dari kacamata sosiologis bukanlah sekadar sebuah peristiwa pidana atau peristiwa amoral yang tidak seharusnya dilakukan oleh politisi yang bermartabat. Untuk memahami secara baik faktor penyebab dan dampak pelecehan seksual terhadap perempuan, masalah tersebut harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas, artinya posisi kaum perempuan dan perilakunya secara sosial didefinisikan dan dikontrol.

Tindak pelecehan seksual sesungguhnya tidak cukup hanya dikatakan sebagai ekspresi dari kepribadian dan napsu laki-laki bejat yang berpikiran kotor, melainkan karena di sana ada pihak yang  merasa lebih kuat dan berkuasa tehadap pihak lainnya, yakni kaum perempuan.

Jalur Hukum

Democratic Women’s Working Group (DWWG) dan sejumlah kalangan telah menyatakan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran dan menentukan siapa yang benar dan siapa pula yang salah. Artinya, untuk mematahkan apakah tuduhan sejumlah perempuan itu hanya khayalan atau karena ada motivasi politik di balik jeritan mereka, ada baiknya kalau para pejabat yang merasa namanya dicemarkan media segera menempuh jalur hukum.

Mencari jalan keluar dan menyelesaikan tuduhan pelecehan seksual benar atau tidak, idealnya yang dilakukan para pejabat adalah menggugat balik kepada orang-orang yang dia nilai telah mencemarkan nama baiknya. Untuk itu, dia harus memperlihatkan bukti untuk membantah bahwa telah terjadi pelecehan seksual.

Sebagai negara yang menjunjung hukum, tindakan pelecehan seksual, baik itu dilakukan Wali Kota Melbourne, produser film Hollywood yang terkenal, anggota Kongres, bahkan presiden sekalipun, harus memperoleh perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Ketika tuduhan terhadap Robert Doyle dan Donald Trump telah berkembang sedemikian luas, tidak ada lain jalan keluar yang menjadi pilihan mereka kecuali menjalani proses persidangan. Di persidangan mereka harus saling beradu bukti siapa yang sebetulnya salah dan siapa pula yang patut dipulihkan nama baiknya jika memang tidak terbukti melakukan hal sebagaimana dituduhkan.

Jika dalam proses hukum kelak mereka terbukti bersalah dan diyakini telah melakukan praktik pelecehan seksual yang merendahkan martabet perempuan, tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali mengundurkan diri dan menerima sanksi hukum maupun sanksi sosial dari masyarakat global.

Kolom terkait:

Bersama Mengutuk Perawat Cabul

Tokoh Agama dalam Kasus Kriminal: Kardinal Pell dan Rizieq Shihab

Australia Darurat Pelecehan Seksual Anak

Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual oleh Oknum Polisi

Hari Santri: Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.