Kamis, November 7, 2024

Reformasi, Gus Dur dan Bank

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
- Advertisement -

Tahun 1998 merupakan tahun yang pilu. Tahun itu menandakan beralihnya orde baru ke pangkuan reformasi. Tahun-tahun peralihan ke reformasi tersirat banyak letupan. Cek-cok antar suku, harga kebutuhan pokok yang semakin naik, dan masa berwajah garang dan lusuh mempertanyakan nasibnya di setiap kota persis setelah Soeharto mundur.

Mundurnya Soeharto bagi beberapa kelompok sebagai angin segar untuk mewujudkan situasi bangsa yang lebih demokratis. Di sela-sela tempik ria menyambut reformasi, anak bangsa menghadapi cobaan aral melintang. Adalah harga kebutuhan pokok jadi mahal dan sektor perbankan yang ambruk satu persatu. Kondisi tersebut membuat situasi semakin muram.

Dua ikonik terekam dalam sejarah republik. Presiden Soeharto yang sedang menandatangani kontrak hutang dan prosesi pengunduran diri sebagai presiden dengan memasang air muka masam. Syahdan, republik di masa orde baru yang sempat dijuluki ‘The Asia Miracle’ dan macan asia runtuh setelah badai besar krisis moneter sejak 1997 menggilasnya.

Orde baru sempat mencecap manis keberhasilannya pada 1990-an. Keberhasilan dalam sektor perekonomian di sokong oleh aset permodalan dari swasta. Pada 1989-1990 republik sempat mencicipi kucuran deras investasi (boom investation). Meski kucuran deras itu sempat mengguyur republik sehingga berimbas pada pendapatan negara, di samping sisi menciptakan buah simalakama yang malah menyebabkan masalah.

Sumber: Majalah Tempo

Permasalahannya ialah kurang jelinya pemegang kebijakan waktu tidak menggunakan mekanisme hedging. Adalah melindungi nilai rupiah atas gencarnya nilai mata uang asing. Winarno Zain dalam Mencari Hutang Luar Negeri (Tempo, 19 September 1992) sempat memperingatkan kebijakan yang tidak mempertimbangkan mekanisme untuk melindungi nilai rupiah di tengah aras besar ekonomi.

Situasi kebijakan ekonomi yang kurang menilik untuk melindungi mata uang rupiah terhadap dollar, alhasil menjadi bom waktu dalam sektor ekonomi di Asia khususnya Indonesia. Krisis moneter Indonesia dimulai pada 1997. Mula buka pada awal Februari Thailand dengan mata uang baht terperosok terhadap mata dolar Amerika. Krisis moneter itu seperti flu yang mudah sekali menular. Syahdan, krisis itu menjangkit beberapa negara-negara di Asia. Konon, pengaruh George Soros juga turut mempengaruhi dalam krisis 1997.

Nilai rupiah terhadap dollar Amerika terus merosok. Bank-bank sulit mendapatkan likuiditasnya, terutama bagi bank-bank yang memiliki kontak dengan nilai tukar asing yang tidak dibekali dengan mekanisme hedging (lindung nilai), mudah sekali terjangkit krisis. Pada Agustus 1997, bank-bank di Indonesia mulai sekarat. Rentang dua bulan, di bawah kendali menteri keuangan Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedrajad Djiwandono mengumumkan 16 belas bank yang bermasalah.

Masyarakat republik panik bukan main. Mereka ramai-ramai menarik uang yang ada di rekening bank karena kehilangan kepercayaan bank yang waktu itu acap kali memasang wajah pucat.

Kendati bank merupakan salah satu pijakan perekonomian. Syahdan, dana deposito yang terhimpun di bank, digunakan untuk menggerakan perekonomian, seperti pinjaman dana untuk pembuatan usaha, dsb menjadi terhambat. Bank-bank kekurangan debet, pemerintah alhasil mengerahkan beberapa cara antara lain; meminta kucuran dana International Monetary Fund (IMF) yang nantinya menjadi Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) guna membuat sehat kembali bank-bank yang terimbas krisis.

- Advertisement -

Kucuran dana BLBI menjadi catatan merah atas perbankan Indonesia. Sejak dicetuskan pada 31 Maret 1998, yang di mana untuk mengucurkan dana kepada bank-bank malah berubah menjadi sekelumit pelik dalam perbankan. Dalam proses pengucuran dananya tersirat kegagalan dalam proses mengembalikannya.

Waktu itu, presiden Habibie sebagai presiden pengganti Soeharto sempat dibuat murka. “Saya ingin uang rakyat itu dibayar tunai, dalam tempo setahun. Jika tidak mereka akan diseret ke pengadilan. Kalau perlu dihukum mati.” (Tempo, 09 November 1998, Hlm 69).

Di samping ikhtiar untuk membikin perbankan kembali sehat, pada tahun 1999 pemerintah dengan sedikit berputus asa mengetuk palu agar kepemilikan saham perbankan, asing bisa masuk untuk merengkuhnya sebesar 99%. Syahdan, kebijakan ini melahirkan letupan-letupan demonstrasi.

Ketakuatan para demonstran persis seperti yang tersirat Vedi R Hadiz dalam Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto (LP3ES, 2005). Menurutnya, menjulurkan tangan melalui bantuan modal asing secara total dapat mengarahkan republik kepada ‘neoinstitusionalisme’ yang riskan sekali republik terhimpit oleh seabrek kepentingan pemodal di belakangnya.

Gus Dur dan Perbankan

Gus Dur itu seorang yang generalis. Apa pun bisa digagas Gus Dur. Mulai dari penilik film dan sastra sampai urusan ekonomi bahkan politik. Kepiawaian Gus Dur dalam pelbagai hal ini, beberapa kalangan menganggapnya punya ilmu di atas manusia galibnya. Meski terkesan hiperbolis, Gus Dur panggilan akrab dari Abdurrahman Wahid, punya catatan khusus dalam perbankan Indonesia.

Jabatan periode kedua Gus Dur ditunjuk kembali sebagai Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) (1989), di tengah-tengah kesibukannya mengayomi umat, ia berkecimpung di sektor perbankan. Pada tahun 1990 ia bekerja sama dengan Edward Soeryadjaja sebagai pimilik Bank Summa dan Group Jawa Pos mendirikan Badan Perkreditan Rakyat (BPR) Nusumma. Pada tahun 1992, ketika Bank Summa dilikuidasi oleh pemerintah Indonesia, NU diajak gus dur untuk melek dalam dunia perbankan.

Pada medio 1999 perbankan masih lesu. Beberapa bank terdampak rush kelimpungan satu persatu. Gus Dur panggilan akrab Abdurrahman Wahid sambil menepuk-nepuk kedua tangannya, memutuskan untuk berkontribusi untuk menyegarkan kembali perbankan yang lesu.

Dalam majalah Gatra (20 Februari 1999) merekam langkah Gus Dur dalam perbankan. Langkah Gus Dur beberapa pakar ekonomi memandang, bahwa ia cukup nekat lantaran perbankan waktu itu terbilang cukup remang-remang di antara krisis yang tek menentu. “Untuk mengembalikan citra perbankan nasional kepada dunia luar, perlu ada tindakan nyata.” Tukas Gus Dur (Gatra, 20 Februari 1999).

Melalui PT. Adhikarya Sejati Abadi, Gus Dur menjadi presiden komisaris. Tak tanggung-tanggung, ia merangsek ke bursa saham untuk membeli saham Ficorinvest sebesar 19% dengan total harga Rp. 53,2 Milyar. Keputusan Gus Dur untuk membeli Ficorinvest tak lain hanya ingin berkontribusi memperbaiki perbankan yang sedang lesu. Syahdan, perbankan yang pernah dirundung masalah saat mula buka reformasi, Gus Dur pernah berkontribusi untuk memperbaikinya walaupun banyak dicibir.

Nasi sudah menjadi bubur. Yang silam sudah lewat, kita hanya bisa mengenang agar tak kembali terjerembab di kubangan yang sama. Republik Indonesia sudah merasakan paitnya dihantam krisis ekonomi. Melalui guratan catatan yang ada, kita bisa merabanya agar tak mengulanginya kembali. Sekian.

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.