Jumat, April 19, 2024

Gus Dur, Gusmen, dan Ancaman Kekerasan

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pasca tindak kekerasan atas Ade Armando, Novel Bamukmin (mantan aktivis FPI dan kini pengurus PA 212) mengeskpresikan kepuasannya sebagaimana tercermin dalam tanggapan-tanggapan yang dia berikan di media massa.

Tidak hanya sampai di situ, Bamukmin bahkan menyampaikan semacam ancaman pada sejumlah nama dalam hal ini termasuk pada Menteri Agama, Yaqut Cholil Qaumas (Gusmen). Bamukmin mengancam bahwa Gusmen akan mengalami apa yang sudah dialami oleh Ade Armando. Jika kita mau jujur, apa yang dilontarkan oleh Bamukmin pada dasarnya sudah merupakan bentuk ancaman atau dalam bahasa “mereka yang mengutuk kekerasan pada Ade Armando dengan embel-embel” menyebutnya dengan istilah kekerasan verbal.

Meskipun Anshor Maja sudah membalas pernyataan Bamukmin dengan pernyataan yang setimpal, namun saya yakin pihak Anshor tidak akan melakukan pengeroyokan dan penyerangan pada Novel Bamukmin, jika mereka ketemu. Saya yakin Gusmen juga tidak tertarik menanggapi ancaman –kekerasan verbal—tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh para pengeroyok Ade Armando. Gusmen sudah terbiasa dengan masalah-masalah seperti ini. Sebagai pimpinan organisasi kepemudaan Ansor yang memang memiliki misi untuk menegakkan keislaman yang toleran dan harmonis, ancaman seperti itu sudah bukan perkara asing.

Bahkan secara umum, kalangan nahdliyyin sudah terbiasa menghadapi perihal seperti ini. NU dan underbow-nya sudah banyak makan asam garam cara menanggapi “kekerasan verbal” sebagaimana yang dilontarkan Bamukmin dan yang lainnya. NU sudah banyak belajar dari kejadian masa lalu bahwa kekerasan itu tidak begitu berguna.

Bahkan Gus Dur pernah meminta maaf pada korban kekerasan G 30 S PKI karena Gus Dur merasa bahwa underbow NU pernah terlibat dalam tindak kekerasan yang dialami oleh PKI pada tahun 1965. Meskipun Gus Dur dikecam banyak kyai NU atas inisiatif ini, namun dia tetap saja melontarkan gagasan minta maaf itu.

Apa yang dilakukan Gus Dur ini nampaknya kini sudah mulai menjadi tradisi di lingkungan nahldiyyin.

Masih ingatkan Rizieq Shihab yang pernah menghina fisik Gus Dur? Bahkan hinaan itu mungkin sudah masuk kategori kekerasan verbal dan sekaligus hate speech pada diri Gus Dur. Hal ini tidak hanya dilakukan dalam dalam satu kesempatan saja pada Gus Dur, tapi Rizieq berulang-ulang kali menunjukkan sikap permusuhan pada Gus Dur di ruang publik. Atas pernyataan ini, NU seluruh Indonesia bergerak mencari Rizieq. Rizieq dalam hal ini tidak disentuh apalagi ditempeleng apalagi diinjek-injek oleh pendukung Gus Dur. Para pendukung Gus Dur –kalangan nahdliyyin– kala itu hanya mencegah Rizieq Shihab untuk keluar dan jika ketemu di jalan diminta urungkan perjalanannya.

Apakah Gus Dur senang dibela seperti ini? Sama sekali tidak. Gus Dur tidak senang pengikutnya menghadang orang yang menghinanya, padahal sama sekali tidak ada tindak kekerasan fisik pada Rizieq Shihab karena hanya dihadang saja setiap Rizieq akan bergerak. Gus Dur tidak senang karena penghadangan itu bisa menjurus pada kekerasan fisik. Di sini, Gus Dur, pihak yang dihina dan dilecehkan, tidak bisa memaklumi tindakan kekerasan pada pihak yang menghina dan melecehkannya. Sebuah sikap anti kekerasan tanpa embel-embel. Gus Dur pengikut Rasulullah sejati dalam hal ini.

Kenapa kita semua tidak bisa meniru sikap Gus Dur dalam menghadapi orang yang berulang-ulang menyakitinya? Apa juga kita ingin katakan bahwa kebencian Rizieq pada Gus Dur itu karena Gus Dur melakukan kekerasan verbal pada Rizieq Shihab sehingga Rizieq Shihab membalas ini dengan mengolok-ngolok Gus Dur. Kira-kira-kira logika seperti inikah yang dipakai? Jika logika ini dipakai semua penyeru pembaharuan Islam atau mereka yang berpendapat secara kritis pada fenomena radikalisme, ekstremisme dan intoleransi keagamaan akan dianggap melakukan kekerasan verbal karena karena pasti seruan mereka itu akan disikapi negatif dan tidak diterima.

Masih ingatkah kita bagaimana sikap kalangan konservatif pada upaya penyegaran dan pembaharuan Gus Dur, Cak Nur dan lain sebagainya? Mereka (kaum pembenci pemikiran Islam yang progresif dan moderat ini) masukkan Gus Dur, Cak Nur, ulama seperti Quraish Shihab, Masdar F. Masudi dan masih banyak lagi ke dalam gerombolan liberal bahkan sesat. Pada masa itu muncul pamphlet, buku-buku dan media lainnya yang menyebarkan daftar-nama-nama besar ulama dan cendekiawan yang mempelopori pembaharuan Islam sebagai pemikir sesat dan liberal.

Ucapan sepahit apapun baik itu mereka definisikan sebagai kekerasan verbal maupun ujaran kebencian tetap tidak layak untuk membalasnya dengan kekerasan fisik. Mari kita belajar pada sikap Gus Dur, Cak Nur, ustadz Quraish Shihab dan para bijak lainnya.

Kembali lagi, meskipun Gusmen diancam Novel Bamukmin secara terbuka, saya mengira bahwa Gus Men tidak akan menanggapi masalah ini. Jika ada reaksi dari salah satu cabang Ansor atau Banser saya kira mereka tidak akan mendatangi Novel Bamukmin karena mereka tahu bahwa kekerasan bukan balasan yang harus dilakukan oleh mereka pada diri Novel Bamukmin.

Novel Bamukmin dan teman-teman yang sering melontarkan ancaman pada Gusmen itu pada dasarnya sering gagal memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Gusmen saat ini bukan perkara personal Gusmen. Jika Gus Men membuat kebijakan-kebijakan yang dipandang oleh Bamukmin dan kawan-kawan menyakiti umat Islam itu merupakan penilaian yang “kurang gaul” dan sepihak. Pada hematnya, banyak umat Islam yang mendukung kebijakan Gusmen.

Sebagai Menteri Agama negara yang memiliki tanggungjawab menjalankan kebijakan negara yang berkaitan dengan agama-agama, Gusmen membuat kebijakan yang sesuai dengan bagaimana negara harus memperlakukan agama-agama. Dalam hal ini sudah barang tentu Gusmen berada pada posisi netral, posisi semua agama, karena posisinya mewakili negara. Mengambil posisi demikian ini karena konsep kementerian agama kita memang bukan konsep kementerian agama Islam. Konstruksi yang demikian ini diambil agar ada tindakan diskriminatif dan tidak adil pada agama-agama. Jika demikian halnya, asumsi memusuhi umat Islam itu konstruksi yang diciptakan oleh Novel Bamukmin dan kawan-kawannya.

Sebagai catatan, masyarakat harus terbiasa menerima cara pandang yang berbeda, meskipun cara pandang itu terkadang diekspresikan lewat bahasa yang tajam dan menghujam. Balaslah perkataan dengan perkataan, jangan balas perkataan dengan perbuatan dan tindakan kekerasan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.