Kamis, Maret 28, 2024

Refleksi Gerakan Mahasiswa: Arak-arakan Saja Tidak Cukup

Ali Fikri Hamdhani
Ali Fikri Hamdhani
Mahasiswa aktif fakultas hukum Universitas Islam Malang

Mahasiswa sebagai kelompok gerakan, seringkali menjadi bahan bualan ketika dihadapkan pada persoalan yang krusial, yakni bagaimana ketika konfrontasi dengan kekuasaan. Disisi lain harus diakui bahwa dalam fakta sejarah gerakan Indonesia, aksi mahasiswa mampu membangun mobilisasi yang turut menyumbang pergesaran kekuasaan, Orde Baru ke Reformasi.

Namun aksi gerakan kala itu meninggalkan kesan seolah mahasiswa menjadi satu-satunya ujung tombak gerakan, sehingga ingatan tentang gerakan 1998 semacam hanya ada satu gerakan, yakni dari mahasiswa. Yang tak banyak disorot dalam glorifikasi gerakan mahasiswa 98 justru mengidap masalah fundamental, adalah sikap politik gerakan, Max Lane menyebutnya sebagai masalah kesadaran.

Gerakan mahasiswa 98 hanya melihat rezim otoritarian semata-mata hanya bersandar pada hasil kebijakan elit, soeharto dan kroni-kroninya. Pilihan sikap gerakan tersebut mengaburkan bangunan struktur kapitalisme yang mempengaruhi pilihan kebijakan elit ekonom-politik Orde Baru. Sehingga tidak cukup hanya dengan menghilangkan sosok Soeharto atau diganti dengan elit yang lain. Terbukti, era reformasi nampaknya tak membawa banyak perubahan yang signifikan. Tulisan ini hendak -sedikit- mengurai problem kegagalan gerakan mahasiswa masa lalu dalam memanfaatkan momentum, sekaligus sebagai upaya refleksi untuk membangun kebangkitan gerakan aksi massa dan mobilisasi politik.

Jinaknya Gerakan Mahasiswa

Sejak awal mahasiswa tidak secara alami menjadi entitas perkumpulan atau kelompok gerakan perlawanan, mereka mesti dipengaruhi oleh dinamika dan politik kekuasaan yang ada. Pada masa Orde Baru, setelah gerakan Kontra-Revolusi dilakukan dengan proses pembantaian massal terhadap gerakan kiri dan kelompok revolusi nasional, mereka kemudian mulai menerapkan kebijakan untuk merestrukturisasi ekonomi-politik, untuk secara permanen mengakhiri segala bentuk keterbukaan mobilisasi politik.

Model kebijakan inilah yang secara luas menghadirkan arsitek format politik baru yang dibangun oleh jendral Ali Murtopo melalui konsep floating mass (massa mengambang) pada tahun 1972 untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu politik ke dalam usaha proses pembangunan. Dalam perguruan tinggi, siasat tersebut dapat dilacak dengan adanya kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), sebagai upaya kekuasaan menjinakkan gerakan mahasiswa, mereka dilarang terlibat dalam aksi-aksi politik.

Orde Baru dari awal sebetulnya sadar bahwa usaha teror dan penindasan terhadap gerakan dan gagasan kiri tidaklah cukup, justru yang menjadi ancaman terbesar bagi Orde Baru adalah ingatan tentang apa yang dahulu pernah dicapai melalui revolusi nasional dan aksi massa oleh kelas popular (rakyat, buruh, petani, dll). Maka upaya lain adalah menghapus ingatan tentang revolusi nasional. Hal ini bagi Orde Baru merupakan proyek besar dalam usaha kontra-revolusi atau yang selalu disebut sebagai upaya “penstabilan” dengan mengontrol ingatan kolektif dan kooptasi gerakan.

Usaha rezim nampaknya berbuah manis, gerakan mahasiswa terbawa dalam jebakan heroisme golongan, kondisi ini sangat kentara pada tahun 1965 hingga 1970 yang berakibat pada konflik dengan saling mengeklaim gerakan. Di tahun tersebut yang paling menonjol adalah kelompok Angkatan 66 yang mendefinisikan dirinya sebagai satu-satunya “gerakan mahasiswa”. Gerakan ini terdiri dari kelompok mahasiswa anti-kiri, kelompok ini dipimpin oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terorganisir sebagai partner Angkatan Darat dalam menentang Orde lama dan membangun Orde Baru.

Gerakan KAMI ini menggunakan metode dengan cara-cara lama, seperti mobilisasi, arak-arakan, pawai, demonstrasi, sebar poster, konferensi pers, hingga membangun forum melalui diskusi publik, yang paling menonjol dari gerakan ini berupa pamer secara kuantitas aksi massa. Namun paradoksnya gerakan ini sebatas menamakan dirinya sebagai gerakan “kekuatan moral”, tak mau terlibat langsung dengan urusan politik kekuasaan. Itu sebabnya Orde Baru mentolerir aksi mobilisasi yang kerap dilakukannya, karena mereka tidak mempunyai ancaman yang signifikan bagi berjalannya status quo kekuasaan Orde Baru

Mereka hanya dianggap segerombolan kelompok tukang arakan dijalan, teriak-teriak pamer simbolis mitos slogan kemahasiswaan (agen of change, agent of control, dsb). Kelompok gerakan protes ini biasanya bersifat non-permanen (ad hoc), parsial dan reaktif, selepas aksi telah dilakukan massa membubarkan diri dan kembali ke tempatnya masing-masing (rumah, kosan, kontrakan, asrama, dll).

Urgensi Posisi Ideologis

Kecenderungan pola gerakan mahasiswa ini berulang-ulang terus dilakukan. Dilain sisi mereka tidak mempunyai daya tawar politik yang kuat, pada saat yang sama justru mereka membuat kesalahan startegi lainnya, yakni terpisah dari kekuatan rakyat (gerakan tunggal).

Berbeda dengan kelompok gerakan di tahun 1920-an, secara jelas lebih unggul baik secara posisi ideologis maupun sikap strategi pilihan politik untuk merespon kondisi ketertindasan. Biasnya posisi ideologis ini merupakan kelemahan terburuk dalam gerakan mahasiswa, sehingga tidak mempunyai tindakan berdasarkan kerangka proses idelogis yang jelas. Selain itu, dipersulit dengan pola organisasi massa yang cenderung fragmentasi dan berjalan tidak seirama.

Belajar dari gerakan negara lain, di Amerika latin semisal. Gerakan mahasiswa Amerika latin mempunyai peran sangat penting dalam konstelasi kekuasaan. Aksi yang dilakukan dengan diawali adanya ekspresi politik melalui manifesto Cordoba di Argentina tahun 1918, manifesto Cordoba tersebut secara konsisten digunakan oleh mahasiswa untuk mendeklarasikan posisi politiknya. Sejak saat itulah mereka memainkan peran besar dalam kehidupan politik dalam perlawanan rezim otoritarian dengan membentuk beragam aliansi dan front bersama buruh dan petani sehingga mereka tidak bergerak secara tunggal.

Kisah lain bisa kita lihat di Chili, ketika Gabriel Boric terpilih sebagai Presiden termuda di Chili. Jauh sebelum menjadi orang pertama di Chili, Gabriel Boric merupakan mahasiswa lulusan fakultas hukum dan sempat menjadi Presiden Mahasiswa Universitas Chili pada tahun 2012, dari situlah Boric memanfaatkan posisinya dan lalang melintang terlibat dalam protes aksi gerakan mahasiswa di Chili sehingga menjadi tokoh utama dalam banyak protes gerakan mahasiswa sepanjang 2011-2013. Yang perlu digaris bawahi, Boric sejak awal menentang pasar bebas neoliberal melalui posisinya sebagai mahasiswa sosialis di Chili.

Seperti yang disampaikan Muhammad Ridha, Gabriel Boric sukses membangun agenda perlawanan yang dimulai dari mobilisasi protes ke organisasi politik. Di Indonesia barangkali tak sedikit yang mempunyai kisah sama dengan Gabriel Boric, menjadi presiden mahasiswa dan terlibat dalam banyak aksi protes, namun yang absen dari kebanyakan kelompok atau aliansi presiden mahasiswa di Indonesia adalah posisi ideologis dan strategi agenda politik perlawanannya.

Ali Fikri Hamdhani
Ali Fikri Hamdhani
Mahasiswa aktif fakultas hukum Universitas Islam Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.