Jumat, Maret 29, 2024

Ramadhan dan Kontra Terorisme

pakihsati
pakihsati
Denis Arifandi Pakih Sati - Catatan di Blog: dapakihsati.com

Apapun alasannya, aksi Teror yang dilakukan beberapa hari ini di sejumlah tempat di tanah air, mulai dari bom di Gereja Surabaya sampai penyerangan di Mapolda Riau, tidak bisa dibiarkan dan ditolerir. Jikalau mau menajamkan kata, maka kata-kata “haram” adalah kata-kata yang layak disematkan dalam aksi ini.

Konsekwensi kata-kata ini jelas, pelakunya akan mendapatkan dosa karena perbuatan yang dilakukannya. Bukan hanya dosa kecil, tapi dosa besar karena sudah menumpahkan darah anak manusia yang tidak bersalah.

Momen Ramadhan ini adalah momen terbaik untuk menangkal segala bentuk aksi terorisme yang ada di tanah air. Di bulan ini, geliat kehidupan beragama begitu terlihat nyata. Masjid dan Mushalla dipenuhi oleh jemaah, pengajian menjamur, sedekah melimpah, zakat tak terhingga jumlahnya.

Maka, jikalau luapan semangat ini, jikalau tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, ia akan menjadi kerugian yang nyata. Sebab, pangkal masalah terorisme ini bukanlah masalah ekonomi, tapi masalah apa yang ada di dalam kepala.

Paham yang sempit dalam beragama, tidak siap hidup berbeda dan menerima perbedaan adalah akar masalah. Sampai kapan pun, tidak akan bisa memisahkan antara aksi terorisme yang ada saat ini, dengan paham yang salah dalam beragama. Ini adalah fakta sejarah.

Mengutip kata-kata DR. Zaki Najib Mahmud, “Radikalisme Pemikiran dan Keyakinan, itu apa?” Tanyanya. Ia melanjutkan, “Maksudnya, Anda memilih rumah pemikiran dan rumah keyakinan yang Anda akan tinggal disitu dengan penuh kerelaan, kemudian Anda tidak ingin selain Anda memilih bagi yang lainnya pemikiran atau keyakinan yang baik bagi dirinya sendiri. Tetapi, Anda memaksakannya, dengan kekuatan dan kadangkala dengan senjata, agar ia mau bergabung bersama Anda di bawah satu atap pemikiran.”

Mengubah Mindset yang Salah dalam Beragama

Di beberapa Masjid di Jakarta, dalam sehari itu bisa 4-5 kali kajian selama bulan Ramadhan. Ada kajian Bakda Subu, ada Kajian Dhuha, ada Kajian Bakda Ashar, kajian Bakda Tarawih, dan lain-lain. Jikalau kajian-Kajian yang begitu menggeliat di Bulan Ramadhan ini, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meluruskan pemikiran-pemikiran yang selama ini salah arah dan salah kaprah dalam beragama, alangkah baiknya.

Peranan para ulama dan para da’i memang dibutuhkan dalam hal ini. Jangan terlalu sibuk membahas politik yang tidak jelas juntrungnya, padahal banyak hal-hal yang lebih prioritas harus disampaikan. Ini bukan berarti anti politik, ya! Kecuali memang, yang ceramah itu politikus, itu lain cerita. Dan itu masalah lagi; bagaimana bisa politikus ceramah di Masjid; memang ini kampanye?

Jikalau ia seorang ulama, maka kisaran ceramahnya, seharusnya mencerahkan kegelapan pikiran atau menyibak alam kesalahpahaman. Dalam konteks hari ini, masalah terorisme ini harus didudukkan dengan sebaik-baiknya.

Beberapa tahun belakangan ini, geliat keagamaan memang begitu kuat di Indonesia. Banyak yang semangat untuk bisa menjalankan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya. Nuansa religius itu sangat terasa sekali. Apalagi dengan berkembangnya istilah “hijrah”, yang diartikan disini dengan kehidupan yang lebih Islami.

Jikalau sebelumnya ada perempuan yang tidak berjilbab, maka ia mulai berjilbab. Jikalau sebelumnya ada yang hobi dugem, sekarang mulai meninggalkannya. Itu misalnya. Dan itu baik; sebuah femomena yang patut diacungi jempol. Banyak artis dan public figure yang sudah melakukannya.

Hanya saja, kadangkala rasa dan semangat beragama itu tidak terarah dengan baik. Mereka belajar hanya lewat dunia maya saja; online. Gurunya menjadi tidak jelas. Padahal, kata Imam Malik, Siapa yang gurunya adalah buku, maka banyak salahnya daripada benarnya. Itu buku, yang sudah jelas penulisnya, dan seringkali sudah memiliki kompetensi.

Maka, bagaimana dengan yang hanya belajar Islam dari dunia maya saja; bukanlah salahnya akan lebih banyak? Sebab, ada masalah-masalah tertentu yang membutuhkan tatap muka untuk memahaminya.

Cukuplah Kisah Abdurrahman Ibn Muljam, seorang Ahli Ibadah dan Ahli al-Quran, yang membunuh Khalifah ke-4 Kaum Muslimin, dijadikan sebagai pelajaran bahwa pehamaman yang salah dalam beragama adalah pangkal kesesatan. Ketika membunuh Ali bin Abi Thalib, ayat yang dibacanya adalah ayat Jihad, dan dalam pandagannya Ali bin Abi Thalib itu adalah seburuk-buruk manusia di muka bumi.

Di ujung kematiannya, ia meminta kepada algojo untuk tidak memancungnya sekali lagi, tapi memutilasinya tubuhnya, agar bagian-bagian tubuh itu menjadi saksi Jihadnya di jalan Allah SWT. Sebuah pemahaman yang sesat dalam beragama.

Maka, sekali lagi, Ramadhan ini adalah moment terbaik dan kesempatan yang hanya datang sekali setahun, untuk memperbaiki paham-paham yang salah dalam beragama, yang berkembang di tengah Masyarakat. Kelihatannya tulisan ini menyorot Umat Islam, tapi hal yang sama juga berlaku bagi yang non muslim. Sebab, aksi terorisme itu tidak pandang Agama, tidak pandang ras. Semua mungkin melakukan.

pakihsati
pakihsati
Denis Arifandi Pakih Sati - Catatan di Blog: dapakihsati.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.