Minggu, Oktober 6, 2024

Proporsional Terbuka dan Erosi Demokrasi

Arjuna Putra Aldino.T
Arjuna Putra Aldino.T
Ketua Umum DPP GMNI

Polemik tentang sistem pemilu kian mengemuka setelah undang-undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka tengah digugat dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Sejak diberlakukan tahun 2009, kini sistem proporsional terbuka mendapatkan tantangan untuk dievaluasi dan dikritisi. Namun di lain sisi, kebanyakan partai politik mengonsolidasikan gerakan penolakan terhadap gugatan atas sistem proporsional terbuka yang berpotensi diubah ke arah sistem proporsional tertutup.

Tentu yang menjadi pertanyaan, sistem mana yang jauh lebih proporsional merepresentasikan suara rakyat. Bahkan bukan hanya itu, namun yang lebih penting sistem mana yang lebih mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat. Karena pada hakikatnya, demokrasi atau sistem pemilu hanyalah alat, sedangkan kesejahteraan rakyat adalah tujuan. Untuk itu, kita perlu analisis yang jernih dan melibatkan banyak variabel penting dalam upaya kita memilih sistem pemilu yang dianggap tepat.

Proporsional Terbuka dan Praktik Klientisme

Dipilihnya sistem proporsional terbuka pada pemilu 2009 didasarkan dengan sejumlah alasan. Salah satunya adalah hubungan antara orang yang memilih dan dipilih dalam sistem proporsional terbuka menjadi lebih dekat. Karana sistem ini dianggap membuat para pemilih dapat mengenal wakil-wakil mereka dan menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan pemilih dan daerahnya. Sehingga para kandidat akan menjaga kredibilitas mereka di depan rakyat yang memilihnya. Namun, alasan ini semakin jauh dari harapan.

Sejumlah studi dari para ilmuwan politik justru memaparkan sebaliknya. Sistem proporsional terbuka bukan malah melahirkan kedekatan antara yang dipilih dengan yang memilih namun justru menghasilkan relasi “klientisme’ diantara keduanya. Studi mutakhir Edward Aspinall dan Ward Berenschot, mengemukakan penerapan sistem proporsional terbuka membuat partai tidak lagi memegang peran penting dalam pemilihan.

Para calon lebih mengutamakan strategi keluar dengan membentuk tim informal non-partai, ketimbang bergantung pada mesin partai. Hal ini terjadi dikarenakan dalam sistem proporsional terbuka membuat pilihan politik berpusat pada individu bukan partai. Sehingga kompetisi bersifat liar bahkan cannibalistic (persaingan sesama anggota partai).

Kondisi ini menghadirkan entitas “broker politik”  yakni  semacam agen yang bekerja dan bergerak atas nama calon dalam upaya mengorganisir dukungan di akar rumput. Dengan kata lain, broker politik berperan layaknya tengkulak suara, dimana di tengah para calon tidak memungkinkan bisa berinteraksi langsung dengan pemilih yang jumlahnya sangat banyak, maka para broker politik ini memiliki peran yang sangat vital untuk mengumpulkan suara.

Artinya hadirnya entitas broker politik ini tak bisa dilepaskan sebagai dampak dari diterapkannya sistem proporsional terbuka yang membuat persaingan para kandidat lebih banyak dengan rekan sesama partai daripada dengan partai lain. Partai politik pun dalam sistem proporsional terbuka tak ubahnya hanya menjadi semacam dealer ketimbang pencipta kader.

Menurut Aspinall dan Berenschot, para broker politik ini adalah aktor politik lokal yang benar-benar mengetahui kondisi di lapangan yang direkrut secara pribadi oleh calon untuk mendulang suara dengan politik uang (vote buying/vote trading) dan pertukaran klientelisme berupa hibah, proyek, program kesejahteraan, dan anggaran pemerintah. Sehingga sistem proporsional terbuka sangat berkontribusi memperluas praktek perburuan rente, dimana partai politik akan banyak dikuasai oleh predatory actors (aktor pemburu rente) yang menganggap partai politik hanya sebagai instrumen pragmatis untuk mencari keuntungan pribadi.

Sistem proporsional terbuka yang telah melahirkan “pasar bebas politik” membuat ekosistem politik kian padat modal (high cost politics), hal ini kemudian mengakibatkan politik rawan dibajak bahkan dikooptasi oleh para pemilik modal. Data LIPI menunjukan 55 persen anggota DPR adalah pebisnis. Situasi ini menyebabkan perumusan kebijakan publik rawan akan conflict of interest bahkan korupsi kebijakan. Kesejahteraan rakyat pun; jauh panggang dari api dan demokrasi tak ubahnya seperti ritus pasar loak, hanya saling tukar menukar kekuasaan dan kekayaan.

Yang lebih memiriskan, politik uang dan pertukaran klientisme telah menciptakan mekanisme apa yang disebut “supply creates its own demand” yakni tindakan politik uang dan pertukaran klientisme yang dilakukan oleh para calon telah membentuk persepsi masyarakat bahwa politik identik dengan uang. Hal ini telah merusak kesadaran pemilih sebagai warga negara (politik warga), bahkan pemilih kini menjadi komoditas politik dalam pasar gelap (black market) transaksi vote trading.

Penyempurnaan Proporsional Tertutup

Penolakan terhadap sistem proporsional tertutup banyak didasarkan pada “peristiwa traumatis” yang dijalankan oleh orde baru. Tak menampik kenyataan, di era orde baru penerapan sistem proporsional tertutup berkelindan dengan kronisme yang tumbuh subur disekitar Soeharto yang menciptakan oligarki politik. Alhasil, siapa yang dekat dengan elite partai, tingkat kemungkinannya jauh lebih besar untuk memperoleh kursi. Namun hal ini dapat dicegah dengan penguatan sistem kaderisasi partai politik dibarengi dengan sistem rekrutmen dan kandidasi yang transparan.

Lemahnya kaderisasi parpol membuat sumber rekrutmen politik cenderung bersifat oligarkis yakni pola rekrutmen masih mengikuti garis yang ditentukan oleh faktor-faktor primordial seperti agama, hubungan daerah, kesamaan daerah, serta faktor-faktor kedekatan dengan pimpinan teras partai. Bahkan dalam sistem proporsional terbuka sumber rekrutmen hanya berpusat pada elektabilitas dan isi brankas.

Apalagi jika parpol tidak memiliki basis sosial yang jelas dan spesifik, serta sangat tergantung pada figur individu, membuat kaderisasi dan rekrutmen anggota parpol dijalankan dengan tradisional dan sangat personal.

Untuk itu, penerapan sistem proporsional tertutup perlu adanya penyempurnaan dengan agenda reformasi partai politik dimana penguatan kaderisasi parpol dan kandidasi menjadi kewajiban yang mesti diawasi oleh lembaga tertentu. Sehingga parpol dituntut untuk melakukan pendidikan khusus bagi anggotanya, adanya kurikulum pendidikan politik yang jelas, hingga melatih kadernya agar turun ke dalam masyarakat serta menjadi solusi atas berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Arjuna Putra Aldino.T
Arjuna Putra Aldino.T
Ketua Umum DPP GMNI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.