Kamis, Maret 28, 2024

Problematisasi KPK di Era Disrupsi

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|

Sejak kemunculan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002, institusi anti rasuah tersebut senantiasa menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Hal ini dikarenakan KPK adalah lembaga independen (auxiliary organ) yang lahir bertepatan dengan memuncaknya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang dinilai gagal menanggulangi koroniknya korupsi di Indonesia.

Kurang lebih 19 tahun KPK mengarungi samudera pemberantasan korupsi, sudah banyak pula ombak pelemahan yang menerjangnya. Baik itu pelemahan secara inkonstitusional seperti teror terhadap pegawai KPK layaknya menimpa Novel Baswedan maupun pelemahan secara konstitusional melalui jalur legislasi. Upaya pelemahan KPK jalur legislasi baru menuai keberhasilan pada tahun 2019 lalu.

Saat itu Pemerintah mengesahkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU 19/2019). Perlu dikenang kembali bahwa rangkaian proses legislasi yang dimulai pada tahap perencanaan, pengusulan, pembahasan dilakukan secara senyap dan minim melibatkan partisipasi publik. Alhasil pada tahap pembahasan UU 19/2019 menuai penolakan dari berbagi kalangan.

Kendatipun menuai penolakan, Pemerintah tetap kukuh mengesahkan UU a quo. Aksi Pemerintah ini telah melanggar prinsip fundamental ketatanegaraan Indonesia, yakni perinsip kedaulatan rakyat. Jean Jacques Rousseau menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilandaskan pada kehendak umum (volunte generale). Lebih lanjut, Bomer Pasaribu (2007: 164-165) menjelaskan bahwa materi UU yang hendak disahkan harus mencerminkan kehendak umum. Sebab kehendak umum merupakan refleksi aspirasi rakyat yang kedaulatannya telah dijamin di dalam Pasal 1 (2) UUD 1945 (Konstitusi).

Disrupsi KPK

Dewasa ini Indonesia memasuki era disrupsi. Berbagai sektor baik itu perdagangan, pendidikan, teknologi, bahkan sektor pemberantasan korupsi pun telah mengalami disrupsi, khususnya ‘disrupsi kinerja KPK’.

Disrupsi berasal dari bahasa Inggris, yakni disruption yang berarti gangguan, kekacauan, dan problem. Sedangkan kinerja merujuk pada kemampuan kerja atau rekam efektifitas KPK dalam memberantas korupsi paska UU 19/2019. Sehingga terminologi ‘Disrupsi Kinerja KPK’ dipergunakan untuk menguraikan potret kekacauan KPK paska disahkannya UU 19/2019. Hemat penulis, terdapat tiga substansi dalam UU 19/2019 yang memantik disrupsi kinerja KPK:

Pertama, melalui Pasal 1 (3) UU 19/2019 yang memposisikan lembaga KPK di bawah rumpun eksekutif (eksecutive agency), sehingga mengharuskan seluruh Pegawai KPK harus dialihkan statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian, terbitlah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN. Kebijakan ini sama saja menjerumuskan pegawai KPK dalam lingkaran birokrasi yang selama ini sarat akan Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan presure dari pimpinan, serta iming-iming rekomendasi naik pangkat secara tidak sehat.

Kedua, setelah pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN secara otomatis gaji pegawai KPK setara dengan gaji ASN lainnya. Besaran gaji ASN diatur di Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2019 tentang peraturan gaji pegawai negeri sipil, tampak gaji seorang ASN sangat minim. Gaji yang minim tentu tidak seimbang dengan kompleksitas tugas yang diemban dan resiko besar yang mengintai setiap pegawai KPK. Dan paling terburuk gaji minim akan merubuhkan integritas pegawai KPK.

Sri Mulyanai menyatakan bahwa penyebab ASN melakukan korupsi adalah gaji yang minim. Apa yang dikatakan Sri Mulyani sejalan dengan teori GONE yang digagas oleh Jack Bologne. Teori GONE menjelaskan penyebab korupsi terdiri dari empat faktor: Greed (keserakahan); Opportunity (peluang); Need (kebutuhan); Expose (pembenaran). Dengan minimnya gaji pegawai KPK tentu berakibat kebutuhannya tidak tercukupi dan secara langsung kebutuhan hidupnya (life necessities) meningkat. Sehingga di masa mendatang pegawai KPK berpotensi melakukan korupsi yang dilatarbelakangi oleh faktor Need (kebutuhan).

Ketiga, hadirnya Dewan Pengawas (Dewas). Dalam Pasal 37 (1) huruf b UU 19/2019, menegaskan bahwa Dewas berwenang memberikan izin atau tidak memberikan izin kepada pegawai KPK dalam kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Penyidik senior KPK Novel Baswedan menilai UU Pasal 37 (1) UU 19/2019 akan menghambat proses penyidikan KPK. Klaim ini terbukti dengan gagalnya penggeledahan KPK di kalimantan yang ditenggarai operasi penggeledahan tersebut bocor.

Berikutnya, sejak tahun 2019-2021 publik menilai kinerja KPK dalam memberantas korupsi kian suram dan cenderung unproduktif. Senada, Indonesia Corruption Watch (ICW) memberi raport merah atas kinerja KPK di tahun 2020. Penilaian tersebut berdasarkan persentasi penindakan KPK yang sangat minim, yaitu hanya sekitar 13% dari target 120 kasus. Penurunan ini berbanding lurus dengan peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang melorot.

Berdasarkan Transparency International Indonesia, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara yang diukur indeks persepsi korupsinya. Situasi ini tidak terlepas dari melemahnya KPK. Kondisi KPK saat ini sangat kontras dengan KPK yang dicintai masyarakat Indonesia dahulu. Kini Kepercayaan publik terhadap KPK kian tergerus. Telebih beberapa oknum Internal KPK yang turut melakukan korupsi seperti penggelapan emas seberat 1,9 KG, ada pula Penyidik KPK bernama Stefanus Robin Pattuju (SRP) yang meminta uang 1,5 M kepada Wali Kota Tanjungbalai di Rumah Azis Syamsuddin.

Azis Syamsuddin menjabat sebagai Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar. Dengan kata lain permufakatan jahat SRP tersebut difasilitasi oleh unsur Partai Politik. Sehingga dapat kita lihat ada peran orang politik dalam memperburuk kinerja KPK. Dari peristiwa ini secara tersirat pegawai KPK tidak independen lagi dan melakukan kejahatan korupsi dengan difasilitasi oleh pimpinan lembaga DPR yang notabene lembaga yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dalam pembentukan UU 19/2019.

Melihat proses panjang pelemahan KPK, mulai pada minimnya pelibatan partisipasi publik saat perencanaan dan pengusulan UU 19/2019, kemudian pengabaian aspirasi rakyat yang menolak materi UU 19/2019 saat pembahasan, yang setelah itu kinerja KPK menurun, dan oknum internal KPK yang bertransformasi menjadi koruptor, kumpulan fakta ini merupakan pertanda bahwa KPK telah memasuki era disrupsi yang penuh kekacauan dan mengancam eksistensi KPK itu sendiri.

Melihat KPK saat ini, maka dibutuhkan sebuah solusi atas problem KPK. Adapun solusinya: Pertama, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai the guardians of constitution seyogianya MK membatalkan UU 19/2019 yang saat ini masih dalam proses Judicial Review. Pembatalan itu demi mengembalikan independensi KPK yang telah dikebiri melalui UU 19/2019, dan bertujuan untuk mengembalikan KPK sebagaimana diatur di UU 30/2002. Dengan itu Implikasi negatif keberlakuan UU 19/2019 dapat ditanggulangi.

Kedua, KPK perlu diatur di dalam UUD 1945 sebagaimana negara Afrika Selatan dan Thailand. Hal ini penting guna menyetarakan lembaga KPK dengan lembaga lainnya. Dengan ini tidak akan terjadi lagi pelemahan KPK melalui jalur legislasi sebab KPK telah memiliki posisi yang kokoh.

 

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.