Jumat, Maret 29, 2024

Harap-Harap Cemas Putusan MK pengujian Perubahan UU KPK

Addin Akmaluddin
Addin Akmaluddin
Staff Peneliti Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII

Sudah setahun lebih setelah UU No. 19 Tahun 2019 (perubahan UU KPK) disahkan dan bentuk penolakan pun masih senantiasa digulirkan. Salah satu bentuk penolakan yang masih berjalan adalah melalui pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon pengujian tersebut berasal dari berbagai lapisan masyarakat yakni mulai dari mahasiswa, akademisi, hingga LSM.

Pengujian terhadap UU tersebut tidak hanya pengujian terhadap materi muatannya saja, namun juga termasuk aspek formil pembentukan peraturan perundang-undangannya. Sepertihalnya yang dimohonkan oleh pemohon Nomor 70/PUU-XVII/2019. Lantas apa saja yang patut diperhatikan dalam putusan MK terhadap pengujian perubahan UU KPK?

1. Pendapat Mahkamah terhadap fakta-fakta dalam proses pembentukan perubahan UU KPK

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa aspek yang diujikan dalam UU ini tidak hanya berkaitan dengan materinya saja, melainkan mencakup pula aspek formilnya. Pengujian terhadap aspek formil menjadi sangat vital karena apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak memenuhi syarat-syarat formil maka akan berakibat peraturan tersebut dapat dibatalkan baik sebagian atau bahkan secara keseluruhan. Adapun aspek formil yang harus dipenuhi oleh pembentuk UU antaralain ialah asas-asas formil serta prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang diamanatkan oleh UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

Perubahan UU KPK tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas

Salah satu fakta yang terkuak dalam proses persidangan adalah tidak dicantumkannya Rancangan Perubahan UU KPK dalam Prolegnas Prioritas. Sehingga, seharusnya RUU tersebut tidak dapat diajukan untuk dibahas.

Meskipun terdapat pengecualian terhadap pengajuan RUU di luar prolegnas, namun Perubahan UU KPK diniliai tidak memenuhi unsur untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional. Hal ini dikarenakan tidak ada kendala yang disebabkan oleh aspek kelembagaan KPK dan keresahan masyarakat yang mendesak terhadap perubahan UU KPK. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Sesaat setelah UU disahkan, justru penolakan besar-besaran dari berbagai lapisan masyarakat dilayangkan hingga berjilid-jilid.

Melanggar asas keterbukaan

Asas keterbukaan menghendaki adanya kesempatan seluas-luasnya yang dimiliki oleh masyarakat menyampaikan aspirasinya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas keterbukaan ini memiliki arti penting yakni, sebagai sarana kontrol masyarakat dalam perumusan kebijakan yang akan diambil dan memberikan masukan terhadap perumusan. Bahkan hak atas keterbukaan dalam proses pembentukan UU ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (1) dan (4) UU P3,

“(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”.

 Padahal dalam proses pembentukan perubahan UU KPK dilakukan dengan sangat singkat. Pemohon No. 70/PUU-XVII/2019 menguak bahwa proses pembentukan UU tersebut hanya dilakukan kurang dari satu bulan. Alur proses pembentukan yang sangat cepat inilah yang mengakibatkan masyarakat menjadi sulit untuk melakukan pengawasan serta menyampaikan aspirasinya. Apalagi dalam hal ini, pembahasan yang dilakukan oleh pembentuk UU dilaksanakan secara tertutup.

2. Kejelian Mahkamah dalam pertimbangan terhadap kemanfaatan

Jika membicarakan soal kemanfaatan, maka besar kemungkinan Mahkamah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Tak jarang Mahkamah dihadapkan dalam pilihan antara menggunakan pemikiran progresif atau normatif.

Seperti halnya dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 Perubahan UU KPK yang menjadi salah satu pasal yang dimohonkan oleh para pemohon judicial review. Pada putusan sebelumnya yakni pada putusan 36/PUU-XV/2017, Mahkamah menafsirkan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif dan membatasi independensi KPK hanya dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Konsekuensi logis dari penafsiran tersebut adalah menegaskan kembali putusan tersebut dalam perubahan UU KPK.

Namun demikian, jika dilihat dari segi kemanfaatan, hal ini justru menghasilkan sebuah anomali hukum. Ketika KPK didudukkan sebagai bagian dari ranah eksekutif, maka salah satu konsekuensinya adalah pegwai KPK statusnya berubah menjadi ASN. Sehingga pegawai KPK akan terikat dalam UU ASN. Padahal di sisi lain, Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen ASN yang kewenangan tersebut kemudian didelegasikan ke Menterinya. Kewenangan pihak eksekutif terhadap ASN sangat besar adanya.

Seperti halnya kewenangan untuk membuat kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber daya manusia, serta pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan antarinstansi yang tentunya dapat mengganggu independensi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Karena kekuasaan eksekutif juga termasuk dari bagian pengawasan KPK, maka bukan hal yang tidak mungkin, jika penguasa dapat menggunakan kewenangannya untuk melakukan intervensi terhadap kinerja KPK khususnya dalam hal kepegawaian seperti memindah tugaskan/memindah jabatkan pegawai KPK yang sedang konsern dalam penanganan kasus yang melibatkan penguasa.

Dengan adanya anomali tersebut, maka Mahkamah dihadapkan dalam dua pilihan yang berat, apakah Mahkamah akan memutus KPK menjadi lembaga negara independen yang bebas dari kekuasaan manapun baik dalam hal kelembagaan maupun dalam hal kewenangan? Atau Mahkamah tetap pada pertimbangannya dalam putusan sebelumnya? Hal ini patut dinantikan, sehingga masyarakat bisa menilai apakah pertimbangan Mahkamah telah berfokus dalam kemanfaatannya atau justru mahkamah hanya memutus dengan dasar normatif belaka.

Harap-harap cemas

Harapan masyarakat terhadap MK sebagai the guardian of constitution dalam memutus pengujian UU tersebut sangatlah tinggi. Putusan yang dikeluarkan Mahkamah akan menjadi cerminan komitmen negara ini dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Oleh karenanya, Mahkamah tidak hanya dituntut memberikan putusan yang sesuai dengan kaidah hukum, tetapi juga dituntut untuk memutus secara responsif terhadap problema yang telah dan akan timbul ke depannya di masyarakat, khususnya dalam hal pemberantasasn korupsi.

Addin Akmaluddin
Addin Akmaluddin
Staff Peneliti Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.