Jumat, Maret 29, 2024

Pro-Pancasila Menurun, Pemerintah Harus Berbenah

Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin
Education Enthusiast at Binus University

Seperti yang ditulis Detikcom (17/7/18), Lingkaran Survei Indonesia(LSI) Denny JA belum lama ini merilis hasil survei mengenai publik pro-Pancasila. Temuan survei ini sangat mengejutkan dan menyedot perhatian media. Tak butuh waktu lama, berita soal hasil survei ini muncul di berbagai media, baik cetak, elektronik, dan daring.

Survei ini dilakukan pada 28 Juni-5 Juli 2018 dan melibatkan sampel 1.200 orang dari 34 provinsi yang didapat dengan metode multistagerandom sampling. Toleransi kesalahannya (margin of error) mencapai 2,9%.

Dari hasil survei ini, paling tidak ada lima temuan penting terkait tren jumlah masyarakat pro-Pancasila dibandingkan dengan survei di tahun 2005. Pertama, dalam kurun 13 tahun, jumlah masyarakat pro-Pancasila menurun hampir 10%. Kedua, dari sisi demografi, penurunan terjadi di masyarakat ekonomi kelas bawah dan beragama Islam.

Jumlah masyarakat pro-Pancasila merosot tajam sebesar 22, 7% pada golongan berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta. Masyarakat beragama Islam yang pro-Pancasila menurun cukup signifikan mencapai 11.6%.

Ketiga, berdasar latar pendidikan, penuruan jumlah masyarakat pro-Pancasila terjadi di semua tingkat pendidikan mulai dari mereka yang berpendidikan dasar sampai tinggi. Penurunannya berkisar dari 8,2% sampai 10,2%. Keempat, jumlah masyarakat pro-NKRI bersyariah meningkat dari 4,6% ditahun 2005 menjadi 9,8% di tahun 2018. Kelima, survei ini menyebutkan ketimpangan ekonomi, paham alternatif, dan kurangnya sosialisasi Pancasila menjadi faktor utama penyebab terus merosotnya masyarakat yang pro-Pancasila.

Pancasila dan Kinerja Pemerintah 

Walau di masa pemerintahan SBYpenurunan juga terjadi, persentasenya masih lebih rendah. Dalam kurun waktu 10 tahun (2005-2015), penurunannya sebesar 5,8% atau kurang dari 0,6% tiap tahunnya. Tapi dalam waktu tiga tahun terakhir selama pemerintahan Jokowi, masyarakat pro-Pancasila menurun 4,1% atau sekitar 1,3% rata-rata pertahun.

Isu maraknya paham radikalisme menjadi dalih yang kerap disampaikan oleh jajaran Pemerintah saat ini baik secara tersurat maupun tersirat sebagai ‘biang kerok’ terus merosotnya masyarakat pro-Pancasila. Hal ini tampak pada beberapa kebijakannya, antara lain pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Memang tak bisa dinafikan keberadaan oknum yang menyebarkan paham radikalisme di tengah masyarakat. Namun, ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah bisa menjadi faktor yang membuat sebagian masyarakat menjauh dari Pancasila dan lebih jauh lagi menjadi seorang radikalis.

Seperti yang dikutip tirto.id (22/5/18), hasil survei Indo Barometer yang dilaksanakan pada 15-22 April 2018 menunjukkan ada sekitar 32% masyarakat yang kurang atau tidak puas terhadap pemerintahan Jokowi-JK dan lebih dari 34% yang kurang atau tidak puas terhadap kinerja para menterinya. Jumlah ini tentu tidak bisa dibilang kecil.

Evaluasi Kebijakan 

Fakta makin banyaknya masyarakatyang tak pro-Pancasila harus menjadi evaluasi bagi Pemerintah atas berbagai kebijakan yang dibuatnya. Paling tidak ada tiga sektor kebijakan yang harus menjadi perhatian Pemerintah, yaitu ekonomi, pendidikan, dan sosial-hukum.

Di tahun 2005, masyarakat ekonomi kelas bawah menjadi penyangga utama Pancasila dengan 86,7%-91,8% yang pro-Pancasila. Namun beberapa tahun belakangan, mereka pula yang jumlah pro-Pancasilanya terus tergerus. Hal ini terkait dengan dampak dari berbagai kebijakan ekonomi pemerintahan saat ini yang dianggap tak pro-rakyat kecil. Misal, pencabutan subsidi BBM di tahun 2015 dan listrik untuk pelanggan 900 VA di tahun 2017, dan pengetatan distribusi elpiji 3 kg bersubsidi belum lama ini yang diikuti anjuran pemerintah untuk masyarakat (mampu) beralih ke elpiji 3 kg non-subsidi.

Tentu saja yang paling terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah masyarakat kelas ekonomi bawah. Kebijakan yang menurut Pemerintah sudah sesuai dengan konstitusi yang di dalamnya termasuk Pancasila justru membuat kehidupan mereka makin sulit. Hal inilah yang membuat mereka rentan diajak dan kemudian dijejali paham non-Pancasila.

Pancasila juga makin merosot citranya di masyarakat dengan berbagai latar pendidikan. Kondisi ini menunjukkan ada masalah pada pendidikan di negeri ini, terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Masyarakat pro-Pancasila dengan pendidikan SD sampai SMA mengalami penurunan yang paling signifikan.

Salah satu penyebabnya karena pendidikan Pancasila yang terintegrasi pada pendidikan karakter yang diusung kurikulum teranyar saat ini bisa dibilang belum maksimal. Walaupun secara konsep sudah sangat baik, pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah masih banyak menemui masalah. Misal, guru lebih disibukkan dengan urusan administrasi ketimbang melakukan bimbingan pada siswa dan rasio guru dan murid yang masih timpang.

Belum lagi praktek korupsi dan kecurangan, mulai dari proses penerimaan peserta didik, pengelolaan keuangan,dan evaluasi belajar seperti ujian nasional (UN), masih kerap terjadi bahkan dilakukan secara sistematis di banyak sekolah. Fakta-fakta kebobrokkan pendidikan inilah yang di dalamnya tak jarang ada keterlibatan pemerintah dan pendidik menjadi senjata ampuh bagi mereka yang bermaksud menjauhkan para siswa dari Pancasila.

Tren Muslim pro-Pancasila yang menurun dan meningkatnya yang pro-NKRI bersyariah tentu menjadi catatan tersendiri untuk pemerintahan saat ini. Kondisi ini memang tak lepas dari efek Pilpres 2014 yang terus berlanjut. Namun bukannya membaik, hubungan pemerintahan Jokowi dengan oposisinya, terutama kelompok Muslim, justru semakin buruk.

Tidak sedikit kebijakan atau keputusan Pemerintah yang bukannya merangkul malah cenderung memukul kelompok Muslim dari pihak oposisi. Sebut saja, pembubaran HTI yang tanpa proses hukum, proses hukum penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berkepanjangan dan berlarut-larut, penangangan hukum penyerangan ulama dibeberapa daerah yang tampak tak serius, kriminalisasi beberapa ulama kontra Pemerintah, tuduhan terorisme yang banyak dialamatkan pada Muslim, dan tuduhan radikalisme yang disematkan pada kelompok atau lembaga Islam tertentu.

Ditambah, tidak sedikit pihak yang melabeli anti-Pancasila pada mereka yang tak mendukung pemerintah, terutama kelompok Muslim. Berbagai hal tersebut makin memperpuruk hubungan pemerintah dan sebagian kelompok Muslim. Akibatnya, seolah Pancasila dan Islam terus dibenturkan. Padahal, secara historis, Pancasila lahir dari rahim nilai-nilai Islam yang telah mengakar kuat sejak lama di nusantara.

Jika kondisi ini terus dibiarkan,sekitar 53 tahun kedepan (dengan laju penurunan 1,3% pertahun), tak akan adalagi anak negeri ini yang pro-Pancasila. Eksistensinya pun bukan tidak mungkin tergantikkan dengan paham lainnya.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera berbenah. Pastikan pemerintah dan jajarannya menjadi teladan untuk rakyat. Buatlah kebijakan-kebijakan yang berkeadilan dan pro-rakyat kecil. Perkuat pendidikan karakter dengan program dan aktivitas yang konkret. Rangkul semua elemen bangsa tanpa kecuali, mereka yang pro atau kontra pemerintah. Dengan upaya ini, yakinlah Pancasila akan terus hidup di setiap jiwa anak negeri ini.

Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin
Education Enthusiast at Binus University
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.