Jumat, April 26, 2024

Presiden Tiga Periode Untungkan Siapa?

Naufal Madhure
Naufal Madhure
Wartawan SerikatNews.com

Wacana Presiden tiga periode terus menggelinding bak bola panas dalam beberapa pekan terakhir ini. Publik kita disesaki oleh perdebatan ihwal pro-kontra terkait masa jabatan presiden itu. Sebagaimana kita mafhum, wacana ini digulirkan oleh Muhammad Qodari, Sang Direktur Eksekutif Indo Barometer bersama relawan lain yang tergabung dalam Jokowi-Prabowo (JokPro) 2024.

Gagasan ini ditentang oleh berbagai pihak, termasuk aktivis, pengamat politik, kalangan parlemen hatta Jokowi sendiri. Ia tak lagi memiliki niat menjabat presiden selama tiga periode.

Tegas ia menyatakan, bahwa dirinya mematuhi UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang mengatur masa jabatan presiden dua periode dan setiap periode selama lima tahun. Tak boleh lebih, sebagaimana termaktub dalam Pasal 7, yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Juga dengan tegas ia menyatakan, bahwa mereka yang menggaungkan presiden tiga periode telah menampar mukanya, mencari muka dan menjerumuskannya.

Tetapi meski Jokowi sendiri telah tegas menolak, Qodari sebagai orang yang pertama kali menggaungkannya tetap membandel. Bahkan dalam acara dialog bersama Karni Ilyas dan Adi Prayitno di sebuah channel youtube, ia dengan gagah perkasa menyebut dirinya sebagai misionaris. Seorang pendakwah yang akan terus mendakwahkan gagasan presiden tiga periode ke seantero negeri. Dari sudut-sudut kota hingga pelosok desa.

Qodari menyebut, bahwa usahanya mendakwahkan gagasan presiden tiga periode selama ini telah membuahkan hasil. Faktanya, berdasarkan hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa publik cenderung mendukung Joko Widodo  (Jokowi) menjadi presiden tiga periode. Bahkan, menurut survei tersebut, saat ini sudah 40,2% publik yang ingin Jokowi menjadi presiden lagi.

Menurut hasil survei itu, pada tingkat dasar, 74% publik memang ingin presiden dua periode saja. Tetapi, ketika disodorkan nama Jokowi untuk kembali menjadi calon pada 2024, angkanya berubah menjadi 52,9% (Sumber: Berita Satu, 20/6/2021).

Dalam rangka menebalkan iman orang-orang yang setuju dan menanamkan iman mereka yang belum beriman dengan wacana presiden tiga periode, ke depan dirinya bersama kawan-kawannya akan terus menggalakkan dakwahnya ke tengah-tengah masayarakat luas.

Tetapi, sebanyak apa pun gagasan ini terus mendapatkan dukungan publik, hal ini jelas tetap melanggar UUD 1945. Soal pemilu digelar per 5 tahun ada dalam Pasal 22 ayat 1 dan 2 dan masa jabatan presiden dua periode per 5 tahun ada di Pasal 7 UUD. Kemudian Qodari dan kawan-kawan mencuatkan ide amandemen UUD 1945 ihwal masa jabatan presiden.

Bak gayung bersambut, secara mengejutkan tiba-tiba publik dihentakkan dengan isu amandemen UUD 1945 yang menggelinding di internal parlemen. Hingga muncul kekhawatiran benyak pihak; aktivis, pengamat, pemerhati demokrasi, dan beberapa politisi ketika Jokowi bertemu partai koalisi beserta partai koalisi non parlemen, bahwa mereka sedang membahas rencana amandemen.

Meski konstitusi kita bukanlah kitab suci, yang halal kapan pun diamandemen dan diotak-atik, tetapi mengamandemen konstitusi hari, terlebih terkait jabatan presiden merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan pejuang reformasi kita yang telah berdarah-darah menuntut mengoreksi Pasal 7 yang lama (tidak ada masa jabatan Presiden), sehingga berubah menjadi Pasal 7 seperti sekarang ini.

Pun mengamandemen UUD hari ini tidaklah urgen, sebab ia tidak bersentuhan langsung dengan hajat dan kebutuhan rakyat kecil. Sebagaimana kecurigaan Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia bahwa, wacana tiga periode dengan mengamandemen UUD hanya menguntungkan elite penguasa dan politik semata.

Dan berkali-kali ia menegaskan bahwa, amandemen bukan soal hidup mati rakyat kecil, tetapi hanyalah soal kepuasan hasrat politik elite dan sharing power saja. Sama sekali rakyat tak diuntungkan dengan gagasan ‘presiden tiga periode’ dan isu amandemen ini. Dan meskipun Jokowi menjabat tiga periode, belum tentu hajat hidup rakyat kecil menjadi terpenuhi dan ekonomi semakin membaik. Belum tentu. Hal itu sama dengan membeli kucing dalam karung.

Betapa pun besar asa rakyat terhadap Jokowi, sebagaimana menjadi salah satu alasan Qodari– disamping juga karena alasan depolarisasi politik, sebagaimana terjadi pada pilpres 2014-2019, mendakwakan gagasan tiga periode ini, yang namanya melanggar konstitusi tetaplah tak terpuji dan haram dilakukan, terlebih di tengah badai pandemi yang memorak-porandakan segala sendi kehidupan sosial berbangsa kita.

Perlu diingat, bahwa pengawetan kekuasaan dalam rentang waktu yang begitu lama hanya menghadirkan kenikmatan sesaat dan sedikit demi sedikit mengancam eksistensi negara bangsa. Bubarnya Uni Soviet merupakan contoh paling gamblang betapa pengawetan kekuasaan melalui kekuasaan menjadi awal dari pembusukan politik (political decay) yang berakhir dengan bubarnya imperium negara komunis itu (Tulis A. Bakir Ihsan dalam bukunya “Etika dan Logika Berpolitik: Wacana Kritis atas Etika Politik, Kekuasaan, dan Demokrasi).

Belajar dari George Washington

Membincang tiga periode jabatan presiden, ingatan kita terpaksa terseret pada pada nama George Washington. Presiden pertama Amerika Serikat itu amat dicintai rakyatnya. Dari saking cintanya, ia didukung kembali untuk menjadi Presiden di periode ke tiga. Tetapi enam bulan sebelum pemilihan, ia mengumumkan akan menolak menjabat presiden buat ketiga kalinya. Kemuduan pada Maret 1797, dia menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, John Adams dan kembali ke Mount Vernon dalam keadaan puas.

Jokowi dan George Washington adalah dua soso presiden yang nyaris memiliki kesamaan karir. Mereka adalah dua presiden yang berasal dari masyarakat akar rumput; jika George adalah seorang petani yang memiliki perkebunan di Virginia, sebelum menjabat sebagai seorang jenderal dan panglima tertinggi dalam tentara kolonial selama Perang Revolusi Amerika dan kemudian menjadi presiden pertama Amerika Serikat dari 1789 hingga 1797, maka Jokowi adalah seorang pengusaha mibel di Solo, sebelum menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur Ibu Kota Jakarta, dan kemudian menjadi presiden ke tujuh Indonesia.

Pun mereka berdua adalah sosok presiden yang amat dekat dan dicintai rakyatnya. Dan menjelang berakhirnya masa jabatannya di periode keduanya menjadi presiden, mereka digoda oleh dorongan pendukungnya untuk menjabat kembali sebagai presiden di periode ketiga. Tetapi Washington tegas menolak dan kembali pulang ke kampung halamannya setelah jabatannya usai. Menjalani aktivitas sebagai petani dan menjadi rakyat biasa. Lalu bagaimana dengan Jokowi? Entahlah.

Meski dengan jelas dan tegas Jokowi menolak gagasan tiga periode, dan bahkan menuding mereka yang lantang menggemakan gagasan presiden tiga periode telah menampar mukanya, mencari muka dan menjerumuskannya, tetapi tetaplah itu pernyataan politisi yang tak bisa dipercayai seratus persen. Pernyataannya acapkali mengalami anomali; pagi kedele, sore tempe.

Kita tunggu saja hingga detik-detik masa berakhirnya jabatannya, apakah dia tetap konsisten menolak atau malah iman politiknya tergoda dan goyah dengan bujuk rayu para misionaris ‘presiden tiga periode’. Hanya waktu yang bisa menjawab teka-teki ini.

Tetapi saran saya, Jokowi haruslah belajar dari George Washington, yang iman politiknya tak goyah dengan godaan-godaan gemerlap dan empuknya kursi kekuasaan. Terus tolak gagasan presiden tiga periode. Karena ia hanya menguntungkan kelo
mpok elit semata, bukan rakyat yang serba sulit nan jelata.

Naufal Madhure
Naufal Madhure
Wartawan SerikatNews.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.