Sejak tahun 2020 dunia dihantam pandemi Covid-19 yang hingga sekarang belum tentu usai karena masih terdapat kasus dengan jumlah tinggi di banyak negara. Pandemi ini telah meluluhlantakkan semua segi kehidupan, tidak terkecuali dialami oleh anak-anak Indonesia. Secara keseluruhan, UNICEF mengekspos terdapat 80 juta anak-anak Indonesia terdampak pandemi Covid-19, mulai dari pendidikan, kesehatan, gizi, dan ketahanan ekonomi mereka. UNICEF juga menggarisbawahi bahwa pandemi memperparah dampak yang sudah muncul dari awal, seperti ketimpangan dalam gender, kemiskinan, disabilitas, yang akhirnya turut berkontribusi terhadap perkembangan anak.
Pada peringatan Hari Anak Nasional 2022 ini, tema yang diambil “ Anak Terlindungi, Indonesia Maju” dan diusing oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), terlebih karena anak-anak Indonesia sedang memasuki masa paska pandemi, dimana memperlihatkan banyak tahapan penyesuaian dari semua sektor untuk daya dukung kehidupan anak-anak.
Sementara itu, Valentina Gintings, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi menggarisbawahi kenaikan angka kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual yang menyentuh angka 1.848 berdasarkan data SIMFONI PPA selama masa pandemi Covid-19 melanda hingga Juni 2020. Bahkan, Kementerian Sosial juga mencatat kenaikan angka tersebut mencapai 2.131 hingga Juli 2021, dengan tambahan 28 orang diantaranya mengalami kehamilan. Jumlah tersebut ditenggarai juga akan terus bertambah karena ada kemungkinan masih banyak yang enggan melaporkan kasus kekerasan seksual, baik dari sisi korban serta keluarganya. Secara umum, kasus kekerasan seksual terhadap anak seakan-akan seperti fenomena bola salju yang menggelinding ke bawah dengan jumlah yang semakin besar serta jenis peristiwa kekerasan yang bahkan jauh lebih sadis daripada yang dapat dibayangkan biasanya.
Peraturan Vs Peningkatan Kekerasan Seksual pada Anak
Kita masih mengingat kejadian di tahun 2016 silam yang menimpa Yuyun, seorang siswi SMP Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu yang menghilang dan ditemukan meninggal karena mengalami kekerasan seksual, yang dilakukan oleh 14 pemuda. Kasus ini menyita perhatian serta membuat Presidenn Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Presiden Jokowi menerbitkan Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan mencantumkan berbagai hukuman, termasuk kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual.
Penerbitan Perppu tersebut tidak lantas menekan jumlah kekerasan seksual yang dialami anak-anak khususnya. Akhir-akhir ini kita disuguhkan banyak kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak atau remaja justru meningkat dan peristiwanya terjadi di lingkungan terdekat mereka, terutama di tempat mereka menimba ilmu, terlebih dengan pernyataan dari Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tentang 126 anak perempuan dan 71 laki-laki yang mengalami pelecehan kekerasan seksual oleh para gurunya di lingkungan pendidikan selama 2021 (CNN, 2022).
Untuk mendukung pengentasan kekerasan seksual pada anak yang terjadi di lingkungan pendidikan yang semakin menjadi, maka Presiden Jokowi kembali menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak . Selain itu, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan diharapkan dapat menjadi dasar hukum valid untuk memberikan hukuman kepada para pelaku kekerasan seksual, terutama pada perempuan dan anak, terutama ketika istilah kekerasan seksual sendiri sudah mengalami perluasan, tidak melulu mengenai perkosaan.
Predator Kekerasan Seksual Anak
Peringatan Hari Anak Nasional 2022 dengan tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju” yang mengetengahkan resiilensi anak-anak dalam menghadapi pandemi Covid-19 semakin tertantang dengan banyaknya predator kekerasan pada anak, terutama yang berada di lingkungan pendidikan dan dilakukan oleh tenaga pendidik. Kita semua pasti masih terhenyak dengan kasus pemerkosaan terhadap 13 santri perempuan oleh Herry Wirawan. Lalu, Julianto Eko Putra yang ditenggarai telah melakukan pelecehan seksual pada siswi-siswi Sekolah Selamat Pagi Indonesia, Batu, Malang sejak 2009.
Hari Anak Nasional dengan tema di atas sudah seharusnya membuka jalan bagi korban kekerasan seksual, terutama anak-anak dan remaja untuk lebih berani berbicara tentang apa yang mereka alami, serta menjadi peringatan bagi aparat hukum untuk lebih mengedepankan perspektif korban dalam penanganannya. Korban banyak tidak melapor karena relasi kuasa timpang antara predator dan korban dengan memperlihatkan kekuatan ekonomi dan sosial yang dimiliki predator. Sementara, korban, beserta keluarganya, berada dalam posisi terjepit karena predator menekan dengan bermacam alasan, serta belum ada keberpihakan masyarakat terhadap korban, yang justru lebih bertendensi menyalahkan korban.
Hari Anak Nasional tahun ini memperlihatkan kenyataan bahwa institusi pendidikan, terutama, harus mereformasi internalnya untuk terus berkembang sebagai tempat aman bagi mereka yang belajar di sana. Hal ini juga menuntut dukungan dari berbagai pihak, seperti aparat, advokat, serta masyarakat untuk berani melihat bahwa kekerasan seksual pada anak itu adalah nyata adanya dan bukanlah aib yang harus ditutupi, tetapi harus dicegah.