Agama merupakan sebuah sarana yang bisa jadi mengklarifikasi masyarakat. Agama merupakan seperangkat ajaran yang dalam realitasnya kini menjadi sebuah identitas bagi setiap individu. Karena demikian, agama sering kali menempati posisi terdepan dalam pembedaan sosial sebagai media diferensiasi. Namun demikian, agama juga menjadi alat yang ampuh untuk berbagai kepentingan.
Tidak hanya sebagai legalisator suatu tindakan, agama juga tidak jarang digunakan sebagai senjata politik untuk memengaruhi masyarakat. Padahal, agama merupakan suatu hal yang sakral, suci, dan tidak layak untuk diprofankan karena terkait dengan keyakinan akan wujud Tuhan. Dengan demikian, perilaku politik yang menggunakan payung agama tentunya menurunkan derajat agama sebagai keyakinan suci.
Profanisasi Agama
Indonesia merupakan negara dengan penduduk 100% memiliki agama. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, bertuhan, berkeyakinan pada adanya kekuatan besar di balik manusia, dan percaya dengan ritus-ritus yang didoktrinkan agama. Hal itu bisa dilihat dalam kartu tanda penduduk (KTP) masing-masing warga, bahwa di situ tertera sebuah nama agama pada kolom agama.
Keberagamaan masyarakat ini sangat vital adanya, karena kesensitifan masyarakat yang terkait dengan agama bisa saja meletus kapan saja. Hal itu berarti bahwa agama bisa ‘dimanfaatkan’ untuk sebuah kepentingan politik. Tidak hanya mengadu domba antar-keyakinan, agama juga bisa menjadi perkara yang melegalkan berbagai tindakan ekstrem-radikal dan memicu kerusuhan. Realitas itu telah berkali-kali terjadi di Indonesia jika isu-isu agama dikuak kemudian dijadikan ‘alat gaduh yang suci’. Sebut saja gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama, kebrutalan suatu kelompok massa yang mengatasnamakan agama, dan berbagai tindakan amoralitas yang mengatasnamakan agama tentunya telah menjadi fenomena di Indonesia dan dunia. Hal itu dikarenakan bahwa agama memang memicu rasa sensitif para pemeluknya.
Termasuk juga dalam hal politik, agama telah dipolitisasi sedemikian rupa hanya untuk memenangkan sebuah partai politik atau melindungi oknum-oknum tertentu. Sebut saja partai-partai politik yang berasaskan suatu agama tertentu dan para koruptor yang menggunakan dalil agama sebagai pelindung diri. Tentu saja keberadaan agama ini menjadi profan dan seolah tidak suci. Wahyu Tuhan hanya digunakan sebagai topeng semata.
Bukankah hal itu nyata di negeri ini? Jika dilihat, pelantikan para pejabat dalam baiatnya disumpah di bawah Alquran—kitab suci agama Islam. Namun demikian, setelah beberapa saat menduduki posisi pejabat, tidak jarang mereka berbuat korup yang tentu saja hal itu menyalahi ajaran agama. Tidak hanya itu, para tersangka tiba-tiba mengenakan simbol-simbol agama, seperti jilbab dan peci. Padahal, jilbab yang digunakan itu hanya untuk menutup wajah agar tidak tersorot oleh kamera wartawan dan peci dijadikan sebagai wujud kesalehan indivudual yang pada dasarnya hanya palsu.
Perilaku seperti itu mengindikasikan bahwa ada semacam gerakan profanisasi agama yang tanpa disadari telah melecehkan agama. Bahkan, partai-partai politik pun berani berjualan ayat-ayat untuk memikat masyarakat agar mendukung partai-partai berideologi agama tertentu.
Tidak jarang pula, para pemuka agama yang terjun ke dalam dunia politik pun berdalil sah dan batil, benar dan salah, halal dan haram, serta berpahala dan berdosa dengan menggunakan agama sebagai intrik politik. Hal itu karena para pemuka agama dipandang oleh masyarakat sosial sebagai figur dan teladan. Dengan demikian, mereka mempunyai pengaruh secara sosial pula. Apa yang mereka lakukan, diamini oleh masyarakat sehingga jika keabsahan suatu politik telah dibenarkan oleh para pemuka agama tersebut, maka masyarakat pun mengikutinya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, bahwa dasar dan landasan kehidupan beragama adalah dari dan di dalam kehidupan sosial itu sendiri. Hal itu berarti bahwa agama dan sosial tidak bisa dilepaskan. Dengan kata lain, keberadaan agama selalu memengaruhi kehidupan sosial, begitu pula sebaliknya karena masyarakat di negeri ini adalah masyarakat yang beragama.
Faktanya, korelasi agama dan sosial tersebut dimanfaatkan secara politis oleh kaum politikus untuk menjual agama. Jika menggunakan konsep analogi Aristoteles, maka hasilnya antara agama dan sosial tersebut menjadi sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh. Dengan demikian, jika politik bisa memanfaatkan agama, maka secara sosial, masyarakat pun akan terpengaruh dan akhirnya mengikuti ritme politik yang dijalankan. Jelaslah dari realitas ini bahwa politik telah memolitisasi agama, memprofankan agama, dan melancarkan gerakan desakralisasi agama.
Beragama Secara Kritis
Jika demikian halnya, maka hendaknya masyarakat harus bisa lebih dewasa dalam beragama. Lebih dari sekadar itu, masyarakat hendaknya lebih kritis dalam mendasarkan agama pada suatu posisi (baca: politik). Agama tidak selayaknya diprofankan karena merupakan perkara suci dan sakral. Agama adalah tempat benih-benih spiritualitas manusia disemai, bukan untuk kepentingan politik.
Dengan demikian pula, para pewarta agama (pendakwah) di era kini tentunya tidak hanya mendakwahkan persoalan klasik. Akan tetapi lebih dari itu, para da’i harus bisa memberikan perspektif modern dan baru yang mencerahkan untuk mengajak masyarakat agar beragama secara kritis dan tidak termakan oleh intrik politik tertentu. Sebagaimana yang pernah dipaparkan oleh Komaruddin Hidayat bahwa sikap kritis dalam belajar beragama itu sangat diperlukan untuk memperkukuh iman dan memperluas pengetahuan.
Lebih dari itu, sebenarnya agama bisa menjadi lawan dari perilaku politik yang memanfaatkan agama sebagai ‘senjata politiknya’. Dengan demikian, senjata politik yang menggunakan agama harus bisa dilawan dengan senjata yang berupa agama pula. Hal itu senada dengan pernyataan Zuly Qodir bahwa agama harus mampu menjadi kritik. Kritik dalam hal ini bisa direposisi dalam ranah politik. Artinya, penyimpangan politik dengan agama harus dikritisi dan dimunculkan gerakan pengembalian agama pada status quo asalnya yang sakral sebagai antitesisnya.