Hari ini pesantren kembali mendapat sorotan dari publik luas. Khususnya setelah kejadian runtuhnya bangunan pesantren al-Khaziny. Isu ini telah menjadi isu nasional dan santer dibahas di banyak media. Pro-kontra akhirnya mencuat seiring dengan munculnya masalah tersebut. Karena itu, melalui catatan sederhana ini, penulis ingin menanggapinya secara bijak dan hati-hati.
Banyak pertanyaan yang terlontar berkat kejadian ini. Di antaranya apakah pesantren hari ini telah menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi santri? Jika benar aman, mengapa kasus yang berkaitan dengan pesantren kian hari terus muncul ke permukaan dan perbincangan? Lebih radikal kita dapat mengajukan pertanyaan, apa yang sebenarnya keliru dan perlu dibenahi pesantren? Apa benar ini murni masalah pesantren? Apa faktor di luar pesantren juga perlu menjadi sorotan?
Bagi yang memandang dengan kaca mata kuda, pesantren akan jadi pihak tertuduh. Namun masalahnya sebenarnya tidak sesederhana itu. Dalam kasus tertentu boleh salah, dan kita harus terbuka dan dewasa mengakui itu. Kita tak boleh anti kritik dan mesti senantiasa menerima saran. Akan tetapi dengan insiden yang hari ini terjadi, tirai menjadi terbuka, bahwa perhatian terhadap pesantren ini masih cukup kurang.
Padahal pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan kebanggaan kita. Ia telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan dan berkontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa. Bahkan jika merujuk pada Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari, santri dan pesantren juga turut terlibat dalam mengawal kemerdekaan dan menentang penjajahan.
Atas seluruh peran dan konteks sejarah yang menyertai pesantren, kita tentu tak boleh abai. Perhatian terhadap pesantren harus menjadi agenda prioritas kita. Jumlah pesantren yang sebanyak 42.433 (data Kemenag), tidak boleh dipandang sambil lalu. Karena pada akhirnya menelantarkan pesantren sama dengan menelantarkan pendidikan kita. Sebab sebagai negara mayoritas muslim, Indonesia dengan pesantren telah berkontribusi aktif dalam kerja-kerja pencerahan terhadap segenap anak bangsa.
Kebijakan tentang Pesantren dari Masa ke Masa
Setiap pemimpin negeri ini sebenarnya masing-masing punya perhatian terhadap pesantren. Kita mulai dengan era awal reformasi dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Sosok kiai dan alumni pesantren ini memiliki perhatian besar terhadap lembaga pendidikan Islam khas Indonesia ini. Dalam gagasan besarnya, ia mendorong terjadinya modernisasi dan inovasi terhadap pesantren. Ia tidak ingin pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan kelas dua. Pesantren harus menjadi perhatian utama dengan melakukan penyegaran dan pembaharuan terhadapnya. Terutama yang berkaitan dengan kurikulum.
Perhatian itu juga berlanjut pada zaman Presiden Megawati. Meski tak menyandang gelar santri dan tokoh pesantren, Presiden Megawati termasuk orang yang peduli terhadap kemajuan pesantren. Jika presiden sebelumnya mengusulkan inovasi kurikulum, maka pada zaman Presiden Megawati yang banyak dihasilkan adalah produk-produk hukum yang menopang pesantren sebagai lembaga pendidikan. Hal ini merujuk pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). Undang-undang ini mengakui pesantren sebagai salah satu bentuk satuan pendidikan keagamaan.
Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kebijakan tentang pesantren tidak dibahas secara spesifik. Ia dimasukkan dalam kebijakan-kebijakan pendidikan umum. Pada masa ini rentang waktu wajib belajar dinaikkan dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Lewat kebijakan ini, segenap anak bangsa termasuk santri, diharapkan memiliki akses yang layak terhadap pendidikan. Begitu juga kebijakan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Pesantren ikut memetik manfaat dari program ini.
Perhatian yang sangat terhadap pesantren muncul kala Presiden Jokowi memimpin. Pada periode berhasil di-gol-kan Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren dan Perpres No. 82 tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Dengan adanya undang-undang dan perpres ini, posisi pesantren menjadi demikian vital dan sekaligus menunjukkan komitmen nyata pemerintah bagi pemajuan pesantren. Pada era ini pesantren menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah dan di era ini pula ada kebijakan mengenai Dana Abadi Pesantren.
Asa tentang Pesantren
Melalui peristiwa pesantren al-Khoziny mata publik menjadi terbuka. Mereka menyadari bahwa ada yang perlu dibenahi dari pesantren. Kejadian-kejadian yang terjadi belakangan terhadap pesantren bisa jadi merupakan akibat dari pemerintah yang kerap abai. Pesantren tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus terus mendapatkan pendampingan. Hal ini semata-mata untuk memastikan agar mutu pesantren tetap terjaga.
Menteri Agama Nasaruddin Umar sempat menyinggung terkait ini ke khalayak media. Ia mengungkapkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pesantren sebenarnya sangat tinggi. Kendati dengan berbagai masalah yang menyertainya hari-hari belakangan. Namun yang menjadi masalah, alokasi anggaran terhadap pesantren dinilai masih kurang. Hal ini tentu berefek pada fasilitas pesantren yang dalam beberapa hal kurang memadai. Masalah ini perlu menjadi perhatian serius dan sekaligus tanda tanya, apakah Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah benar-benar terealisasi?
Pesantren tidak boleh dibiarkan berjalan sendirian. Ia harus dikawal dan didampingi. Selain memastikan mutu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa pesantren telah menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi santri. Kasus-kasus belakangan yang banyak beredar soal pesantren harus diperhatikan. Khususnya yang terkait mata rantai bullying dan kasus pelecehan seksual yang kerap melibatkan santri dan ustadz. Pemerintah mesti membuat regulasi yang tegas soal pesantren, utamanya soal kriteria yang harus dipenuhi.
Presiden Prabowo telah angkat suara dan memberikan perhatiannya terhadap pesantren al-Khoziny. Bahkan ia memerintahkan dilakukan pengecekan dan sekaligus menyalurkan bantuan untuk renovasi dan perbaikan gedung. Hal ini tentunya menjadi bagian dari kepedulian Presiden Prabowo terhadap dunia pesantren.
Untuk mengatasi masalah ini, Presiden Prabowo telah memilih sosok yang tepat, yakni Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhamimin Iskandar. Pesantren bukanlah sesuatu yang asing bagi kehidupan Gus Muhaimin. Ia adalah bagian darinya. Karena itu ia pasti memahami betul masalah-masalah yang berkelindan soal infrastruktur pesantren dan solusi apa yang harusnya dihadirkan.
Dengan segudang pengalaman dan profilnya dalam memperjuangkan santri dan pesantren, kita berharap bahwa masalah ini akan teratasi dengan baik oleh Gus Muhaimin. Pemerintah melalui penunjukkan Menko PM dalam hal ini telah menunjukkan komitmen baik atas pesantren. Karena itu, sebagaimana setiap musibah mengandung hikmah, begitupun dengan tragedi pesantren al-Khoziny ini. Viralnya kasus ini membuka mata publik bahwa pesantren harus terus mendapat perhatian dan pendampingan, utamanya dari pemerintah.