Tanpa kita sadari nilai uang semakin lama akan semakin menurun dengan adanya inflasi. Dulu saat 2010 harga indomie goreng di toko kelontong masih seharga Rp 1.500 per pcs dan sekarang harga indomie di toko kelontong maupun supermarket sudah di atas Rp 3.000 per pcs. Inilah yang disebut inflasi yang secara pelan-pelan menurunkan daya beli.
Tidak hanya harga indomie, inflasi juga terjadi pada mayoritas harga barang dan jasa yang lainnya seperti harga makanan di restoran, UKT kuliah, premi asuransi, dan masih banyak lagi. Bagaimana cara agar daya beli kita terhadap barang dan jasa tetap atau bahkan meningkat? Caranya adalah menaikkan nilai uang yang kita miliki, bisa dengan cara menabung dan berinvestasi.
Mana yang lebih baik antara menabung dan berinvestasi? Jawabannya adalah tergantung. Menabung di bank tentu memiliki tingkat keamanan dan risiko yang relatif lebih baik. Jika bank tempat kita menaruh uang tidak dapat mengembalikan uang kita, contohnya karena bank dinyatakan pailit, masih ada jamin oleh LPS senilai hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2008 tentang Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Sehingga risiko kehilangan uang relatif kecil.
Namun bagaimana dengan imbal hasil yang diperoleh dari menabung di Bank? Per akhir Juli 2024, produk tabungan beberapa bank konvensional besar memberikan bunga tidak lebih dari 2% per tahun. Adapun beberapa bank digital memberikan bunga untuk produk tabungan sekitar 2% sampai 5%. Jadi untuk menabung di bank, ada opsi untuk menabung di bank digital untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih baik dan setidaknya tidak jauh dari inflasi.
Bagaimana dengan risiko dan imbal hasil dalam berinvestasi? Sebelum lebih jauh membahas tentang investasi, sebaiknya kita perlu memahami konsep dari investasi khususnya investasi di produk keuangan. Investasi keuangan yaitu mengalokasikan dana pada instrumen investasi dengan tujuan memperoleh imbal hasil yang optimal serta risiko yang terukur.
Risiko dan imbal hasil tergantung jenis instrumen investasi. Secara alamiah, risiko dan imbal hasil memiliki korelasi yang sebanding. Artinya semakin berisiko suatu aset maka diharapkan memiliki imbal hasil yang lebih tinggi. Berlaku juga sebaliknya Ada beberapa alternatif investasi yang mudah untuk kita akses diantaranya saham, obligasi, reksadana, p2p lending, dan masih banyak lagi. Pada tulisan ini akan fokus pada instrumen investasi saham dan obligasi.
Investasi saham memiliki risiko penurunan harga yang dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa diantaranya adalah penurunan harga karena faktor internal seperti kinerja perusahaan yang menurun, kasus hukum, dan masalah manajemen, serta faktor eksternal seperti resesi, volatilitas pasar, dan ketidakpastian politik. Seperti yang terjadi saat pandemi covid 19 kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar -33% dalam waktu 2 bulan dan kembali ke level semula setelah 10 bulan. Hal ini dikarenakan investor berekspektasi dengan adanya covid 19 akan menekan kinerja keuangan perusahaan sehingga banyak yang melakukan penjualan dan harga sahamnya mengalami penurunan.
Di satu sisi, investasi saham memiliki potensi imbal hasil yang cukup baik yang berasal dari kenaikan harga (capital gain) dan dividen. Dalam 20 tahun terakhir, IHSG mengalami kenaikan sebesar 9 kali lipat atau imbal hasil tahunan kurang lebih 12%, dengan asumsi dividen tiap tahun sebesar 3% maka total imbal hasil sebesar 15% per tahun.
Alternatif lain yakni investasi obligasi memiliki risiko yang relatif lebih kecil dibandingkan investasi saham. Fluktuasi harga obligasi relatif lebih kecil karena obligasi memberikan kepastian dalam pembagian kupon bunga dan bahkan ada obligasi non-tradable yang tidak dapat diperjualbelikan sehingga tidak ada risiko fluktuasi harga.
Obligasi non-tradable contohnya adalah sukuk tabungan (ST-012) yang diterbitkan pemerintah pada April lalu. Obligasi pemerintah lebih disarankan karena dijamin oleh pemerintah sehingga relatif lebih aman jika dibandingkan dengan obligasi yang diterbitkan oleh korporasi.
Disamping itu, investasi obligasi memberikan imbal hasil yang terbatas di rentang 6% sampai 8% untuk jenis obligasi pemerintah dan imbal hasil yang sedikit lebih tinggi untuk obligasi korporasi karena memiliki risiko yang lebih tinggi. Meski demikian, imbal hasil 6% sampai 8% sudah cukup tinggi untuk melawan inflasi yang dalam 10 tahun terakhir memiliki rata-rata 2% sampai 3% saja.
Jadi mana yang lebih menarik? Jawabannya adalah tergantung kebutuhan. Jika dana akan digunakan dalam waktu dekat, maka menabung di bank adalah pilihan yang lebih bijak karena pertimbangan faktor likuiditas. Jangan sampai ketika dana akan digunakan masih nyangkut di investasi yang sedang floating loss. Jika dana akan digunakan dalam waktu menengah atau panjang, kombinasi investasi dan menabung adalah pilihan yang bijak karena selain dapat menaikkan nilai uang kita dan melawan inflasi, kebutuhan dana jangka pendek juga dapat terakomodir.
Kesimpulannya, penting bagi kita untuk melek finansial dengan memahami konsep menabung dan investasi. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan nilai uang yang kita miliki dengan memahami segala risiko yang dapat terjadi.