Ceritanya bermula di akhir abad ke-18 ketika negeri Belanda diduduki oleh pasukan Prancis pimpinan kaisar Napoleon. Berita pendudukan ini dengan cepat juga menyebar ke seluruh koloni Belanda di Asia Tenggara.
Gusar dengan suasana politik di Eropa, para petinggi EIC, serikat dagang Inggris Raya untuk wilayah Asia Tenggara, memimpin pasukan untuk memasuki wilayah Malaka, Penang, Palembang, dan akhirnya Jawa, dengan tanpa perlawanan berarti. Tujuan awalnya semata untuk menjaga wilayah-wiayah koloni Belanda ini agar tak turut jatuh dalam pengaruh dan kekuasaan Perancis.
Stamford Raffles, seorang pegawai karir di EIC yang mula-mula ditempatkan di Penang oleh Lord Minto karena pengetahuannya yang luas akan bahasa dan kebudayaan Melayu, tak punya pilihan lagi selain ikut dalam rombongan ekspedisi militer menuju pulau Jawa.
“Menemukan” Borobudur
Sesampainya di Jawa, Lord Minto menyerahkan tongkat komando ke Raffles, ia kembali ke India. Sepeninggal Lord Minto, Raffles dipercaya menempati jabatan Letnan Gubernur. Di tengah tahun 1814, seperti rutinitas harian biasa, ia menerima laporan dari para bawahannya.
Tumpukan laporan itu umumnya berisi kabar perkembangan berbagai urusan pemerintah dari soal ekonomi pulau Jawa, sampai masalah politik di Eropa. Kabar soal pasukan Inggris yang telah menduduki kota Paris juga ia terima di Batavia. Selain berita soal Paris, ada satu dokumen dalam tumpukan itu yang menarik perhatiannya.
Dalam perjalanan inspeksi di Semarang, sejumlah serdadu Inggris melaporkan mengenai penemuan serpihan bebatuan yang berukir dan diduga sudah ada sebelum masuknya agama Islam di daerah Magelang. Akan tetapi, kesibukannya mengurus administrasi membuat ia tak bisa langsung menuju lokasi penemuan relief candi.
Beruntung, Raffles tak mengusir beberapa ahli sejarah dan arkeologi Belanda yang masih bertugas ketika ia pertama kali datang ke Jawa. Ia segera memerintahkan pemuda enerjik Hermanus Christian Cornelius, seorang sarjana Belanda yang tinggal di Semarang, untuk memeriksa.
Cornelius dikenal atas keberhasilannya mengidentifikasi candi Sewu, Prambanan dan beberapa yang lain untuk pemerintah Belanda pada 1806-1807. Didaulat menjalankan tugas ini, Cornelius yang terbiasa bekerja dengan orang-orang Belanda tak berani berangkat sendirian. Ia khawatir, atasannya yang baru ini punya niat buruk dan mau mengambil keuntungan pribadi dari peninggalan arkeologis, dengan memanfaatkan pengalamannya meneliti di Jawa.
Victoria Glendinning dalam bukunya Raffles and the Golden Opportunity (2012:134) mencatat dua pejabat Lieutenant-Colonel Mackenzie, dan Captain George Baker ikut dalam tim investigasi. Dua orang Inggris yang ikut serta ini semakin membuat Cornelius was-was. Dalam History of Java (1817) Raffles hanya mengenang jasa besar Cornelius dan anak buahnya ini dalam dua baris. Buku ini unik.
Tekun mempelajari alam pulau Jawa bersama dengan John Leyden dan William Farquhar, Raffles menulis hasil penelitiannya dengan ekstensif. Pada 1817, Magnum Opus ini diplublikasikan dalam 2 volume tebal. Dua ratus tahun sejak publikasi pertamanya, buku ini tak layak menjadi referensi akademis untuk penelitian tentang pulau Jawa. Alasannya terutama karena dalam proses penyusunannya, Raffles dengan agak sembrono memakai tulisan dan data-data yang tak jelas asalnya.
Lepas dari kontroversi itu, hasrat pribadinya atas ilmu pengetahuan alam memang nyata. Diterpa kondisi kesehatan yang kerap memburuk, Raffles tetap memaksa ikut rombongan pasukan Inggris yang berkeliling Jawa memantau penerapan sistem sewa tanah (Land-Rent System) di kampung-kampung. Masih dalam kondisi berduka setelah istrinya meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya, Raffles yang kala itu tinggal di istana Buitenzorg (Bogor) mulai melakukan perjalanan pada 26 April 1815.
Tujuan pertama mereka adalah gunung Gede. Perjalanan berlanjut. Setelah tiba di distrik Kedu, mereka menginap di Magelang, Wilayah yang merupakan daerah administrasi di bawah kerajaan Yogya, sebelum direbut oleh Inggris. Dari sinilah Raffles berencana memeriksa langsung serpihan candi Borobudur.
Laporan mengenai Borobudur dari Cornelius yang lebih dulu diterima Raffles semakin membangkitkan rasa penasarannya. Dalam catatannya, Cornelius menemukan suatu keadaan yang sangat berantakan saat pertama kali tiba di lokasi. 200 orang yang ia kerahkan tak sanggup begitu saja memugar reruntuhan candi. Maklum, bebatuan itu telah tertimbun lebat hutan berabad-abad umurnya, serta erupsi vulkanik yang begitu tebal. Yang mereka lakukan semata hanya menebang sebagian pepohonan hutan dan membuat struktur candi yang berbentuk piramida itu bisa terlihat.
Akhirnya, pada 18 Mei 1815, Raffles mendapat kesempatan untuk melihat sendiri reruntuhan candi itu. Kala itu, orang-orang Inggris belum menemukan catatan arkeologis yang bisa dipercaya mengenai candi Borobudur.
Sementara itu, sebagian besar orang yang tinggal di sekitar Jawa Tengah tahu, atau setidaknya pernah mendengar tentang reruntuhan batu candi. Mereka mendengar cerita turun-temurun mengenai sebuah susunan bebatuan yang ditinggalkan oleh kerajaannya dan kemudian tertutup abu vulkanik dan lebat pepohonan hutan.
Bagi sebagian orang Belanda, salah satu catatan pertama mengenai Borobudur justru bisa dilacak dari berita tentang Frederik Coyett yang pada 1733 mengambil beberapa serpihan patung Budha di daerah itu (Hannigan 2013:235). Dengan demikian, klaim Raffles sebagai “penemu” candi Borobudur telah mendapat dua sanggahan.
Tiba di lokasi candi, Raffles menyaksikan sebagian besar dari 500 patung Budha telah rusak. Sebagian justru dirusak oleh orang-orang Inggris yang mengambil serpihan candi sebagai pelengkap koleksi “suvenir” mereka dari Jawa. Ia mendapati batu-batu andesit tak terawat itu membentuk stupa-stupa yang belum ia ketahui struktur lengkapnya. Maklum, catatan resmi kerajaan Hindu-Budha yang bergerak ke Jawa Timur tidak lengkap ia temukan.
Tahun 1816 bersamaan dengan berakhirnya perang Napoleon di Eropa, orang-orang Inggris diperintahkan untuk meninggalkan Pulau Jawa. Raffles yang belum selesai mempelajari Borobudur terpaksa mengembalikan kekuasaan pada pasukan Belanda sesuai perjanjian.
Rencananya pribadinya untuk bertahan lebih lama pun kandas. Jejaknya di Jawa meninggalkan berbagai kontroversi. Para ahli sejarah dan arkeologi mengakuinya sebagai orang yang berjasa memperkenalkan candi Borobudur kepada publik Eropa.
Dalam sejarah kebudayaan Jawa, Perhatiannya terhadap Borobudur memang penting, mengingat pada masa itu, pemerintah Inggris lebih fokus pada candi Prambanan (Soekmono 1976:5). Dalam buku Raffles of the Eastern Isles (1954:369), biografi Raffles yang pertama, C.E. Wurtzburg penulisnya menekankan bahwa penghargaan pada keindahan alam merupakan hal yang baru belakangan berkembang. Maka tak heran bila bentuk kekaguman orang-orang Inggris pada masa itu masih diekspresikan dalam bentuk ‘membawanya pulang ke Inggris sebagai suvenir’.
20 tahun setelah orang-orang Inggris meninggalkan Jawa, Christiaan Hartman, orang Belanda yang melanjutkan pekerjaan restorasi akhirnya berhasil membuka lahan sekitar Borobudur sepenuhnya dan membuat struktur utama candi terlihat.