Rabu, April 24, 2024

Perempuan Irasional, Masa sih?

Ariyodhani Muhammad
Ariyodhani Muhammad
Desainer antarmuka, jurnalis

Persepsi bahwa perempuan berpikir irasional bukanlah konsep baru, atau lebih tepatnya, bukanlah sebuah stereotip baru. Ini hanya bagian dari kelompok stereotip berbasis gender yang lebih luas, yang berarti bahwa itu adalah hal yang terlalu disederhanakan bahwa sekelompok orang selalu bertindak dengan cara tertentu, bahkan ketika ini dirasa belum tentu tepat.

Bagi individu yang progresif, mendiskreditkan stereotip itu mudah. Namun sebagian besar negara berkembang terus berpegang teguh dengan stereotip yang mereka imani. Saya terkejut mengetahui bahwa dalam beberapa kesempatan, beberapa teman perempuan saya benar-benar menganut stereotip bahwa perempuan itu irasional, seperti ketika seseorang dengan seenaknya berkomentar bahwa mereka menginginkan pemimpin—pemimpin dalam konteks apapun—karena menurutnya laki-laki akan menjadi pemimpin yang lebih “tegas”. Sedangkan perempuan selalu diragukan kredibilitasnya dalam memimpin.

Tekanan dari stereotip juga berdampak pada laki-laki. Laki-laki dituntut untuk menjadi keras dan harus selalu mendominasi. Dalam banyak kasus, laki-laki kerap kali membenci dirinya sendiri atas gagalnya usaha mereka untuk memenuhi ekspektasi gender yang orang lain lontarkan pada mereka. Walhasil, mereka dengan terpaksa menginternalisasi nilai-nilai maskulin yang dianggap lekat dengan sifat agresif, cuek, asertif, dan harus selalu berhasil dalam mengupayakan apapun.

Bahkan garis besar masyarakat mengamini dan mendefinisikan label pemimpin, pelindung, guru, dan problem solver sebagai sifat maskulin, yang mana diharapkan menjadi dasar karakter laki-laki saja. Karena untuk sebagian besar sejarah, perempuan telah dihalangi atau bahkan dilarang mengekspresikan keahlian dari label tersebut. Dan begitu pula sebaliknya, laki-laki haram hukumnya untuk menjadi pribadi yang memiliki sifat sensitif, pasif, emosional, sweetness, mengasuh, dan sifat lembut lainnya yang penerapannya secara konstan dikhususkan hanya untuk perempuan saja.

Cukup patriarkis memang jika kita masih saja mengelompokan sifat mana saja yang maskulin dan sifat mana saja yang feminim. Padahal faktanya skill berpikir kognitif dan asertif seperti problem solving bisa dimiliki oleh kedua jenis kelamin. Tidak ada karakter atau sifat yang secara inheren maskulin atau feminim.

Pandangan yang kontras ini membawa kita pada pertanyaan berikut:

Bagaimana stereotip ini bisa muncul?

Apakah memang benar bahwa laki-laki dan perempuan secara alami berperilaku berbeda sejak lahir?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita lihat sejarah stereotip. Banyak psikolog konvensional percaya bahwa gen yang diturunkan kepada kita dari nenek moyang telah menentukan kepribadian dan perilaku kita. Namun, banyak psikolog modern sekarang menolak gagasan bahwa DNA yang diwariskan memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap siapa kita. Sebaliknya, perbedaan perilaku antar jenis kelamin terjadi karena kita diharapkan dan didorong untuk menjadi berbeda.

Menurut Cordelia Fine, penulis buku Delusions of Gender ada perbedaan perilaku dasar antara kedua jenis kelamin, tetapi kita harus mencatat bahwa perbedaan ini meningkat seiring bertambahnya usia karena perbedaan intelektual anak-anak dibesar-besarkan dan diintensifkan oleh kultur gender kita.

Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa lingkungan tempat kita dibesarkan adalah faktor terbesar yang mempengaruhi perilaku kita.

Tetapi demi menghibur penganut garis keras disimilaritas intelektual antara jenis kelamin, mari kita kembali ke pertanyaan, apakah ada kemungkinan bahwa stereotipnya valid dan jenis kelamin yang berbeda secara alami berperilaku berbeda juga sejak lahir?

Dan jawabannya adalah tidak masalah, sebenarnya.

Hal ini karena setiap perbedaan (yang mungkin ada) itu kecil. Sangat kecil. Kita bisa berdebat terus-menerus perihal “nature vs. nurture”, tetapi intinya adalah yang membedakan perempuan dan laki-laki itu “soft”. Distingsi mungkin ada di antara laki-laki dan perempuan tapi tidak begitu signifikan karena otak kita terus berubah dan berkembang sejak lahir.

“THERE IS ALMOST NOTHING WE DO WITH OUR BRAINS THAT IS HARD-WIRED. EVERY SKILL, ATTRIBUTE AND PERSONALITY TRAIT ARE MOLDED BY EXPERIENCE,” “ALL SUCH SKILLS ARE LEARNED, AND NEURO-PLASTICITY – THE MODIFICATIONS OF NEURONS AND THEIR CONNECTIONS IN RESPONSE EXPERIENCE – TRUMPS HARD-WIRING EVERY TIME.” — LISA ELIOT, NEUROSCIENTIST

Stereotip ada karena kita percaya, dan cukup jelas bahwa proses ini hidup dan berjalan dengan baik di Indonesia. Lalu bagaimana cara mengakhirinya?

Kembali ke anggapan bahwa perempuan itu irasional dan laki-laki dilarang untuk bersifat lembut, kita harus menelaah sumbernya untuk mengakhirinya. Stereotip tidak tercipta di dalam ruang hampa, artinya stereotip dipengaruhi secara luas oleh berbagai faktor sosial.

Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh WHO dan Johns Hopkins University menemukan bahwa stereotip mulai terbentuk pada usia 10 tahun. Jadi, anak-anak harus menjadi fokus utamanya. Sebagai orang tua, saudara, teman, siapapun, kita dapat saling mendukung untuk memiliki ketertarikan atau minat yang beragam tidak dibatasi oleh gender.

Tidak mengapa bagi anak laki-laki untuk menjangkau sisi pengasuhan mereka melalui bermain dengan boneka, dan tidak mengapa bagi anak perempuan untuk melangkah ke dunia sains eksak melalui mainan yang biasanya dimiliki oleh anak laki-laki. Kita juga dapat membantu mendorong mereka untuk mempelajari keterampilan yang lebih beragam dan memperluas jumlah posibilitas yang mereka pilih.

Dalam kehidupan dewasa, sangat mungkin stereotip ini ditegaskan kembali oleh konflik-konflik yang tidak terselesaikan baik antara laki-laki dan perempuan. Mengingat kultur stereotip gender di Indonesia masih kuat, maka gender yang berbeda diasuh untuk mengutamakan nilai-nilai yang berbeda.

Dalam buku best-seller “Men are from Mars, Women are from Venus”, John Gray menjelaskan bahwa pria dan wanita pada dasarnya memiliki metode yang berbeda dalam mengkalkulasi value dari tindakan mereka, yang sering menyebabkan konflik. Salah satu contohnya adalah ketika menghadapi suatu masalah, banyak pria memandang bantuan yang tidak diminta sebagai hal yang melemahkan upaya mereka untuk memecahkan masalah sendirian, sedangkan wanita lebih memilih berkomunikasi dan kerjasama untuk memecahkan masalah bersama. Ketika situasi di dalam sebuah hubungan asmara mulai berubah menjadi masam, respon alaminya adalah mengerungkan dahi seraya berkata “Mantan saya gila!” misalnya. Lebih mudah untuk mempertimbangkan bahwa semuanya adalah kesalahan lawan jenis ketimbang kita yang salah, sehingga semakin berkontribusi pada stereotip yang sudah ada.

Pemerintah juga semestinya harus turut ikut andil dalam menghentikan stereotip. Seperti sejumlah pemerintah yang sudah mulai mengambil tindakan atas hal ini. Inggris, misalnya. Terhitung sejak tahun 2019, Inggris membuat keputusan untuk melarang iklan yang mempromosikan stereotip gender. Mungkin salah satu langkah pertama bagi Indonesia adalah mereformasi sekolah dengan menghilangkan stereotip dalam buku-buku mata pelajaran yang dirancang oleh pemerintah.

Ariyodhani Muhammad
Ariyodhani Muhammad
Desainer antarmuka, jurnalis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.