Saya Aisha Fabella, saya perempuan, dan alhamdulillah saya tidak merasakan adanya bias gender di Indonesia. Saya bisa bertumbuh kembang, belajar, sekolah, bersuara, sampai bersosial media yang sama seperti laki-laki.
Menurut sejarah, Shima sudah menjadi raja Kalingga pada 674 M dengan gelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara. Dyah Gitarja sudah menjadi raja majapahit pada 1328 M dengan nama Sri Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani, ibunda beliau, Gayatri atau Rajapatni yang merupakan anak Kertanegara juga merupakan ekonom sekaligus politikus Majapahit. Sedangkan feminisme sendiri dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis bernama Charles Fourier pada tahun 1837.
International Women’s Day dilatarbelakangi oleh kampanye perempuan di New York pada tahun 1911 dan oleh aksi-aksi damai di Rusia dan Eropa pada Perang Dunia 1 tahun 1913 dan 1914. PBB mengakui secara resmi International Women’s Day pada tahun 1975.
Di Nusantara, Dewi Sartika sudah mendirikan sekolah isteri di tahun 1904 di Bandung dan pada 1912 sudah ada 9 sekolah, lalu beliau diakui sebagai Pahlawan Nasional tahun 1966. Maria Walanda Maramis juga sudah mendirikan sekolah organisasi perempuan bernama PIKAT tahun 1917 di Manado dengan didukung suaminya yaitu Jozef Frederik Calusung Walanda.
Di sini, saya menggunakan perspektif gender di Indonesia bahwa yang diakui hanya ada laki-laki dan perempuan, lain dengan yang ada di negara lain seperti Thailand. Menurut saya, bias yang ada antara laki-laki dan perempuan di Indonesia hanya diciptakan secara subjektif karena perasaan-perasaan atau pemikiran-pemikiran yang tumbuh dalam individu itu sendiri.
Saya tidak setuju ketika dikatakan bahwa perempuan selalu didiskriminasi dan dinomorduakan. Justru seharusnya, laki-laki yang harus merasa didiskriminasi karena di Indonesia ada Komnas Perempuan sejak 1998 dan tidak ada Komnas Laki-laki, ada banyak organisasi dan lembaga khusus perempuan tapi jarang ditemui lembaga khusus laki-laki.
Banyak sekali kajian dan pembahasan tentang pelecehan seksual, kekerasan, dan lain sebagainya yang diklaim sebagai masalah perempuan. Tidak, sama sekali tidak. Saya memandang bahwa itu bukan masalah keperempuanan, itu adalah masalah kemanusiaan, dimana bukan hanya perempuan yang bisa menjadi korban.
Justru pandangan saya mengenai masalah perempuan adalah “mental didiskriminasi”, “mental dinomorduakan”, bahkan “mental dijajah” yang harus dihapus. Perempuan itu istimewa dan dalam agama yang saya yakini, bahkan perempuan lebih istimewa daripada laki-laki. Jadi sangat disayangkan ketika menjadi perempuan tapi membatasi diri karena anggapan yang terjadi di masyarakat.
Peran organisasi dan lembaga perempuan yang membeludak di Indonesia saat ini harus lebih berfokus pada pengembangan sumber daya dan advokasi perempuan jika dibutuhkan. Atau jika ingin melakukan edukasi perempuan, bisa lebih dispesfikan lagi misalnya edukasi menstruasi, edukasi kehamilan, dan sejenisnya yang memang kurang bisa dibahas oleh organisasi atau lembaga umum.
Saya belum paham mengenai apa yang terjadi dengan perempuan lain yang merasa didiskriminasi atau merasa dinomorduakan, mungkin saya memerlukan pendapat dari teman-teman yang ingin berbagi sudut pandang agar saya juga lebih memahami apa yang belum saya ketahui.
Sekian dan terima kasih.