Senin, Desember 9, 2024

Perempuan Desa, Social Capital yang Terabaikan

John L Hobamatan
John L Hobamatan
Direktur Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang, Penulis Lepas
- Advertisement -

Pangan lokal, tidak selalu dikaitkan dengan wilayah sebaran atau wilayah budidaya tetapi juga berhubungan dengan peta konsumsi masyarakat. Oleh karena itu wajar jika tanaman padi sebagai sumber karbohidrat, mengisi setiap jengkal tanah di wilayah pedesan Indonesia, namun beras tidak masuk dalam kategori pangan lokal karena peta konsumsinya yang meng-global.

Sebaliknya jagung, sorgun, ubi-ubian, sagu, dan banyak lagi, dikategorikan sebagai pangan local. Pangan non-beras ini  mempunyai peran penting, baik sebagai sumber keragaman pangan untuk pencapaian ketahanan pangan dan gizi keluarga, juga menjadi katup pengaman dalam menjaga pasokan pangan, maupun penggerak ekonomi daerah.

Berdasarkan Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non Beras (2020 -2024) Indonesia  adalah negara dengan kekayaan sumber daya keanekaragaman hayati tak terkira. Kita memiliki 77 jenis pangan sumber karbohidrat, 389 jenis buah, 228 jenis sayuran, 75 jenis pangan sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, dan 110 jenis rempah/bumbu. Seberapa jauh kelimpahan berkat ini membawa implikasi positif pada kesejahteraan baik ekonomi dan kesehatan? Ini sebuah gugatan yang perlu dielaborasi.

Mencermati pola konsumsi pangan yang diindikasikan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi pangan masyarakat belum menunjukkan kondisi yang ideal. Pada tahun 2018, skor PPH sebesar 91,3, pada tahun 2019 bergeser menjadi 90,8. Angka acuannya adalah 100. Kecenderungan pilihan  konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian terutama beras, yaitu sebesar 65,7 persen. Angka ini memang lebih besar dari angka yang direkomendasikan, yaitu sebesar 50 persen. Namun gambaran tentang konsumsi pangan lokal belum mencapai hal yang ideal.

Pilihan pola konsumsi yang masih cenderung pada beras, secara hipotesis bisa dipetakan penyebabnya. Pertama, akses yang dimiliki masyarakat  di wilayah pedesaan terhadap kekayaan diversifikasi pangan yang menjadi sumber kekayaan di lingkungannya masih rendah. Kedua, keterampilan pengelolaan yang memenuhi aspek higienis, peningkatan citra, citarasa, serta keterampilan pengelolaan dan penyajian, belum mampu menarik minat konsumen.

Karena pangan dan konsumsi berhubungan dengan pengelolaan maka perempuan menjadi elemen kunci. Mengapa perempuan ? Ini menjadi salah satu pertanyaan pokok yang perlu ditelaah. Perempuan dalam konteks pangan, tidak hanya mengait kepada equality (kesederajatan) tetapi justify (pengakuan peran social).

Perempuan adalah elemen penting  dalam upaya peningkatan gizi keluarga dan kesehatan. Pada sisi lain, perempuan adalah juga pelaku ekonomi. Akses  perempuan terhadap pangan local dengan berbagai diversifikasinya, membuka ruang partisipasi yang lebih besar bagi perempuan untuk  mengembangkan pola konsumsi keluarga  demi peningkatan gizi dan juga secara ekonomi mengeliminasi kemiskinan dalam skala local.

Pangan menuju SDGs

Penting dan strategisnya pangan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) maka Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bergegas melacak capaian perkembangan pangan dan pertanian dalam kaitannya dengan evaluasi indicator SDGs terdampak. Hasilnya disampaikan dalam laporan bertajuk ”Melacak kemajuan pada indikator SDGs terkait pangan dan pertanian 2021” (Tracking progress on food and agriculture-related SDG indicators 2021. Rilis dilaksanakan bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi Sistem Pangan (PBB) di Roma pada akhir September 2021. Forum Politik Tingkat Tinggi  mencatat bahwa dunia ”keluar jalur” untuk memenuhi SDGs. ” (Kompas, 16 Oktober 2021).

Hasil tracking juga menggambarkan bahwa situasi saat ini belum membaik secara signifikan. Bahkan pandemi Covid-19 telah membuat perkembangan beberapa indikator SDGs menurun. Salah satu indikator penting yang berkorelasi dengan SDGs adalah masalah kesehatan dan gizi yang berpengaruh signifikan terhadap pembangunan manusia unggul: manusia yang secara fisik sehat dan secara intelektual memiliki kapasitas untuk merenspons setiap perubahan social secara memadai.

Indikator  tentang kesehatan dan gizi merujuk pada pangan dan perempuan. Secara teoritik masih banyak elemen yang berkorelasi dengan kesehatan dan gizi namun dua hal ini dianggap memiliki implikasi langsung pada pembangunan manusia. Gizi berhubungan ketersediaan pangan, diversifikasi pangan, kelayakan, sedangkan perempuan berkaitan dengan akses pangan bagi konsumsi keluarga, dan pola asupan yang mendukung kesehatan ibu dan anak.

- Advertisement -

Perbaikan gizi keluarga dengan membuka ruang bagi keterlibatan perempuan dapat menjadi jalan masuk untuk menjawab skenario optimistik pemerintah dalam penurunan stunting ( tengkes) dari 27,7 persen menjadi 14,0 persen dan anemia ibu hamil dari 48,9 persen saat ini menjadi kurang dari 20 persen. Di samping itu akan ada banyak masalah kesehatan dan ekonomi yang bisa dikendalikan.

Partisipasi Perempuan 

Penyediaan pangan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya bagi seluruh penduduk sehingga dapat memenuhi standar hidup yang layak, merupakan kewajiban negara. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar itu merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Jaminan ini menjadi lebih bermakna jika ada langkah-langkah konkret  dalam grand desain pengembangan sector pertanian yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pangan. Dalam konteks ini, pengembangan pangan local baik luas wilayah persebaran  maupun sentuhan teknologi dalam pemeliharaan dan pengelolaan pascapanen hendaknya menjadi sebuah pilihan kebijakan.

Ada potensi SDM perempuan yang dapat digerakkan ke sector pertanian. Potensi pertama adalah 26,6 persen perempuan yang saat ini sudah terlibat dalam sector ini. Kepada mereka perlu didorong dengan lebih dahulu melakukan modernisasi pertanian, akses permodalan, bimbingan ketrampilan teknis sehingga jumlah SDM yang potensial itu tidak bertahan sebagai buruh tani yang mengukuhkan kemiskinan structural.

Potensi kedua adalah perempuan yang bergerak di bidang usaha penjualan yang sampai dengan tahun 2020  tercatat sebesar  27,55 persen. Jika jumlah ini dapat digerakkan untuk pemasaran produk pertanian olahan dan kuliner, tidak  mustahil, mereka akan memberi kontribusi besar pada peningkatan kesejahteraan keluarga baik gizi dan kesehatan.

Akses yang terbatas menjadi penyebab kemiskinan tetap bertahan di desa bahkan juga di perkotaan. Dengan demikian, walaupun potret perekonomian global secara statistik menggambarkan ada penurunan tingkat kemiskinan, namun factor penyebab kemiskinan terutama  mereka yang menggantungkan hidup di sektor pertanian tidak tertangani dengan baik.

John L Hobamatan
John L Hobamatan
Direktur Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang, Penulis Lepas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.