Sengakrut pangan selalu berulang. Awal tahun ini dihebohkan berita pengrajin tempe tahu dibuat merana dengan hilangnya kedelai dipasar. Tak lama berselang, pedagang daging sapi pusing tujuh keliling lantaran terganggunya pasokan daging impor yang berdampak melambungnya harga daging sapi.
Padahal pangan merupakan kebutuhan dasar manusia agar dapat hidup sehat, aktif, serta produktif secara berkelanjutan. Begitu pentingnya pangan, wajar mendiang persiden pertama RI, Ir. Soekarno mengaitkan pangan ini dengan hidup matinya bangsa.
Hampir semua jenis tanaman pangan bisa tumbuh subur di Indonesia. Namun, keunggulan komparatif ini belum dimanfaatkan secara optimal akibat minimnya strategi jitu pemerintah. Kurun waktu dua dekade terakhir, Indonesia terus terbelit persoalan krusial pangan. Hal ini tercermin dari Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI). .
Angka GFSI, memang menunjukkan tren peningkatan sejak 2015 hingga 2019 (46,7 ke 62,6). Hal ini diikuti dengan membaiknya peringkat Indonesia ke posisi 62 dari 113 negara. Walaupun demikian, bukan berarti bayangan kerawanan pangan hilang. Setahun sudah pandemi Covid-19 hidup berdampingan dengan kita. Realita ini memberi hantaman keras bagi mereka yang bekerja dan mendapat upah harian. Bahkan, ada jutaan masyarakat yang harus menelan pil pahit karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dampaknya angka kemiskinan merangsek naik.
Sebelum pandemi, angka kemiskinan di Indonesia tercatat 9,22 persen. Kementrian sosial memprediksi pandemi ini menyebabkan kemiskinan meningkat menjadi 13,22 persen. Sedangkan Bank Indonesia memproyeksikan angka kemiskinan naik ke 11,25 persen menjadi 30,3 juta orang.
Sektor pertanian, sebagai sumber penghasil pangan utama masih tersandera berbagai kendala. Antaranya, kepemilikan lahan yang tidak mencapai skala ekonomi, tidak adanya perlindungan lahan produktif, minimnya penggunaan teknologi, hingga tidak terintegrasinya antara sektor hulu dan hilir. Kondisi itu diperparah minimnya insentif bagi petani dan kebijakan perdagangan yang tak berpihak terhadap petani dan produknya.
Alhasil, produksi pangan dalam negeri masih kedodoran memenuhi kebutuhan. Importasi pangan pun jadi mantra sakti dan nihil solusi jangka panjang. Pada Januari-November 2020 lalu, impor bahan pangan utama mencapai 7,5 miliar dollar AS. Terdiri dari beras, gandum, jagung, kedelai, gula pasir, bawang putih, dan bawang merah.
Sengkarut kehancuran masif modal sosial petani dan pertanian dimulai ketika Indonesia menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1997-1998 silam. Kala itu, Indonesia harus meliberalisasi pasar, termasuk pasar pangan. Pelbagai subsidi, termasuk perlindungan petani dari gempuran impor, dihapus. Ketiadaan jaminan harga membuat kehancuran modal sosial petani dan pangan mencapai titik sempurna. Petani sering rugi ketimbang untung. Kalaupun untung, nilai keuntungan kalah dari pendapatan usaha lain. Sebagai makhluk ekonomi, petani pun meninggalkan sawahnya dan beralih jenis usaha.
Dampaknya, produksi pertanian kita semakin ambruk. Angka impor pangan kian tak terkendali. Tiap tahun Indonesia mengalami defisit pangan senilai miliaran dolar AS. Hal ini menyebabkan devisa negara banyak terkuras. Nilai tukar rupiah sulit menguat terhadap mata uang lain, khususnya dolar AS. Selanjutnya, perekonomian Indonesia terus tergerus inflasi barang impor.
Tak mampu memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, Indonesia kerap mengalami gejolak harga diikuti kelangkaan pangan. Hampir setiap menjelang perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru, gonjang ganjing harga bahan pangan tak terelakan. Seperti terjadi belakangan ini, kelangkaan pangan mendera kita. Padahal, gejolak harga pangan sangat berisiko. Ia menyokong 50 persen terhadap laju inflasi dan 75 persen terhadap garis kemiskinan.
Pandemi Covid-19 berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbagai kebijakan yang dilakukan seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB membuat intensitas kehidupan sosial menjadi menurun, karena relasi sebagai dasar kehidupan perekonomian dibatasi. Dampak ekonomi pandemi Covid-19 terhadap sistem mutu dan pangan adalah turunnya pendapatan rumah tangga akibat terganggunya aktivitas ekonomi. Selain itu, terhambatnya lalu lintas barang, termasuk pangan antarwilayah sehingga ketersediaan pangan di tingkat pengecer dan rumah tangga terganggu.
Peraturan PSBB selain berdampak pada distribusi pangan, yang dapat berpengaruh pada kenaikan harga pangan, juga memengaruhi pendapatan masyarakat. Penurunan pendapatan dipastikan berdampak pada penurunan permintaan pangan. Hasil kajian McKibbin & Fernando (2020) menunjukkan bahwa permintaan barang-barang pertanian diprediksi menurun 8,29 persen. Penurunan permintaan pangan ini dapat berlangsung lama karena sampai bulan Desember 2020 diperkirakan pertumbuhan ekonomi masih minus. Salah satu faktor penyebabnya adalah menurunnya konsumsi rumah tangga. Daya beli masyarakat yang hilang selama pandemi diperkirakan mencapai Rp362 triliun.
Kerawanan masyarakat mengakses pangan sehat dan bergizi akan menekan sistem kekebalan tubuh yang meningkatkan risiko kesehatan termasuk peluang terpapar Covid-19. Bila penurunan kualitas konsumsi pangan ini tidak segera ditangani dikhawatirkan akan menambah prevalensi masyarakat yang mengalami rawan pangan. WFP (2020) memperkirakan terjadi peningkatan angka kurang gizi sebanyak 20 persen.
Menilik estimasi UNICEF, bila tidak ada kebijakan tepat dan cepat, jumlah anak yang mengalami kekurangan gizi akut di bawah 5 tahun dapat meningkat secara global sekitar 15 persen tahun ini karena pandemi. Kasus Indonesia sendiri, 3 dari 10 anak berpotensi rawan pangan, sebelum pandemi covid 19. Kini, rawan pangan berpotensi lebih parah. Kondisi ini akan menghambat upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024
Respons untuk perbaikan kisruh pangan dapat dilakukan antara lain: Pertama, pemerintah perlu terus berupaya menyediakan pangan pokok dalam jumlah cukup. Selain harus memastikan bahwa petani tidak mengalami kendala dalam menjalankan usaha.
Kedua, memastikan tersedianya pangan sumber protein hewani seperti telur dan daging dalam jumlah cukup dan harga yang terjangkau bagi masyarakat yang daya belinya menurun.
Ketiga, mendorong diversifikasi produksi pangan berbasis pangan lokal, terutama pangan sumber karbohidrat. Keempat, pemanfaatan pekarangan, dengan melibatkan peserta
program kelompok wanita tani, karang taruna, santri, dan organisasi pemuda lainnya. Selain itu, optimalisasi teknologi, guna perbaikan tatalaksana pangan untuk menghasilkan bahan pangan mulai dari hulu ke hilir tidak dapat ditawar.
Terakhir, pemerintah perlu menjaga daya beli masyarakat. Program perlindungan dan bantuan sosial, perlu diawasi secara ketat pelakanaan dilapangan. Supaya mempersempit gerak peyelewengan kebijakan oleh oknum yang kerap terjadi.
Selama kita tak punya desain pangan yang jelas, hal tersebut hanya memperdalam sengkarut pangan dan defisit berkepanjangan. Alhasil, hal ini malah bisa menjegal swasembada dan daulat pangan.