Kamis, April 25, 2024

Perda Syari’ah dalam Perspektif Kebebasan Sipil

Lukfi Kristianto
Lukfi Kristianto
Im a student

Tulisan ini tidak hendak membahas dan menjustifikasi soal pernyataan Ketum PSI, Grace Natalie terkait penolakannya terhadap Perda-perda Syariah dan atau Injil, yang dianggap kontoversial dan ‘menista’kan agama oleh beberapa pihak. Tentunya juga tidak bermaksud mengkampanyekan tagar #GraceAdalahKami, apalagi #SaveGempi, jelas tidak. Melainkan hanya ingin turut mengulas eksistensi perda syariah dengan prespektif kebebasan sipil dalam konteks keindonesiaan.

Terlepas dari preferensi dan bias politik, sebetulnya cukup disayangkan terkait dikriminalkannya pernyataan politik Grace tersebut. Selain menunjukan gagapnya kita dalam menjalankan apa yang disebut Jurgen Habermas dengan  “demokrasi deliberatif” juga membuka mata kita bahwa terdapat kecacatan logika elit politik dalam memilah wacana dan komoditas politik.

Sebagai negara demokrasi konsekuensi logisnya adalah kedaulatan rakyat diatas segala tanpa diskriminasi perseorangan atau kelompok dan penjaminan penuh kebebasan sipil. Mengapa ini menjadi penting? Karena demokrasi diskriminatif dan tanpa kebebasan sipil (atau gangguan terhadapnya), hanya akan menampilkan oligarki berwajah demokrasi. Kebebasan sipil tidak lain adalah bahan bakar demokrasi itu sendiri, menjalankan kebebasan sipil sama dengan menjalankan roda demokrasi.

Kebebasan Sipil dan Kebebasan Beragama dalam Lingkaran Perda Syariah

Kebebasan sipil sederhananya adalah kebebasan individu warganegara untuk mendapatkan kesempatan yang sama sebagai warganegara untuk mengejar cita­citanya, atau untuk merealisasikan dan mengekspresikan dirinya secara penuh, terlepas dari bawaan­ bawaan primordial yang melekat.

Kebebasan sipil adalah sub dan bagian dari hak asasi manusia pada dimensi manusia dalam menjalankan praktik kewarganegaraan. Artinya tidak ada pemisahan dan pengkhasan antara kebebasan sipil dan hak asasi manusia secara universal, termasuk didalamnya kebebasan berserikat, berekspresi, kebebasan beragama dan seterusnya.

Hadir dan mencuat kembalinya perda syariah akhir-akhir ini bisa dikatakan sebagai ancaman kebebasan sipil, utamanya kebebasan beragama selain merupakan diskriminasi yang bertolak belakang dengan prinsip dasar demokrasi (kesamaan, kesetaraan dan keadilan).

Tentunya wacana produk yang berbau formalisasi agama semacam ini harus betul mendapat porsi diskusi yang cukup. Pasalnya produk hukum sejatinya mencangkup seluruh warga masyarakat sebagai obyek hukum, selain itu dampak diskriminatif pasti dirasakan pihak minoritas.  Perlu dipertanyakan kembali pengamalan prinsip hukum dan komitmen kebangsaan kita.

Meskipun dalam beberapa Undang-undang dijelaskan bahwa urusan agama adalah kewenangan Pemerintah  pusat, tapi semangat otonomi daerah membuat masing­ masing daerah merasa berwenang membuat aturan. Dalam penerapannya dalam beberapa kasus seperti di Bulukumba, Bekasi, Manokwari dan lainya, Perda bernada syariah benar terasa mengusik kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Secara umum, kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup kebebasan untuk memilih dan memeluk agama, kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama, kebebasan untuk tidak didiskriminasi atas dasar agama, dan bahkan kebebasan untuk tidak beragama. Kebebasan itu mencakup pula kebebasan seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan keyakinan dan nilai-nilai agama, sejauh hal itu tidak mengakibatkan hilang atau terhambatnya kebebasan agama orang atau kelompok lain.

Idealnya, berarti harus ada jaminan konstitusional bahwa pemerintah tidak akan menetapkan agama atau agama tertentu sebagai agama resmi satu negara. karena begitu esensialnya kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi hidup manusia, maka hal itu sudah lama dianggap  sebagai bagian dari ­hak asasi manusia.

Sejalan dengan prinsip ini, tidak boleh ada kebijakan apa pun yang terkait dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dihasilkan berdasarkan suara mayoritas. Dalam demokrasi, prinsip inilah yang dikenal sebagai “majority rule, minority rights”: sementara kebijakan publik secara umum memang harus didasarkan atas suara mayoritas, ­hak kelompok minoritas tertentu sama sekali tidak boleh dilanggar. Prinsip inilah yang sedang digerogoti di indonesia oleh praktik yang  disebut “islamisasi” (versi islam tertentu) ruang publik dengan diterbitkannya Perda bernuansa Syari’ah.

Resiko Penerapan Perda Syariah

Mengingat kompleksitas yang tinggi masyarakat kita, tentunya penerapan Perda yang bernada formalisasi produk agama akan menghadapkan kita pada berbagai macam konsekuensi, umumnya berkaitan dengan relasi dominasi oleh masyarakat penganut agama mayoritas.

Pertama adalah peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama. Dalam dimensi pertama ini, yang disoroti bukan saja apakah undang­-undang atau peraturan sebuah negara menghormati kebebasan beragama, tapi juga apakah undang­-undang atau peraturan itu dapat dijalankan.Pemerintah turut campur dalam mengatur kebebasan seseorang untuk ber­ibadah. Misalnya melarang misionaris internasional atau lokal bekerja, atau membatasi upaya dakwah, pindah agama, dan lainnya.

Yang kedua adalah pengistimewaan pemerintah terhadap kelompok­ kelompok agama tertentu. Dimensi ini seringkali kurang diperhatikan, karena hal itu sudah dianggap “natural”, given, di satu konteks nasional tertentu. misalnya, ­negara seperti iran atau inggris mengistimewakan “agama ­agama historis” tertentu. Misalnya Yunani, hanya mengistimewakan Gereja Ortodoks, salah satu bentuk pengistimewaan yaitu mudahnya pembangunan rumah ibadah, pendidikan, dana hibah pemerintah, dan seterusnya bagi agama tertentu.

Yang ketiga adalah regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Di sini, yang disoroti adalah sejauh mana kelompok agama tertentu membatasi kebebasan beragama kelompok lain. Di negara seperti Pakistan atau afghanistan, praktik perpindahan agama misalnya, bisa mengakibatkan seseorang dibunuh. Dalam dimensi ini juga disoroti kasus di mana kelompok agama tertentu mendukung atau menentang pemerintah, sehingga dari sana muncul peraturan tertentu yang berakibat pada terhambatnya kebebasan beragama suatu kelompok.

Jalan Tengah

Dalam sistem demokrasi modern, prinsip kebebasan beragama hampir selalu diejawantahkan dalam bentuk keharusan untuk memisahkan antara urusan negara dan urusan agama. Harus diingat bahwa pemisahan di sini artinya bukan permusuhan negara atas agama, tetapi netralitas negara dalam urusan agama. ini tidak berarti bahwa keyakinan dan nilai ­nilai agama tidak punya tempat dalam politik atau pemerintahan.

Dalam hal ini, agar tidak ada agama tertentu yang diistimewakan negara hanya karena klaim  kebenaran, maka warganegara yang memercayai kebenaran itu harus menyampaikannya ke ruang publik dalam dan bisa didiskusikan secara bebas oleh penalaran publik (public reason).

‌Agama harus siap untuk masuk ke dalam ruang publik, dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka, melalui perdebatan yang rasional. karena argumen publik bersifat trans­ subyektif, maka apa pun yang berasal dari agama tidak boleh diistimewakan, melainkan hanya dapat diterima setelah ia terbukti dapat dibela oleh penalaran publik.

Lukfi Kristianto
Lukfi Kristianto
Im a student
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.