Rabu, April 24, 2024

Perbedaan Balai Pustaka dengan Pujangga Baru

Siti Rinjani
Siti Rinjani
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saat ini masyarakat Indonesia mulai mengabaikan sastra Indonesia, anak muda Indonesia pun seringkali mengabaikan pelajaran sastra Indonesia. Pada kenyataannya, mempelajari sastra sangat penting karena selain untuk menganalisis berbagai jenis karya sastra, juga mencakup sejarah perkembangan sastra dari masa lalu hingga saat ini.

Yang dimaksud dengan “sastra Indonesia” adalah berbagai karya sastra karya sastrawan Indonesia, antara lain puisi, prosa, dan esai. Sastra Indonesia pada umumnya mengacu pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang berakar Melayu, seperti Singapura dan Malaysia.

Kesusasteraan Indonesia dibagi dalam beberapa bagian, yaitu: Pujangga Lama, Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan 50-an, Angkatan 66-70-an, Dasawarsa 80-an dan Angkatan Reformasi. Awal mula perkembangan sastra modern ialah Terbentuknya Komisi Bacaan Rakyat, yang kemudian dikenal sebagai Balai Pustaka, pada tahun 1908 menandai awal perkembangan sastra Indonesia kontemporer. Banyak penulis Indonesia yang merilis karyanya melalui media setelah berdirinya Balai Pustaka.

Balai Pustaka didirikan pada saat itu untuk menangkal pengaruh negatif bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah, yang menekankan pada kehidupan pernyaian (cabul) dan dipandang memiliki misi politis (liar). Sementara Pujangga Baru muncul karena masyarakat Indonesia khususnya pengarang, diam-diam membentuk organisasi baru yang diberi nama Pujangga Baru. Nama tersebut terinspirasi dari judul majalah yang pertama kali mereka terbitkan pada 29 Juli 1933.

Menurut Eneste (1988:10—15) mencatat bahwa pada mulanya ada tiga belas pengarang yang mempublikasikan karya mereka melalui Balai Pustaka, yaitu Abdul Muis, Buya HAMKA, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Merari Siregar, Adinegoro, Muhammad Kasim, Suman Hs, Aman Datuk Majoindo, Tulis Sutan Sati, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Rivai Ali dan Abas Sutan Pamuncak. Ketiga belas sastrawan tersebut mempublikasikan karya mereka di Balai Pustaka sekitar tahun 1920-1930 dan dianggap sebagai Angkatan Balai Pustaka yang berupa penjelmaan dari Komisi Bacaan Rakyat dan juga merupakan angkatan pertama dari sastra Indonesia modern. Atmazaki, Hasanuddin W.S, Juita dan Emidar (1998:1).

Pada masa itu, perubahan-perubahan yang dimulai dengan berdirinya pergerakan nasional Budi Utomo (1908) mendorong penggunaan sastra Melayu yang lebih beradab, dibandingkan dengan hal-hal cabul yang lazim dalam sastra Melayu Rendah.

Walaupun pada mulanya penulis-penulis generasi ini didominasi oleh orang Sumatera, namun begitu Sumpah Pemuda yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia diproklamasikan pada tahun 1928, muncullah penulis-penulis dari daerah lain, seperti I Gusti Panji Tisna dari Bali dan M.R Dayoh dari Sulawesi Utara.Karena Majalah Pujangga Baroe pertama kali diterbitkan pada 29 Juli 1933 oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijin Pane, dan Sanusi Pane, maka Angkatan Pujangga Baru juga dikenal sebagai Generasi ke-33.

Pasalnya, banyak artikel karya penulis seperti Buya Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Suman Hasibuan berbau politik nasionalis yang menyulut semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Akhirnya, mereka membentuk partai politik bernama Pujangga Baroe secara rahasia. Bangsa Indonesia telah terdidik berkat pendidikan penahanan.

Balai Pustaka: Pada tahun 1908, Belanda mendirikan Balai Pustaka yang menyediakan bahan bacaan untuk penduduk setempat. Balai Pustaka pada awalnya dikenal dengan nama Commissie voor de Volkslectuur atau komisi membaca rakyat yang sudah ada sejak tahun 1903. Kelas Pujangga Baru dinamai jurnal sastra yang didirikan pada tahun 1933.

Pujangga Baru adalah nama penerbitannya. Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane adalah editor majalah Pujangga Baru dan Penyair Baru didirikan oleh keempat tokoh tersebut. Sastra Indonesia memiliki perbedaan tersendiri yang menentukan setiap periodisasi.Berikut perbedaan antara Penerbit Balai Pustaka dan Pujangga Baru:

Balai pustaka

1. Bahasa Melayu

Bentuk tulisan ditulis dalam bahasa Melayu, yang merupakan bahasa nasional Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.

2. Novel dalam Gaya Rakyat

Novel-novel yang melibatkan cerita rakyat asli dan isu-isu komunal yang tidak menyenangkan adalah salah satu karya sastra yang bisa diterbitkan. Topik yang dibahas dalam teks terbatas pada praktik komunal seperti kawin paksa dan perbedaan kekayaan antara si kaya dan si miskin.

3. Penerbit Kolonial

Penerbitan itu didirikan oleh penguasa kolonial yang tidak ingin masyarakat adat tumbuh dalam kebebasan berpikirnya. Teks-teks yang diterbitkan hanyalah dongeng-dongeng imajiner yang berpotensi mempengaruhi pandangan inferior dan kecurigaan orang terhadap orang lain.

4. Buku murah

Balai Pustaka hanya menerbitkan buku dengan biaya yang sangat rendah agar masyarakat adat mampu membelinya. Ini bertujuan untuk menurunkan harga pasar media cetak ke tingkat yang sangat rendah, yang akan mengurangi jumlah media cetak yang dibeli oleh penduduk asli.

Pujangga baru

1. Dimiliki dan dioperasikan oleh penduduk asli

Penulis pribumi meluncurkan majalah Pujangga baru dengan tujuan mengedukasi masyarakat tentang kebebasan berpendapat. Selanjutnya, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat adat agar mereka mencintai tanah air dan anti kolonial.

2. Bahasa Indonesia

Bentuk tulisan menggunakan bahasa Indonesia, yang ditetapkan sebagai bahasa pemersatu negara pada tahun 1928 oleh para pemuda negara. Tentu saja, penyair baru memenuhi tanggung jawab sumpah pemuda 28 dengan mendidik masyarakat adat dalam penggunaan bahasa persatuan.

3. Tulis esaiDari sudut pandang penulis, lahirnya tulisan esai telah membuat penulis lebih kreatif dalam berpikir dan menulis. Penulisan esai juga dapat membantu pembaca mempertimbangkan dari sudut pandang pembaca, memungkinkan mereka untuk berpikir secara bebas.

4. Teater dan Drama

Selain itu, penyair baru merupakan cikal bakal perkembangan penulisan drama dan teatrikal yang dapat dilihat dan dipentaskan dalam kehidupan nyata. Hal ini menghidupkan sastra teater dan memungkinkannya untuk dialami dalam pertunjukan seperti wayang.

5. Modern

Dengan mengadopsi kosakata yang diperluas dan tidak terlalu dibatasi oleh konvensi puisi lama, bahasa dan aturan yang sedikit modern muncul. Selain itu, tujuan utamanya adalah memberikan tulisan yang berkualitas tinggi, informatif, dan gaya penulisannya harus sederhana agar mudah dipahami pembaca.

Dapat kita simpulkan bahwa, meskipun generasi Balai Pustaka dan Pujangga Baru berdekatan dalam hal waktu, masing-masing periode memiliki berbagai karakteristik yang berbeda. Antara lain, cerita yang berlatar masa Balai Pustaka berpusat pada masalah perkawinan, harta benda, dan kehidupan sosial yang terjadi pada saat itu. Mereka juga menggunakan bahasa perbandingan, yang populer di kalangan generasi Penyair Tua. Hal ini berbeda dengan komposisi periode Pujangga Baru yang lebih hidup, bersatu, dan antikolonial.

Siti Rinjani
Siti Rinjani
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.