Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi sastra oleh Rene Wellek (1968: 39) dibagi menjadi tiga, yaitu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Kesusastraan suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, sejarah sastra itu tak lain dari rangkaian periode-periode sastra.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Itu sebabnya menyajikan sejarah merupakan upaya untuk menyampaikan apa yang terjadi di masa lampau. Pergantian generasi yang terjadi terus menerus menjadikan upaya menyajikan sejarah menjadi aktivitas yang sangat menarik dan penuh kepentingan.
Pengertian periode menurut Wellek (1968: 265) adalah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, keberagaman, penyebarannya, integrasi dll. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan sastra Indonesia atau penulisan sejarah sastra Indonesia tidak lepas dari pembicaraan masalah angkatan dan periodisasi.
Perkembangan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai saat ini memperlihatkan kelanjutan sejarah. Hal ini tercermin dari berbagai pembabakan atau periode sastra yang dikemukan oleh berbagai pakar. Berkenaan dengan pembabakan dalam perkembangan Kesustraan Indonesia, Ajip Rosidi lebih memiliki Periode dibandikan angkatan.
Penggunaan “angkatan” dalam kesusastraan Indonesia telah menimbulkan kekacuan. Dalam suatu periode mungkin saja ada beberapa angkatan. Periode berdasarkan adanya norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman.
Ahli sastra selanjutnya, Ajib Rosidi (1970:19), berpendapat bahwa persoalan angkatan dibagi dua. Pertama adalah mereka yang menafsirkan masalah angkatan ini secara subjektif dari kedudukannya sebagai pengarang (approach pengarang) dan kedua adalah mereka yang melihatnya secara objektif berdasarkan karya-karya sastra yang nyata. Ketidak konsistenan terlihat seperti dalam penyebutan suatu periode yang bermacam-macam.
Sebagai contoh, dalam periode 1920-an, ada yang mengatakannya sebagai periode Balai Pustaka, angkatan Balai Pustaka, atau bahkan angkatan Siti Nurbaya. Oleh karena itu, Ajib Rosidi pun menggunakan istilah periode, bukan angkatan, dalam pembabakan waktu (periodisasi sastra) karena menurutnya, angkatan dalam sastra Indonesia menimbulkan berbagai kekacauan pengertian.
Menurut Sarwadi dalam buku Sejarah Sastra Indonesia Modern (2004:21), periode adalah sekadar kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh suatu sistem norma tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara pengucapan yang khas yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Selain istilah periode dan angkatan, masalah lain yang timbul dalam sejarah sastra Indonesia modern adalah ketidakkonsensistenan pada setiap periodenya. Berikut diuraikan beberapa hal yang terjadi pada angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan 45 yang mempunyai banyak “masalah”, baik dari sisi hasil karyanya maupun sastrawan yang terdapat di dalamnya.
Pertama, pada periode 1920-an (angkatan Balai Pustaka), ketidakkonsistenan terjadi pada zamannya. Angkatan Balai Pustaka adalah angkatan pertama dalam sejarah sastra Indonesia modern yang sangat berperan dalam perkembangan sastra Indonesia. Balai Pustaka awalnya adalah nama sebuah lembaga penerbitan dan percetakan yang didirikan oleh kolonial Belanda yang kemudian juga menjadi suatu nama angkatan sehingga sering disebut sebagai angkatan Balai Pustaka oleh para sastrawan.
Karya-karya sastra yang diterbitkan pada masa ini harus memenuhi syarat dan aturan yang telah ditetapkan dalam Nota Ringkes sehingga pengarang-pengarang tidak mudah menyumbangkan hasil karya untuk dapat diterbitkan. Akan tetapi, sepanjang perjalanannya, penerbit Balai Pustaka juga tidak selalu berjalan lurus dan berpegang teguh pada ikatannya.
Selain masalah pada masa angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, masalah tentang angkatan juga terjadi pada pengarang tahun 1945-an. Kemunculan nama angkatan 45 yang dicetuskan pertama kali oleh Rosihan Anwar menimbulkan pro dan kontra terhadap nama angkatan 45 ini. Tokoh seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, dan lainnya yang setuju tentang angkatan ini dan menjadikan Chairil Anwar sebagai pelopornya berpendapat bahwa tahun 45 adalah tahun yang penuh makna dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan tahun bangsa Indonesia merdeka. Dengan menamainya sebagai angkatan 45, diharapkan kemerdekaan dalam berkarya dan perkembangan kebudayaan bangsa akan lebih baik lagi.
Dari pihak yang tidak setuju, seperti Asrul Sani, angkatan 45 dikemukakan tidak ada ubahnya dengan Pujangga Baru dan hanya kelanjutan dari Pujangga Baru, angkatan sebelumnya. Pengarang hebat, Achdiat K. Mihardja, pun sempat menolak jika dia dimasukkan ke dalam angkatan 45. Dia lebih memilih untuk dimasukkan ke dalam angkatan Pujangga Baru, tetapi pada akhirnya dia juga tidak mengelak untuk menjadi sastrawan di angkatan 45. Achdiat K.
Mihardja sempat menolak karena dia cukup lama aktif berperan di Pujangga Baru dan menjadi staf redaksi di majalah Poedjangga Baroe (1949—1953) dan majalah Konfrontasi (1954—1962) yang menyebabkan jiwanya masih berada di angkatan Pujangga Baru. Itulah beberapa masalah seputar periode, angkatan, dan masalah lain yang melingkupinya yang mewarnai sebagian kecil dari perjalanan sejarah sastra Indonesia modern.