Meledaknya bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya secara beruntun kemarin, membuat kita menghela nafas panjang. Rasa kesal, jengkel, sampai mengutuk tindakan tersebut menjadi hal yang wajar ketika banyak saudara kita yang menjadi korban.
Ada sekitar 13 korban yang meninggal dunia akibat kebiadaban pelaku yang tidak memiliki peri kemanusiaan tersebut. Sebuah tidakan yang sebenarnya irasional tapi nyata dilakukan ketika iming-iming surga menjadi orientasi dari tindakan mereka.
Bagaimanapun alasannya tindakan meledakkan diri di tengah krumunan banyak orang yang sedang beribadah dan menjalankan tugas negara tidak bisa dibenarkan. Apalagi ketika melibatkan keluarga dan anak kecil dalam upaya meledakan bom untuk mengancam hidup orang lain. Hal tersebut sudah barang tentu menjadi cerminan dari nalar berfikir seseorang yang sudah kacau kalau tidak mau dibilang rusak.
Pertanyaanya apa sebab utama dari kekacauan nalar berfikir seperti itu sampai berani merelakan nyawanya sendiri dan keluarganya untuk tujuan yang masih imajinatif tersebut. Kalau memang hari ini manusia bergerak menuju ke arah rasionalitas berfikir, tetapi kenapa fenomena bom bunuh diri dengan legitimasi doktrin agama yang keliru bisa sampai terjadi. Hal itulah yang sebenarnya patut menjadi perhatian kita bersama dalam membentengi lingkungan terkecil kita yaitu keluarga, untuk terus menjaga nalar dan kewarasan berfikir.
Kakacauwan berfikir seperti itu bisa kita lihat dalam kerangka filosofis bahwa doktrin dari ideologi kebencian dan kekerasan menjadi penyebab utama dari legitimasi tindakan yang mereka lakukan. dalam hal ini kita harus jernih melihat bagaimana basis epistimologi atau kerangka keilmuan yang melatar belakangi tindakan mereka antara ideologi ataukah doktrin agama yang membuat mereka senekat itu.
Seperti yang di utarakan oleh Collin S Gray dalam bukunya War, Peace, and International Relation (2007), bahwa praktik teror dimotivasi atau diispirasi oleh idiologi atau dogma agama. Dalam hal ini, soal surga dan neraka menjadi narasi utama sebagai bentuk dagangan yang diperjual belikan dengan nyawa seseorang.
Sementara itu untuk melegitimasi tindakan kekerasan yang mereka lakukan seperti yang diungkapkan oleh Shiraz Maher dalam bukunya Salafi-Jihadism: The Histori of an Idea,(2016) memaparkan bahwa doktrin salafi dan jihatdisme yang mereka usung setidaknya berciri pemahaman takfiri (yang mengkafirkan saudara seiman) dan Jihad ekstrem/radikal yang mengunakan kekerasan dan perang sebagai bentuk jihadnya.
Dari gambaran di atas bisa dikatakan bahwa persoalan utama kenapa hal tersebut bisa muncul dikarenakan adanya pemahaman yang salah atas doktrin agama. Padahal dalam ajaran agama sendiri tidak ada narasi yang mengajarkan hal seperti itu, walaupun begitu ada beberapa ayat yang sering digunakan untuk melegitimasi tindakan mereka seperti ayat yang menyerukan untuk menjalankan amar makruf nahi munkar dan jihad membela Islam, itupun jelas bahwa mereka menafsirkan ayat tersebut tidak mengunakan perangkat keilmuan untuk menafsirkan sebuah ayat dalam kerangka keilmuan umat Islam dengan benar.
Peran Ulama
Saya teringat dengan pesan KH. Hasyim Muzadi dalam salah satu ceramahnya disalah satu stasiun TV nasional yang menyatakan bahwa untuk mengatasi tindakan terorisme, kita tidak bisa mengunakan cara kekerasan untuk menghilangkan tindakan mereka dari bumi Indonesia ini.
Menurut beliau bahwa selama ini penanganan terorisme di Indonesia masih menggunakan “cara Amerikanis” bukan cara Indonesianis untuk mengatasinya. Hal inilah yang menurut beliau malah membuat jaringan terorisme semakin tumbuh subur di tengah-tengah kita.
Seperti diungkapkan di atas tadi persoalan utama terorisme adalah pemahaman yang salah atas doktrin agama, dan yang mengetahui salahnya di mana dalam pemahaman doktrin agama tersebut tidak lain adalah para ulama.
Hal itulah yang dimaksud oleh KH. Hasyim Muzadi dengan menangani terorisme dengan cara Indonesianis yaitu dengan melibatkan ulama sebagai ujung tombak dalam berdakwah untuk mencounter narasi agama yang keliru tersebut. Karena bagaimanapun hanya orang yang belajar agama dengan baiklah (ulama) yang mengetahui dimana doktirin agama yang keliru bisa bersemai di pemahaman para teroris tersebut.
Namun pertanyaanya hari ini sudah sejauh mana para ulama kita memahami seperti apa doktirin agama yang dipahami oleh para teroris tersebut dengan perspektif keilmuan Islam terlebih memahami jaringan terorisme yang sedang berkembang sekarang. Saya rasa hal ini masih menjadi PR besar kita bersama sebagai umat Islam untuk ikut andil dalam menyebarkan pemahaman yang baik terkait agama yang kita anut.
Karena bagaimanapun juga ulama memiliki peran yang sangat strategis untuk menghalau tindakan mereka. Terutama ulama yang berada di akar rumput yang banyak kegiatanya bersingungan langsung dengan masyarakat luas. Karena bagaimanapun juga tindakan-tindakan mereka tidak bisa dilepaskan dari peran para penyebar doktrin kekerasan dan kebencian yang geraknya juga masif dilingkaran masyarakat kita.
Mereka bergerak bagai api dalam sekam, halus tidak kelihatan tapi efektif. Tiba-tiba korban berjatuhan, orang-orang yang ingin belajar agama Islam tersesat dijalan kematian atas iming-iming surga yang masih khayalan.
Banyak orang mengatakan bahwa tindakan mereka tidak bisa dihubungkan oleh salah satu agama tertentu apalagi Islam karna semua agama tidak pernah mengajari umatnya untuk melakukan kekerasan hingga sampai membunuh.
Namun bagaimanapun juga tindakan yang mereka lakukan mau tidak mau menggunakan simbol agama atau doktrin agama yaitu Islam walaupun tingkat validitasnya tidak ada. Dari hal itulah kita sebagai umat Islam juga harus merasa bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh saudara-saudara kita tersebut.
Dengan cara mempelajari agama Islam dengan baik dan benar sesuai tuntunan yang di ajarkan oleh para ulama, kemudian menyebarkan kelingkungan terkecil keluarga kita sampai lingkungan masyarakat kita lebih luas. Hanya dengan itulah doktrin agama yang mengajak kearah terorisme bisa kita halau dengan memahami agama islam dengan benar.