Jumat, Maret 29, 2024

Penguatan Lembaga Adat untuk Perdamaian dan Keadilan

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Pada September 2015, dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melahirkan agenda, Sustainable Development Goals (SDGs). Penekanan penting dari SDGs, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial, kualitas lingkungan hidup, pembangunan yang inklusif serta terlaksananya tata kelola yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan di generasi selanjutnya.

Salah satu hal penting dari SDGs, tercantum dalam poin ke 16 tentang perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Fokusnya adalah tentang pembangunan hukum dan tata kelola. Poin ke 16 menyirat makna yang sangat menarik. Pasalnya diksi perdamaian, keadilan dan tata kelola negara menjadi diskursus yang hampir jauh panggang dari api. Untuk konteks Indonesia, pelbagai persoalan seperti, korupsi, produksi perundang-undangan hingga hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, menjadi akrab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Situasi ini setidaknya membuat banyak warga negara cendrung skeptis dalam memandang hukum dan tata kelolanya. Alih-alih mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi seluruh warga Indonesia. Justru yang terjadi malahan sebaliknya. Politik dan hukum sebagai instalasi untuk mendistribusi energi harapan warga menjadi tersendat. Seakan-akan kita hidup dalam suatu keadaan tanpa, visi, mimpi, cita-cita dan harapan.

Padahal dalam faktanya, ide tentang keadilan, perdamaian dan penguatan kelembagaan dalam tubuh masyarakat sudah dan sering dilakukan. Salah satu fakta yang mengesankan adalah masyarakat adat. Berabad-abad entitas masyarakat adat bertahan dalam pelbagai situasi yang terjadi. Kekuatan kelembagaan, serta berbagai pengetahuan adat tentang perdamaian dan keadilan tetap eksis hingga kini.

Tulisan ini,  akan mengulas dua hal, pertama, terkait konsep perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh serta bukti-bukti praktik sederhana dalam masyarakat adat. Kedua, memeriksa bagaimana gerakan masyarakat adat dalam mencapai misi SGDs di Indonesia.

Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan Kuat

Konsep perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat dalam korpus masyarakat adat telah berlangsung lama. Perdamaian bagi masyarakat adat yakni adanya situasi yang menyenangkan, menggembirakan dan membahagiakan dalam setiap anggota adat. Ketika hal ini dihidupi terus, maka keadilan akan sendirinya terwujud. Namun apa yang membuat kedua hal ini terpenuhi? Tentu karena sistem komunitas itu sendiri. Dalam komunitas masyarakat adat, maka norma hukum, struktur hukum, pengetahuan, ritual-ritual adat adalah alat untuk mencapai misi bersama tentang perdamaian dan keadilan.

Sehingga rumusan masyarakat adat sebagai satu entitas yang selalu memiliki keterhubungan antara setiap jaringan kehidupan atau yang digambarkan seperti nexus, yakni setiap forma atau bentuk yang ada, selalu berkait kelindan antara yang satu dengan lainnya. Seperti, bumi, tanah, hutan, air, ritual, norma, kelembagaan hingga pengetahuan, itu sifatnya korelatif.

Fakta ini tak bisa dinafikan oleh negara dalam mencapai misi SGDs ke depannya. Bahwasannya dalam korpus sosial, khususnya dalam kehidupan masyarakat adat, sudah berlangsung lama ide tentang perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang kuat dilaksanakan. Negara hanya perlu sedikit memoles konsep-konsep tersebut menjadi sebuah system dan pengetahuan universal. Sebab secara apriori kita bisa mengatakan bahwa orang-orang yang korupsi uang negara, bukan semata karena system yang lemah, tetapi karena hilangnya kultural beradat yang baik.

Dengan kata lain, cita, misi dan tujuan SGDs tentang kelembagaan yang kuat, perdamaian dan keadilan akan terwujud selama konsep itu terafirmasi dengan kondisi ontologis masyarakat adat. Bukan memaksa masyarakat adat harus sesuai dengan folder SGDs.

Gerakan Masyarakat Adat Menuju SGDs di Indonesia

Sebenarnya misi SGDs pada poin ke-16 sesungguhnya telah dilakukan oleh pelbagai komunitas masyarakat adat di belahan Nusantara. Jauh sebelum adanya negara, masyarakat adat secara turun temurun sudah menjalankan kelembagaan yang kuat untuk mencapai misi perdamaian dan keadilan.

Manifestasi konkrit dari fakta-fakta setiap masyarakat adat, akhirnya mengilhami beberapa tokoh adat untuk mendirikan satu organisasi rakyat yang bernama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dalam preambul AMAN secara tegas mereka mengatakan bahwa “Jika negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara.” Tujuan dari gerakan AMAN, menciptakan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, bermandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya.

Dalam perjalanannya gerakan AMAN terbilang progresif dengan memperkuatkan kembali posisi masyarakat adat dalam diskursus kebangsaan. Terdapat  dua hal yang penting dilakukan oleh AMAN selama ini.

Pertama penguatan kelembagaan adat di tingkat internal adat di berbagai komunitas. Derivasi kegiatannya, advokasi, penggalian sejarah, mengaktifkan kembali pengetahuan-pengetahuan lokal, sdb.

Kedua, mendorong tingkat Pemerintah Daerah (Pemda) untuk merumuskan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan masyarakat adat. Tujuannya adalah bagaimana penguatan kelembagaan sebagai upaya mencapai keadilan dan perdamaian, atau bisa juga sebaliknya, yakni konsep keadilan dan perdamaian dimanifestasikan dalam bentuk penguatan kelembagaan.

Gerakan AMAN sebenarnya mempermudahkan kerja negara dalam menjalankan misi SGDs khususnya pada poin ke-16. Sebab konsepsi tentang kelembagaan yang tangguh untuk menciptakan perdamaian dan keadilan, bukan hanya dibentuk dalam struktur formal negara semata.

Tetapi seluruh aktivitas dan kebiasaan masyarakat adat merupakan penopang utama dalam mencapai misi dari SGDs. Yang diperlukan sekarang adalah, negara sebagai fasilitator bagi masyarakat adat untuk mengkristalisasikan SGDs di tingkat masyarakat adat sendiri. Sembari menjadikan pengetahuan-pengetahuan lokal dan semua sumber daya yang ada dalam masyarakat adat sebagai pengejawentahan dari SGDs.

Dengan demikian, misi SGDs setidaknya berkorelasi dengan gerakan masyarakat adat dalam berbagai praktik-praktiknya. Keterhubungan ini sangatlah penting, sehingga tidak menghasilkan keterputusan dan ketidaksinambungan dalam membangun bangsa. SGDs harus menyusaikan diri dengan kebiasaan dari masyarakat adat sendiri. Bila perlu menjadikan sumber daya pengetahuan adat sebagai pawang dan pemandu dalam mengaktualisasikan misi SGDs.

Kesimpulan

Belajar dari cerita-cerita tentang masyarakat adat, maka sangatlah penting negara ini khususnya pemerintah, untuk mendorong terus masyarakat adat memperkuat kelembagaan, pengetahuan dan semua tradisi dari masyarakat adat dalam menjalankan misi SGDs.

Kelembagaan yang kuat, menciptakan perdamaian dan keadilan, sudah dilakukan masyarakat adat. Jadi tugas negara menjadikan modalitas historis dan parktikal dalam masyarakat adat sebagai pawang utama dalam menjalankan misi SGDs.

Ernesto Teredi
Ernesto Teredi
Peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.