Minggu, Juli 13, 2025

Pendidikan Karakter di Tengah Perang Linimasa

Herianto Herianto
Herianto Herianto
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Institut Turatea Indonesia
- Advertisement -

Kasus perundungan brutal yang melibatkan siswa di berbagai daerah akhir-akhir ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Di satu sisi, sekolah menampilkan citra lembaga terhormat yang menanamkan nilai-nilai luhur. Di sisi lain, sebuah realitas kelam terungkap, menunjukkan adanya jurang pemisah antara karakter yang diajarkan di ruang kelas dan perilaku yang dipraktikkan di dunia nyata. Fenomena ini bukanlah anomali, melainkan gejala dari sebuah krisis yang lebih dalam: pendidikan karakter formal kita telah gagap menghadapi medan pertempuran watak yang baru, yaitu linimasa media sosial.

Kurikulum Agresif dari Algoritma

Di era post-truth ini, ruang kelas bukan lagi satu-satunya—bahkan bukan yang utama—dalam membentuk karakter generasi muda. Setiap hari, siswa kita terpapar pada “kurikulum” informal yang jauh lebih agresif dan persuasif di TikTok, Instagram, dan X. Di sana, algoritma bertindak sebagai “kepala sekolah” yang menyajikan konten tanpa filter etis, didasarkan pada keterlibatan, bukan kebajikan.

Mereka belajar bahwa konflik diselesaikan melalui cancel culture dan penghakiman massal, bukan dialog empatik. Mereka menyaksikan influencer yang mempromosikan hedonisme dan flexing sebagai standar kesuksesan, mengikis nilai kesederhanaan dan kerja keras. Perundungan pun bertransformasi menjadi cyberbullying yang, menurut data UNICEF, dampaknya bisa lebih kejam dan permanen karena meninggalkan jejak digital abadi dan dapat menjangkau korban di mana saja, kapan saja. Ruang privat yang aman kini tiada.

Respons Institusional yang Terlambat

Pemerintah, melalui Kurikulum Merdeka, telah berupaya merespons dengan memperkenalkan Profil Pelajar Pancasila. Dimensi seperti “Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia”, “Berkebinekaan Global”, dan “Gotong Royong” adalah ideal yang mulia. Namun, di lapangan, implementasinya sering kali terjebak dalam seremonialisme. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang seharusnya menjadi ajang internalisasi nilai, tak jarang terdegradasi menjadi tugas membuat produk akhir—seperti poster atau video—yang lebih mementingkan estetika ketimbang esensi perubahan perilaku.

Upaya ini terasa seperti mempersenjatai prajurit dengan peta dan kompas, sementara musuh sudah menggunakan drone dan serangan siber. Kebijakan lain seperti Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) juga cenderung bersifat reaktif. Aturan ini penting, tetapi ia berfungsi sebagai “ambulans di hilir sungai”, datang setelah ada korban. Kita gagal membangun “pagar pengaman di hulu”, yaitu membentengi mental dan moral siswa sebelum mereka terseret arus kekerasan digital.

Lensa Psikologis: Jebakan Konformitas Digital

Secara teoretis, krisis ini dapat dijelaskan melalui Teori Belajar Sosial Albert Bandura. Bandura menyatakan bahwa individu belajar dengan mengamati dan meniru model di sekitarnya. Dahulu, model utama adalah guru dan orang tua. Kini, “model” itu adalah influencer dengan jutaan pengikut dan tren viral yang berganti setiap jam, yang perilakunya sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur.

Di saat yang sama, menurut Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg, lingkungan media sosial yang berorientasi pada jumlah “suka” dan validasi publik cenderung menjebak remaja pada tahap moralitas konvensional. Pada tahap ini, benar dan salah ditentukan oleh persetujuan sosial. Mereka melakukan sesuatu karena “semua orang melakukannya” atau karena “takut dihakimi netizen”, bukan karena prinsip etis internal yang matang. Mereka terjebak dalam konformitas untuk diterima, mengorbankan nurani demi eksistensi digital.

Meretas Ulang Pendidikan Karakter: Tiga Jurus Wajib

Haruskah kita menyerah? Tentu tidak. Namun, kita harus berani mengakui bahwa strategi lama tidak lagi memadai. Pertarungan ini tidak bisa dimenangkan dengan sekadar menambah jam pelajaran agama atau budi pekerti. Urgensinya telah bergeser. Ada tiga jurus yang wajib kita kuasai.

Pertama, integrasi literasi digital kritis ke dalam semua mata pelajaran. Ini bukan hanya tentang kemampuan teknis menggunakan gawai, melainkan kemampuan untuk “membaca” dunia digital. Guru Sejarah bisa membedah bagaimana propaganda di masa lalu bekerja dengan mekanisme serupa hoaks dan clickbait hari ini. Guru Bahasa Indonesia bisa menganalisis teknik narasi persuasif dalam konten viral. Siswa harus dilatih untuk bertanya, “Siapa yang diuntungkan dari pesan ini?”, “Mengapa konten ini dibuat viral?”, dan “Bagaimana algoritma membentuk apa yang saya lihat?”.

Kedua, mengajarkan kecerdasan emosional (EQ) dalam konteks digital secara eksplisit. Ini adalah keterampilan bertahan hidup di abad ke-21. Sekolah perlu memfasilitasi lokakarya tentang cara berempati di ruang siber, mengelola konflik di kolom komentar secara konstruktif, dan membangun kesadaran diri atas jejak digital yang mereka tinggalkan. Skenario role-playing—misalnya, bagaimana merespons teman yang di-bully online—bisa menjadi metode yang efektif.

- Advertisement -

Ketiga, membangun kolaborasi ekosistem. Sekolah tidak bisa berjuang sendirian. Perlu ada sinergi dengan orang tua melalui program pengasuhan digital (digital parenting) yang membekali mereka cara mendampingi anak di dunia maya. Lebih jauh, perlu ada desakan kolektif kepada platform media sosial untuk merancang algoritma yang lebih etis dan bertanggung jawab, yang tidak hanya memprioritaskan engagement buta.

Kesimpulan

Pendidikan karakter di sekolah saat ini berisiko menjadi usang karena pertempuran sesungguhnya dalam membentuk watak generasi muda tidak lagi terjadi di ruang kelas, melainkan di linimasa media sosial yang tanpa filter. Adaptasi radikal adalah sebuah keharusan. Urgensinya bukan lagi sekadar menanamkan nilai secara dogmatis, tetapi membekali siswa dengan perisai literasi digital kritis dan pedang kecerdasan emosional untuk menavigasi rimba moralitas digital. Jika tidak, kita hanya akan terus terkejut oleh “kasus-kasus viral” berikutnya, tanpa pernah menyentuh akar persoalannya.

Herianto Herianto
Herianto Herianto
Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Institut Turatea Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.