Indonesia, sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, menghadapi dinamika politik yang sangat kompleks. Politik menjadi panggung utama di mana berbagai kepentingan bersaing untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Seiring berjalannya sejarah politik Indonesia, terdapat berbagai upaya dan komitmen untuk mencapai tujuan mulia, yakni menciptakan keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
Namun, tantangan yang tak terelakkan selalu menghampiri upaya tersebut. Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana mencapai keadilan sosial di tengah konteks politik Indonesia yang dipenuhi persaingan dan konflik. Dalam menghadapi permasalahan ini, penelitian ini akan mengeksplorasi peran representasi kebenaran (Verum) dalam politik Indonesia dan bagaimana konsep tersebut dapat menjadi sarana untuk mencapai keadilan sosial, mengacu pada pemikiran Immanuel Kant.
Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, keadilan sosial dianggap sebagai salah satu fondasi utama dalam konstruksi negara. Hal ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan tekad untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum.” Namun, realitas politik seringkali jauh dari visi tersebut.
Politik Indonesia sering diwarnai oleh isu-isu korupsi, ketidaksetaraan, dan konflik kepentingan. Kant mengatakan bahwa ego pribadi adalah kenyataan yang harus diakui oleh akal budi praktis. Dengan keberagaman budaya, agama, dan etnisitas, mencapai kesetaraan dan keadilan sosial menjadi tantangan yang rumit, dan konsep kebenaran menjadi salah satu solusinya.
Konsep kebenaran (Verum) telah menjadi fokus utama dalam pemikiran filosofis selama sejarah panjang perkembangan pemikiran manusia. Masalah kebenaran memiliki signifikansi mendasar, terutama karena berkaitan dengan seluruh pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran.
Inti permasalahan adalah bagaimana hubungan antara pengetahuan dan realitas dapat dipahami. Pengetahuan yang dianggap benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan realita atau kenyataan.Ketika kita mengaplikasikan definisi dan konsep filosofis tentang kebenaran ke dalam ranah politik, hal ini menjadi dasar krusial untuk memahami bagaimana ide ini dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan tindakan di arena politik.
Dalam konteks pemikiran filosofis, kebenaran dapat diartikan sebagai konsistensi antara pernyataan atau ide dengan realitas atau fakta yang ada. Hal ini menekankan akurasi atau keabsahan suatu pernyataan atau keyakinan. Kebenaran menjadi konsep yang kompleks karena melibatkan berbagai perspektif mengenai apa yang dianggap benar atau tidak benar.
Dalam domain filsafat, terdapat beberapa teori kebenaran, termasuk teori korespondensi, kohesivitas, pragmatisme, dan konsensus. Teori korespondensi, sebagai pendekatan klasik, menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika sesuai dengan fakta. Sementara teori kohesivitas menekankan konsistensi internal dalam sistem keyakinan. Sebaliknya, teori pragmatisme menitikberatkan pada kegunaan atau manfaat kebenaran dalam konteks praktis. Terakhir, teori konsensus mengatakan bahwa kebenaran merupakan hasil dari kesepakatan bersama dalam suatu komunitas.
Relevansi konsep kebenaran dalam politik memiliki dampak yang sangat penting. Keputusan-keputusan politik seringkali bergantung pada informasi, pernyataan, dan argumen yang diberikan oleh para pemimpin dan pengambil keputusan. Dalam konteks demokrasi, warga negara diharapkan membuat keputusan berdasarkan penilaian mengenai apa yang mereka anggap benar.
Politik sering melibatkan persaingan ide dan keyakinan yang beragam, dan cara konsep kebenaran dipahami dapat mempengaruhi tindakan politik. Salah satu contoh nyata relevansi konsep kebenaran dalam politik adalah perdebatan seputar informasi yang disampaikan oleh pemimpin politik, pembuatan kebijakan publik yang berdasarkan klaim-klaim kebenaran, dan cara masyarakat menilai integritas politikus.
Kepercayaan dan reputasi publik di dunia politik seringkali bergantung pada kejujuran dan akurasi informasi yang disampaikan oleh pemimpin politik. Jika pemimpin politik dianggap kurang jujur atau tidak transparan, ini dapat merusak kepercayaan masyarakat dan menggoyahkan dasar demokrasi.
Di tengah kondisi politik yang cenderung tidak memperhatikan kebenaran faktual, masyarakat menghadapi kesulitan karena minimnya (bahkan mungkin tidak adanya) landasan epistemologis untuk mencari kebenaran. Masyarakat dapat kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan yang bukan karena cenderung menerima kebenaran sebagai suatu kesimpulan yang sudah jadi. Inilah mengapa filsafat memiliki peran penting dalam membangkitkan pikiran kritis dan rasionalitas dalam masyarakat.
Selain itu, untuk memahami konsep-konsep tentang kebenaran dan penerapannya dalam politik, masyarakat perlu memiliki pemahaman mendalam terhadap sumber-sumber filosofis dan politik yang relevan dengan konteks politik saat ini.