Sabtu, Oktober 5, 2024

Pemuda, Pemilu 2024, dan Konsolidasi Demokrasi

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Partisipasi pemuda sangat penting dalam menentukan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang. Apakah Pemilu 2024 akan menghasilkan pemilu yang jujur dan adil? Atau jangan-jangan, Pemilu 2024 akan banyak dilumuri tipu muslihat demi kekuasaan?

Apabila menghasilkan Pemilu yang jujur dan adil, maka sudah pasti melahirkan pemimpin yang berintegritas, akuntabel dan mengedepankan kepentingan bangsa. Namun, apabila Pemilu 2024 dicederai dengan manuver politik busuk, kotor, dan mengangkangi aturan main, maka sudah pasti akan melahirkan pemimpin yang tidak memiliki imajinasi dan dedikasi total membangun negeri tercinta Indonesia, alih-alih berlagak oligarki.

Perlu diketahui, Pemilu 2024 akan banyak menguras energi. Yang tidak kalah penting, jangan sampai Pemilu 2024 bisa memantik sentimen identitas dan menyeruak polarisasi ke dalam panggung politik. Ini sangat berbahaya bagi persatuan bangsa, sekaligus bisa sangat fatal terhadap masa depan konsolidasi demokrasi yang tengah kita bangun.

Pengalaman Pemilu 2014 dan 2019, yang telah kita lewati menciptakan polarisasi politik yang sangat dalam (Eve Warburton, 2021). Kondisi ini terutama di hadapi oleh masyarakat akar rumput (grass root society). Narasi-narasi seperti, kadrun, cebong dan kampret, kerap kita temui di media sosial, yang semakin memperdalam polarisasi sosial-politik.

Pemilu 2014 dan 2019 harus kita refleksikan menuju Pemilu 2024 yang berkualitas dan berkarakter kebangsaan. Kita tidak bisa lagi membuat dan menciptakan polarisasi sedangkal itu. Kita harus menghentikannya. Urusan Pilpres 2024, mengikuti Airlangga Kusman (2022), harus ditransformasikan sebagai politik forum. Pada titik ini, perdebatan konseptual dan gagasan dari masing-masing capres dan pendukung serta simpatisan harus dikedepankan.

Posisi Pemuda berada di titik ini. Terlibat dalam dinamika Pemilu dengan mengusung agenda transformasi politik-demokrasi, yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan. Transformasi mengandaikan suatu cita-cita bersama, yang di dalamnya kekuasaan tidak menopang kepentingan individu dan kelompok tertentu. Melainkan, di arahkan kepada kepentingan umum (bonum commune).

Pemuda dan Dilema Politik

Representasi anak muda dalam ruang politik formal, di lembaga Legislatif (DPR), pada periode 2014 – 2019, hanya sekitar 4% (atau 24 orang) yang berusia kurang dari 30 tahun (Irdiana, Febrianto, dan Nisa, 2021). Ini menunjukan keprihatinan kita semua terhadap kurangnya representasi dari kalangan pemuda.

Ada dua alasan, sejauh pembacaan saya, mengapa tren partisipasi pemuda dalam politik formal sangat kurang. Pertama, ongkos politik (political costs) yang sangat mahal. Bisa dibayangkan, untuk mendapat tiket sebagai calon DPRD, setiap calon harus mengeluarkan kira-kira 200 sampai 300 juta. Sementara, anak muda di Indonesia dengan tingkat perekonomian yang masih bergantung pada orang tua, tentu tidak punya uang sebanyak itu.

Kedua, politik-demokrasi di Indonesia, yang masih dibayangi kecenderungan oligarki politik, tentu menghambat partisipasi kalangan pemuda. Kecenderungan oligarki politik yang menguat ditambah lagi dengan sifatnya yang dominan dalam lanskap politik formal menghambat partisipasi pemuda dan representasi mereka dalam politik formal. Pada titik ini, pemuda lebih memilih  menjadi bagian dari tim pemenangan salah satu kandidat.

Kedua faktor tersebut turut mengamputasi dan mengebiri partisipasi kalangan pemuda dalam kontestasi elektoral. Di titik ini, dilema politik dalam diri pemuda menjadi sesuatu yang sulit dihindarkan. Pada taraf tertentu, bahkan, dilema ini mendorong pemuda enggan mengambil sikap membangun dan mengarahkan politik pada kepentingan bangsa dan  bersikap apolitis. Mengapa?

Salah satu jawabannya ialah, keterikatan mereka dengan kelompok oligarki politik atau kandidat tentu, yang tidak mungkin mereka tandingi. Ketimbang menyainginya, sikap pemuda lebih berdiri ambivalen. Di satu sisi ingin memperjuangkan kepentingan bangsa, tetapi di sisi lain terikat dengan kepentingan oligarki politik dan kandidat yang mereka dukung.

Kembali ke Masyarakat Sipil

Konsolidasi demokrasi tidak pernah hanya berlangsung di tataran elit politik, partai politik, lembaga-lembaga formal lainnya. Melainkan dibentuk dan tumbuh dari bawah, yakni dari masyarakat sipil yang kuat, mandiri, terorganisir dengan baik dan memiliki prospek terhadap pembangunan demokrasi. Pada titik ini, penting kita pahami, masyarakat sipil merupakan subjek yang paling menentukan dari keberlangsungan demokrasi.

Pemuda yang mau berjuang dan mengambil sikap membangun tata sosial-politik-demokrasi yang berasaskan kepentingan bersama, menurut hemat saya, perlu berjuang dan kembali ke masyarakat sipil. Pilihan sikap ini, selain mengakomodasi masyarakat sipil kedalam ruang politik formal, yang paling penting ialah, mencegah kekuatan masyarakat sipil terpecah dan dicerai-berai.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.