Jumat, Maret 29, 2024

Pemilu 2019 dan Upaya Menghimpun Harapan

Muhammad Qhadri
Muhammad Qhadri
Mahasiswa Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas. Ketua Kombad Justitia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas periode 2018/2019

Tahun 2018 sudah memasuki bulan penghabisan. Tak ayal lagi, sebagai tahun di mana keputusan-keputusan politik sudah disepakati, tentu pergumulan mengenai taktik dan strategi menuju kursi kekuasaan sudah mulai dikonsep dan dipersiapkan.

Jelas sudah seperti lazimnya tahun politik, partai politik mendadak akan berusaha menjelma jadi entitas yang paling mengerti dan memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan rakyat. Janji-janji kampanye akan digelar dengan meriah, mulai dari membuka lapangan kerja, menghentikan laju impor kebutuhan pokok hingga ide-ide yang sifatnya lebih populis yang ditujukan semata-mata untuk meraih simpati dan suara dari rakyat.

Pada tahun 2019, rakyat Indonesia sekali lagi akan memasuki salah satu periodik paling penting sejak negara ini dilahirkan. Sesuai Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 pemilihan umum (pemilu) akan memulai babak baru dalam penulisan sejarah.

Pasalnya pemilihan presiden dan wakil presiden republik Indonesia akan dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan legislatif, mulai dari DPR-RI, DPD hingga DPRD provinsi dan DPRD kab/kota. Tentu saja pemilu serentak ini akan menjadi ujian sekaligus tolak ukur bagi proses pendewasaan demokrasi di Indonesia kedepannya.

Penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada 20 September kemarin mendadak memutar kembali memori kita ke masa lalu. Nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto kembali keluar sebagai calon presiden 2019. Masih segar dalam ingatan bagaimana panasnya tensi politik yang dirasakan pada pemilu tahun 2014 silam.

Masih segar dalam pikiran betapa tajam terbelahnya posisi politik rakyat Indonesia dalam menentukan pilihan. Perihal semacam itu dalam iklim negara yang mengaku demokratis merupakan hal yang biasa. Akan menjadi tidak biasa apabila hanya dikarenakan perbedaan pilihan politik, hubungan satu individu dengan individu lain dalam kehidupan pribadi menjadi tidak harmonis.

Hal yang demikian adalah pertanda bahwa kita belum dewasa dalam berdemokrasi. Kedewasaan dalam berdemokrasi hanya akan tercapai apabila kita tidak lagi disibukkan dengan pembelahan term antara “cebong dan kampret” yang hilir mudik di media sosial.

Tentu saja, kedewasaan dalam berdemokrasi tidak dapat diraih hanya dalam hitungan satu atau dua bulan kampanye. Kedewasaan dalam berdemokrasi hanya akan dapat diwujudkan ketika pendidikan politik yang baik dan kurikulum pendidikan yang sadar betapa pentingnya penanaman nilai-nilai demokratis sudah harus diajarkan sejak dini. Upaya yang demikian harus bersifat sistemik dan berlangsung dalam periodik waktu yang lama agar pola pikir yang dihasilkan akan menjadi nilai dan norma yang lazim hidup di masyarakat.

Kembali majunya Presiden Joko Widodo dengan didampingi KH. Ma’ruf Amin dalam kontentasi pemilu 2019 tentu menjadi catatan tersendiri bagi kita. Terlepas dari pembangunan infrastruktur yang sering digencarkan akan merata di setiap pelosok tanah air dan Asian Games yang dapat diselenggarakan dengan sukses, kita mengetahui sampai detik ini kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK yakni Novel Baswedan belum juga menemui titik terang.

Selain itu pengungkapan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pelanggaran HAM Munir sesuai Keputusan KIP No. 025/IV/KIP-PS2016 yang harus diungkapkan ke publik sejak 2016 lalu tidak kunjung direalisasikan. Kejelasan mengenai proses hukum terhadap pelanggaran HAM lainnya diseputar tahun 1998 juga tidak lagi digubris sama sekali. Seharusnya sektor penegakan hukum juga harus menjadi skala prioritas utama dalam membangun negara.

Ketimpangan dalam penegakan hukum adalah tanda bahwa orang-orang yang berusaha berbuat baik tidak mendapat jaminan perlindungan dari negara dan nyawanya sebagai manusia seakan dapat ditawar dengan harga murah.

Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 yang kembali memberi ruang terhadap penerapan Presidential Treshold pada pemilu calon presiden dan calon wakil presiden 2019 berimplikasi pada keterbatasan partai politik dalam mengusung nama diluar dominasi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-KH. Ma’ruf Amin.

Hal ini tentu juga menjadi catatan penting bagi kita dikarenakan selain melanggengkan “monopoli” dari status quo partai politik tertentu, juga berdampak hilangnya kesempatan bagi rakyat mendapatkan pilihan alternatif lain. Namun, hal yang demikian jangan sampai mempengaruhi kita dalam mengamati dan mengkaji kualitas dari gagasan, ide dan program yang ditawarkan masing-masing calon.

Gagasan dan ide yang ditawarkan harus dapat menyentuh akar persoalan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan penegakan hukum di republik ini. Gagasan dan ide yang serampangan harus dapat kita kritisi atau bahkan kita tertawakan apabila sudah melenceng dari batas penalaran yang wajar.

Selain itu, sebagai bangsa dan negara yang mengakui keberagaman adalah anugerah, kampanye politik baik pilpres maupun pileg harusnya tidak mempan lagi digoyang dengan isu SARA. Bangsa dan negara yang berkomitmen dengan kebinekaan yang katanya sudah dapat hidup rukun dan saling berdampingan selama berabad-abad harusnya sudah khatam dengan persoalan yang demikian. Keutuhan negara dan perasatuan bangsa adalah harga yang teramat mahal untuk dibayar jika hanya demi kursi kekuasaan semata.

Tahun 2019 bila kita meminjam istilah dari Bung Karno—boleh jadi adalah tahun Vivere Pericoloso. Tahun di mana hidup harus berani menyerempet bahaya. Tren nilai mata uang rupiah yang cenderung fluktuatif terhadap dollar AS dan kondisi perekonomian dunia yang masih belum lepas dari bayang-bayang ketidakstabilan juga akan berdampak kepada kondisi perekonomian nasional.

Hidup menyerempet bahaya harus dimaknai bahwa kita sebagai bangsa agar selalu berani dan bersiap dengan segala resiko yang ada. Bahwa pemilu 2019 tidak bisa hanya dimaknai sebagai agenda politik tahunan belaka untuk datang ke TPS lalu memberi hak suara. Lebih dari itu, pemilu 2019 adalah satu dari kesekian ujian sejarah yang harus dilalui untuk melihat sejauh mana bangsa Indonesia dapat hidup di alam demokrasi yang serba dinamis dalam cita-citanya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Muhammad Qhadri
Muhammad Qhadri
Mahasiswa Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas. Ketua Kombad Justitia, Fakultas Hukum, Universitas Andalas periode 2018/2019
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.