Jumat, April 19, 2024

Pelanggaran HAM Sektor Bisnis

Dika Novi T
Dika Novi T
Dika is a first-year law student in Universitas 17 Agustus and a human rights concern citizen

Hak asasi manusia (HAM) selalu identik dengan kekuasaan negara. di mana banyak kasus-kasus pelanggaran HAM oleh negara masih belum terselesaikan hingga saat ini. Kasus-kasus yang masih banyak digaungkan dan diminta pertanggungjawabannya oleh negara semacam penghilangan paksa 65 dan penculikan aktivis 98 serta pelanggaran ham papua tentu menjadi isu penting harus diurus negara.

Namun, di sisi lain banyak juga terjadi pelanggaran HAM oleh sektor bisnis. Menurut data dalam laporan tahunan Komnas HAM tahun 2020, sektor korporasi termasuk pihak yang paling banyak diadukan. Dari total 2.639 kasus yang dilaporkan ke Komnas HAM, korporasi menempati urutan kedua paling banyak dilaporkan dengan 455 jumlah kasus, sedangkan posisi pertama ditempati institusi Polri dengan 758 kasus. Selain kedua lembaga tersebut, pemerintah daerah juga menjadi pihak ketiga yang paling banyak dilaporkan dengan 276 kasus.

Kasus-kasus yang marak terjadi berkategori pelanggaran HAM seperti perampasan tanah ulayat, penggusuran paksa, pencemaran dan perusakan lingkungan, kekerasan terhadap masyarakat adat, penyerangan menggunakan preman, bahkan ada juga kriminalisasi yang menyebabkan korban jiwa bagi mereka yang berjuang mempertahankan hutan dan tanahnya.

Pelanggaran HAM di internal perusahaan sendiri tak kalah menjadi sorotan. Pekerja dibayar di bawah upah minimum, tak ada uang lembur, ketidak jelasan jam kerja. Keadaan-keadaan semacam ini membuat pekerja serba salah dan tidak bisa berbuat banyak untuk membela haknya. Jika mereka protes kepada perusahaan, maka ancamannya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.

Selama ini, pemahaman masyarakat awam, HAM hanya soal relasi antara negara dan warga negara (rakyat). Pemahaman ini perlu diluruskan karena HAM sejatinya lebih luas dari itu. Ternyata entitas bisnis pun seperti halnya negara berkewajiban melindungi HAM.

Dalam lingkup internasional, perhatian terhadap bisnis dan HAM memiliki sejarah yang cukup panjang. Tahun 1998, UN Sub Commission on the Promotion dan Protection on Human Rights membentuk sebuah kelompok kerja yang bertugas menyusun standar norma untuk Transnational Corporations.

Tujuh tahun kemudian, Kofi Annan menugaskan seorang spesial Rapporteur bidang Bisnis dan HAM bernama John Ruggie untuk melakukan kajian yang hasilnya menjadi the Guiding Principles on Business dan Human Rights (UNGPs on BHR) pada tahun 2011. Sampai saat ini, UNGPs on BHR menjadi pedoman utama bagi banyak negara di dunia dalam mengatur relasi antara bisnis dan hak asasi manusia.

UNGPs on BHR mengusung tiga pilar utama. Pertama, kewajiban negara untuk melindungi HAM, di mana pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk dari sektor bisnis.

Upaya perlindungan oleh negara terhadap individu tersbut harus dituangkan dalam bentuk kebijakan, regulasi, dan sistem peradilan yang baik.Kedua, tanggung jawab korporasi untuk menghormati HAM yang berarti tidak melanggar HAM yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi, atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi. Lalu yang ketiga, perluasan akses bagi korban mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

Komnas HAM dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memulai tindakan nyata dalam responnya atas UNGPs on BHR ini. Mereka memprakarsai penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Bisnis dan HAM.

Kehadiran RAN Bisnis dan HAM untuk menutupi kealpaan RAN HAM 2015-2019 membahas tentang bisnis dan HAM. Ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015, RAN HAM lebih fokus pada isu-isu disabilitas, anak, dan kelompok masyarakat rentan.

Pada tahun 2020, Pemerintah lewat direktorat jederal HAM menggagas draft Rperpres Strategi Nasional Bisnis dan HAM untuk menindaklanjuti masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Namun hingga kini masih dalam pembahasan dan masih terus diadakan diskusi-diskusi akademis terkait pembentukannya.

Adanya Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Bisnis dan HAM nyatanya enghormatan korporasi terhadap HAM juga hingga kini masih minim. Maraknya korporasi sebagai salah satu pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pentingnya hubungan bisnis dan HAM masih perlu banyak digaungkan di republik ini, sejalan dengan makin semaraknya glorifikasi pebisnis dan seminar-seminar bisnis sukses akhir-akhir ini namun tidak dibarengi dengan penghormatan hak asasi manusia dalam menjalankan atau perencanaan bisnisnya.

Dika Novi T
Dika Novi T
Dika is a first-year law student in Universitas 17 Agustus and a human rights concern citizen
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.