Profesi yang memberikan pertolongan pelayanan sosial kepada individu, kelompok dan masyarakat dalam upaya peningkatan keberfungsian sosial dan membantu memecahkan masalah-masalah sosial, maka dapat disebut dengan pekerjaan sosial, atau pekerjaan sosial adalah seseorang yang memiliki profesi dalam membantu orang memecahkan masalah-masalah dan mengoptimalkan keberfungsian sosial individu, kelompok dan masyarakat serta mendekatkan mereka dengan sistem sumber.
Pekerjaan sosial adalah bidang keahlian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna meningkatkan kemampuan orang dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi agar orang dapat menyesuaikan diri dengan situasi kehidupannya secara memuaskan. Pekerja sosial dipandang sebagai sebuah bidang keahlian (profesi), yang berarti memiliki landasan keilmuan dan seni dalam praktik.
Pekerja sosial menjalankan peranannya untuk membantu diri sendiri dan orang lain, to help the people and to help themselves atau melaksanakan intervensi terhadap klien harus memiliki standar kompetensi meliputi pertama pengetahuan, kedua ketrampilan dan ketiga nilai-nilai atau prinsip.
Salah satu peranan pekerja sosial yang bisa dimainkan peranannya ialah memberikan pendampingan dan advokasi bagi anak berhadapan hukum (abh).
Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
Sesungguhnya, diversi dapat juga digambarkan sebagai suatu sistem dimana fasilitator mengatur proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi dan mekanisme musyawarah mufakat merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat sejak dulu.
Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggungjawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif keadilan restoratif.
Anak adalah bagian warga Negara yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa dan negara.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai partisipasi anak.
Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi.
Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012).
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) telah diberlakukan, setelah diundangkan enam tahun yang lalu. UU ini berpijak pada konsep restorative justice (keadilan restoratif). Restorative justice merupakan penyelesaian perkara tindak pidana bersama-sama pihak terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Putusan itu merupakan contoh putusan yang berorientasi kondisi dan kebutuhan seorang anak. Tersirat bahwa sebuah perkara, meski berat, dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus memasukkan seorang anak ke penjara.
Namun, yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah upaya diversi itu memiliki dampak bagi pekerjaan sosial. Jika sebelumnya mempunyai peranan yang kecil kepada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), kini peranannya lebih besar.
Implikasinya, pertama, untuk pekerja sosial dituntut melakukan advokasi kepada anak berhadapan hukum (ABH) agar hak-haknya dapat terpenuhi sesuai dengan Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kedua, peran pekerja sosial yang lebih besar harus diikuti dengan peningkatan kualitas maupun kualitas. Secara kualitas pekerja sosial dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait isu anak berhadapan hukum (ABH). Ketiga, perlu adanya penguatan lembaga pelayanan sosial.
Pekerja sosial anak berhadapan hukum bisa memaksimalkan peranan dalam pendampingan, advokasi dalam mengintervensi klien anak berhadapan hukum baik itu di tingkat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan bahkan sampai berjejaring dengan sistem sumber rehabilitasi seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai institusi atau lembaga yang menagani anak berhadapan hukum (ABH).