Jumat, Oktober 18, 2024

Pekerja Anak di Perkebunan Sawit, Fakta Atau Mitos?

Mochammad Ghani
Mochammad Ghani
Mochammad Wahyu Ghani currently works as a researcher at the Population Research Center, National Research and Innovation Agency (BRIN). He completed his master's degree in communication science at Padjadjaran University (UNPAD) with a concentration in health communication. Currently, he works with the research group on social determinants and population health. His areas of interest are disability, Papuan concerns, and children's issues. He has several research experiences; The use of maternal and child health services by indigenous Papuans in West Papua Province (2020). Other research experiences include the resilience of oil palm farmers and the lives of children, Kapuas Hulu Regency (2021), the fulfillment of inclusive health rights for people with disabilities in Indonesia (2022), and the implementation of stunting control in order to maximize the demographic bonus in the IKN (2024).

Prospek industri kelapa sawit kian hari semakin menggiurkan. GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mengatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu produsen kelapa sawit terbesar dan terpenting di dunia, dengan total produksi CPO (Crued Palm Oil) mencapai 50,7 juta ton tahun 2023. Hal ini kemudian diikuti dengan dukungan penuh pemerintah yang mengeluarkan berbagai kemudahan regulasi produksi CPO, seperti program peremajaan sawit rakyat (PSR), percepatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan izin perluasan lahan sawit baru, khususnya wilayah papua.

Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa manfaat ekonomi CPO bukan hanya sebagai bahan baku minyak goreng. CPO juga menjadi bahan baku industri strategis lainnya seperti farmasi, kosmetik, makanan, bahkan energi lewat turunan produk B30 nya. Sektor inilah yang kerap kali dianggap sebagai “ancaman” kebangkitan ekonomi Indonesia oleh negara maju, terutama Uni Eropa. Uni Eropa dianggap oleh pengusaha sawit Indonesia menerapkan kampanye negative bahwa CPO Indonesia tidak memilki sertifikasi yang lengkap, terutama sertifikasi dari segi isu lingkungan dan isu pekerja yang berujung pelarangan hasil turunan industry CPO masuk ke eropa.

Isu Pekerja menjadi menarik untuk dibahas. Apakah benar Indonesia telah abai terhadap hak pekerja, seperti jaminan social, kesehatan dan batas usia?. Berangkat dari temuan Amnesty International (2016) yang pernah menyebut ada skandal besar perusahaan-perusahaan sawit terkenal di Indonesia yang memperkerjakan anak sebagai buruh sawit di perkebunanya. Kita bisa menjustifikasi memang ada pekerja anak di lingkungan Perkebunan sawit.

Selaras dengan temuan tersebut, Investigasi Associated Press (2021) bahkan menemukan sebagian besar pekerja anak di perkebunan sawit dibayar dengan upah rendah atau tidak dibayar sama sekali. Biasanya anak yang bekerja di Perkebunan kelapa sawit memiliki tugas yang lebih mudah dari orang dewasa, seperti memungut brondol sawit yang berjatuhan atau membersihkan pelepah kering.

Laporan terkini mengenai pekerja anak di Perkebunan sawit

Temuan pekerja anak di Perkebunan sawit semakin menguat dalam artikel jurnal internasional Land (2021) yang ditulis oleh peneliti sosial dari Universitas Groningen. Perusahaan sawit di Indonesia sebenarnya telah memastikan pekerja anak tidak bisa diterima. Namun perusahaan tidak kuasa melarang atau mengawasi keterlibatan orang tua yang sengaja membawa anak mereka ke Perkebunan sawit demi “kultur” pendidikan keluarga. Hal ini lumrah terjadi di Perkebunan sawit rakyat (smallholder) yang menjadi Perkebunan plasma, sebagai rantai suplai pemenuhan produksi hasil kelapa sawit perusahaan.

Hasil kajian tersebut kemudian divalidasi oleh Laporan PKPA (Pusat Kajian Perlindungan Anak) 2023 yang menyebutkan bahwa pekerja anak di Perkebunan kelapa sawit masih bisa ditemukan di perkebunan sawit rakyat khususnya di wilayah Kalimantan.

Menjawab Mitos atau Fakta pekerja anak di Perkebunan sawit

Tampaknya fenomena pekerja anak di perkebunan sawit bukan lagi dianggap mitos di kalangan akademisi social dan lingkungan. Bahkan hal ini diamini sendiri oleh Perusahaan yang mengambil suplai bahan baku sawit dari Perkebunan sawit rakyat. Perusahaan mengaku melihat sendiri anak terlibat dalam rantai pasokan milik kebun sawit rakyat atau keluarga.

Perusahaan memang bisa berdalih dan tidak mungkin dituntut telah memperkerjakan anak di lingkungan perkebunan sawit, karena status kebun sawit rakyat memang milik unit-unit keluarga yang mengelola dan bukan milik perusahaan.

Hasil penelitian penulis yang telah diterbitkan dalam Jurnal Masyarakat Indonesia (2023) menunjukan bahwa pekerja anak di Perkebunan sawit memang cukup mudah ditemukan di Perkebunan sawit rakyat. Anak-anak yang bekerja umumnya tidak dianggap pekerja anak oleh orang tua mereka karena ini masuk dalam “kultur” pendidikan keluarga.

Fenomena ini menjadi rumit ketika anak mendapatkan manfaat ekonomi langsung sehingga meninggalkan pendidikannya. Para pekerja anak di lingkungan sawit rakyat semakin banyak yang memutuskan melepas pendidikannya karena dirasa lebih mendapatkan manfaat ketika bekerja dibandingkan ketika bersekolah.

Hal ini wajar mengingat mereka akan “dibayar” (bagi hasi) oleh orang tuanya ketika musim panen tiba. Bahkan ketika mereka memutuskan bekerja di lingkungan kebun milik keluarga lain, mereka akan tetap diberi uang Rp75.000-80.000/ hari oleh pemilik kebun.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Pemerintah sudah seharusnya melihat fenomena ini sebagai fakta yang harus dibenahi. Bahwa pekerja anak di lingkungan perkebunan sawit itu memang ada. Pendidikan yang tidak mengakomodir kebutuhan anak di masa depan, pastilah akan ditinggalkan oleh anak-anak yang memutuskan bekerja.

Alasannya cukup simple, pendidikan tidak mampu menjawab imajinasi mereka kedepan apabila mereka mampu menyelesaikannya. Apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan? Apakah mereka akan mendapatkan cara mengolah sawit miliki keluarganya?

Jika tidak bisa menjawab itu semua pemerintah harus membenahi kurikulum pendidikan agar sesuai dengan minat dan imajinasi anak-anak di lingkungan Perkebunan kelapa sawit. Seperti membangun SMK Perkebunan yang bahkan langsung bisa menyerap tenaga kerja yang dibutuhkan Perusahaan.

Tenaga pendidik dan fasilitasnya juga harus disiapkan dan disesuaikan agar sekolah perkebunan mampu menjawab tantangan kebutuhan pendidikan anak di lingkungan perkebunan kelapa sawit.

Mochammad Ghani
Mochammad Ghani
Mochammad Wahyu Ghani currently works as a researcher at the Population Research Center, National Research and Innovation Agency (BRIN). He completed his master's degree in communication science at Padjadjaran University (UNPAD) with a concentration in health communication. Currently, he works with the research group on social determinants and population health. His areas of interest are disability, Papuan concerns, and children's issues. He has several research experiences; The use of maternal and child health services by indigenous Papuans in West Papua Province (2020). Other research experiences include the resilience of oil palm farmers and the lives of children, Kapuas Hulu Regency (2021), the fulfillment of inclusive health rights for people with disabilities in Indonesia (2022), and the implementation of stunting control in order to maximize the demographic bonus in the IKN (2024).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.