Hampir delapan dekade menjadi negara merdeka, Indonesia masih dilanda berbagai permasalahan multi aspek baik itu ekonomi, politik, dan sosial-kultural. Dalam konteks ekonomi, para pendiri bangsa dengan jelas menuangkan pemikiran ekonomi ke dalam pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal itu tercantum dasar demokrasi ekonomi, yang menyatakan “produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Bahkan, pola pikir itu diperkuat oleh Bung Hatta dengan basis kekeluargaan di dalam sistem ekonomi Indonesia. Oleh sebab itu, koperasi merupakan bangun usaha yang penting guna menjaga kesejahteraan hidup orang banyak.
Sepanjang masa kepemimpinan presiden di Indonesia, hanya pada masa Soekarno sistem ekonomi yang berbasis pro-rakyat diterapkan. Masa-masa presiden setelahnya cenderung memihak pada pola pikir ekonomi barat (neo-liberal). Pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen terdiri dari tiga ayat.
Ayat 1 menjelaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Awal masa kepemimpinan Orde Baru menitikberatkan berbagai kebijakan untuk memperbaiki ekonomi Indonesia, yang waktu itu dilanda krisis ekonomi.
Kebijakan yang diambil antara lain menerbitkan UU PMA 1967 dan UU PMDN 1968, membuka bursa Valas Jakarta tahun 1967, dan menjerumuskan Indonesia ke dalam skema utang Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI) 1967 / Consultative Group on Indonesia (CGI) 1992.
Haluan ekonomi pemerintahan Orde Baru lebih memikirkan “perut (stomatch)”, bukan “harga diri (dignity)”. Berbeda sekali, jika kita bandingkan dengan haluan ekonomi Orde Lama, yang waktu itu mengutamakan harga diri bangsa Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bung Karno pada sidang umum PBB 1960 “I hate imperialism, I detest colonialism”. Dengan lantang bangsa Indonesia menolak adanya berbagai bentuk penjajahan baik secara fisik, ekonomi, dan politik.
Ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sejauh ini kita apresiasi pengelolaan produksi terlaksana dengan cukup baik walaupun pengelolaan belum maksimal.
Bayangkan, negeri yang dijuluki sebagai “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja, Tongkat, Kayu, dan Batu Jadi Tanaman” masih belum mampu mendorong setiap sektor produksi dan kekayaan alam dari Sabang hingga Marauke. Kekayaan alam nasional hanya mencapai US$ 9.443, yang lebih kecil dari Thailand US$ 10.144 dan Malaysia US$ 28.657 pada periode 2018-2019 (World Bank, 2022). Bahkan, untuk kekayaan dari sisi per kapita nasional hanya mencapai US$ 4.580 pada tahun 2022.
Ayat 3 “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Ayat tersebut mengartikan semua isi bumi Indonesia lazim ditujukan bagi kesejahteraan seluruh rakyat, bukan segelintir elit.
Ada banyak sekali pelanggaran kasus kepemilikan tanah, mafia tanah, dan pembebasan tanah yang semena-mena dilakukan oleh para elit untuk menguasai properti rakyat. Hal demikian tak luput dari indeks rasio Gini kepemilikan tanah di Indonesia yang masih berada di level 0,670 pada tahun 2019. Artinya, satu persen golongan elit kelas atas menguasai sekitar 67 persen lahan dari 190,4 juta hektar total luas daratan nasional (Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2019). Wajar, jika banyak sekali pihak-pihak yang menuntut hak atas tanah dan rumah mereka ketika dilakukan pembebasan lahan akibat berbagai kepentingan tertentu.
Pasal 33 UUD 1945 yang berisi tiga ayat itu merupakan bingkai penting bagi dasar ekonomi Indonesia. Sayangnya, beberapa oknum menganggap pasal-pasal ini sebagai musuh nyata, sehingga ekonomi Indonesia sulit sekali untuk dikapitalisasi. Pengambil kebijakan cenderung keliru dalam memandang pasal tersebut, yang pada akhirnya meng-amandemen pasal 33 UUD 1945 pada tahun 2002. Ketiga ayat awal berhasil dipertahankan guna menjaga cita-cita pendiri bangsa. Namun, ada dua tambahan ayat yang di dalamnya sedikit menghilangkan makna dan landasan ekonomi nasional.
Ayat 4 “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Unsur kebersamaan dan gotong royong tidak lagi menjadi landasan utama bagi ekonomi Indonesia sejak lahirnya ayat ke-4 tersebut. Justru yang terjadi saat ini lebih mengedepankan unsur individualisme masing-masing pihak. Dua ayat pada pasal 33 UUD 1945 amandemen telah menghilangkan doktrinisasi unsur kerakyatan, sehingga sistem ekonomi Indonesia cenderung liberal. Lahirnya ayat ke-4 memberikan angin segar bagi investor asing untuk mengakuisisi perusahaan nasional, yang notabene memberikan kontribusi ekonomi yang cukup besar.
Oleh karena itu, pasal 33 UUD 1945 memiliki unsur yang kuat dengan apa yang diinginkan oleh para pendiri bangsa. Pasal tersebut bagaikan magis yang tak bisa tergantikan dan jangan sampai marwah pedoman dalam pasal itu hilang. Semua presiden yang telah memimpin negeri ini pasti memiliki niat dan tujuan yang baik guna menjadikan Indonesia sebagai macan Asia yang perkasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Akan tetapi, sangat dibutuhkan pemimpin yang memahami betul makna otentik dari pasal 33 UUD 1945.
Bukan hanya pemimpin yang cerdas secara akademis, melainkan juga cerdas akan akhlaknya, intelektualnya, jiwanya, serta perasaannya. Beberapa hari lagi menjelang pemilu, sungguh besar harapan Indonesia memiliki pemimpin satrio piningit di pemilu 2024. Seperti yang diramalkan oleh Jayabaya bahwa pemimpin tersebut memiliki sifat adil, bijaksana, pemaaf, religius, dan memperhatikan kepentingan rakyat di bumi pertiwi.